Sunday, January 6, 2019

Ini Lho Two Days, One Night (2014)

Pertentangan antara budpekerti menyangkut kepentingan bersama dengan ego menyangkut kepentingan langsung yaitu permasalahan klasik yang masih terjadi sampai sekarang pada setiap orang. Saya yakin kita semua pernah terjebak dalam dilemma semacam itu, disaat kita harus menentukan membantu orang lain atau mendahulukan kebutuhan langsung dahulu. Tentu saja tema sehari-hari yang sederhana namun menghadirkan konflik batin kompleks ini yaitu “makanan empuk” bagi duo sutradara asal Prancis, Luc Dardenne dan Jean-Pierre Dardene (Dardene Brothers). Mereka berdua memang telah dikenal lewat kepiawaiannya mengemas drama realis dengan tema familiar, tempo lambat dan leputan yang begitu minim. Dibintangi oleh Marion Cotillard yang berhasil meraih nominasi Best Actress Oscar kedua berkat aktingnya di film ini, Two Days, One Night bakal menceritakan usaha seorang perempuan selama dua hari dan satu malam untuk mempertahankan pekerjaannya.

Sandra (Marion Cotillard) yaitu seorang buruh pabrik yang gres saja mengambil cuti kerja alasannya nervous breakdown yang ia alami. Kondisi Sandra kesudahannya membaik meski harus rutin meminum anti-depresan untuk menjaga kestabilan emosinya. Tapi pada dikala itulah beliau mendapatkan kabar mengejutkan. Rekan-rekannya sesama buruh telah mengadakan voting untuk menentukan apakah Sandra harus tetap dipertahankan atau tidak. Pemilihan itu dilakukan atas dasar pedoman bahwa pekerjaan Sandra bisa diambil alih asalkan para karyawan bersedia menambah jam kerja mereka. Selain itu pihak administrasi merasa ragu bahwa Sandra bisa benar-benar pulih dan bekerja secara optimal. Jika 16 buruh itu setuju memecat Sandra, maka mereka dijanjikan bonus lembur sebesar 1,000 Euro. Mendengar itu, sontak saja Sandra benar-benar dibentuk tertekan. Untungnya, sang bos bersedia melaksanakan voting ulang sesudah mendengar kabar bahwa banyak karyawan yang takut menentukan mempertahankan Sandra alasannya intimidasi dari mandor mereka. Atas dorongan suaminya, beliau pun kesudahannya menghabiskan dua hari selama selesai pecan untuk mendatangi satu per satu rekannya guna membujuk mereka semoga bersedia menentukan untuk mempertahankannya.
Begitu sederhana premis film ini. Begitu sederhana pula cara Dardene bersaudaara mengemasnya. Seperti film-film mereka lainnya macam The Kid with a Bike, film ini pun berjalan lambat, minim dramatisasi konflik penuh letupan, bahkan terasa sepi alasannya hanya dihiasi obrolan para karakternya tanpa sedikitpun sentuhan scoring (kecuali anda menghitung dua lagu dari radio kendaraan beroda empat yang sempat terdengar sebagai scoring). Bahkan bukan mustahil film ini akan terasa begitu repetitif alasannya memang ceritanya minim variasi. Selama kurang lebih 95 menit, dominan kita akan diajak melihat perjalanan Sandra menemui rekan-rekannya. Setiap kunjungan punya dua kemungkinan hasil, yaitu kebersediaan menentukan Sandra atau penolakan. Jika temannya bersedia, Sandra akan melangkah dengan kebahagiaan, bila tidak depresi segera menyerang. Kemudian hamper setiap penolakan yang ia dapatkan juga “dibumbui” dengan pernyataan dari sang rekan bahwa ia sebetulnya ingin menentukan Sandra tapi alasannya kebutuhan finansial yang menghimpit itu tidak bisa ia lakukan.

Bisa saja film ini menjadi menu penuh repetisi yang membosankan andai saja tiap pengulangan tersebut tidak mempunyai apapun untuk ditawarkan dan tidak terdapat esensi yang menjadikannya harus dilakukan. Segala pengulangan itu jadi perlu hadir untuk menawarkan bagaimana kekuatan Sandra sebagai seorang wanita. Two Days, One Night memang sebuah citra usaha seorang perempuan yang akan dengan gampang diasosiasikan sebagai sosok lemah, apalagi bila harus berurusan dengan konflik mengaduk-aduk perasaan ibarat ini. Tidak hanya itu, perempuan yang satu ini juga menderita nervous breakdown yang melipat gandakan tekanan serta kesulitan tersebut. Sandra sering terjatuh, terbenam dalam tangis, putus asa, bergantung pada obat, bahkan sempat mencoba langkah ekstrim, tapi toh pada kesudahannya ia terus berdiri kembali. Repetisi yang ada bertujuan untuk menciptakan penonton memahami, bahkan mencicipi usaha Sandra, dan itu berhasil. Tidak hanya sakit hati, Sandra juga terjebak dalam pedoman bahwa ia hidup sendirian.  Memang hasil kesudahannya tetap predictable, tapi apapun keputusan yang ia sanggup bukan itu yang terpenting. Pada dikala kesudahannya ia menyadari keberadaan orang-orang yang menyayanginya, disitulah kelegaan dan kebahagiaan berhasil didapatkan Sandra, melebihi segalanya bahkan pekerjaan sekalipun.
Minim letupan konflik tidak berarti film ini datar secara emosi. Saya dibawa mencicipi kepedihan dikala Sandra mengalami penolakan. Disisi lain ada juga rasa lega yang hadir melihat senyuan Sandra dikala sahabat yang ia bujuk bersedia memilihnya. Bahkan klimaksnya pun menyajikan ketegangan plus emosi campur aduk menantikan voting sampai hasil kesudahannya muncul.Tentu saja banyak sekali keberhasilan penyampaian emosi itu berkaitan erat dengan akting luar biasa Marion Cotillard. Memerankan abjad yang berkaitan erat dengan depresi, seorang aktris biasa saja berpotensi membawakannya dengan cheesy kalau dihentikan disebut murahan. Tapi Cotillard berbeda berkat pendekatan realis yang ia pergunakan. Ekspresi dan gesturnya kecil, tapi setiap unsurnya amat berarti, penuh kekuatan. Tatapan penuh kegetiran dan rasa sesak yang ia alami dikala menahan tangis alasannya penolakan menciptakan saya merasa iba. Apalagi dikala depresinya mencapai puncak dan seolah kehilangan semangat hidup. Tapi mata berbinar dan senyum tipis penuh haru dikala sang sahabat mendapatkan permintaannya bisa menciptakan saya tersenyum bahagia.

Inilah drama realis yang mendefiniskan dengan tepat istilah “realis” itu sendiri. Bukan hanya alasannya tema yang bersahabat dengan keseharian atau penggarapan berpijak kesederhanaan bertutur tapi juga dengan tepat menggambarkan segala kerumitan dari permasalahan yang sekilas tampak mudah itu. Tentu saja saya sebagai penonton turut diserang rasa dilematis. Simpati terperinci saya rasakan bagi Sandra, tapi disisi lain saya pun begitu memahami kenapa banyak dari mereka yang lebih menentukan bonus. Konflik batin semacam ini dikala harus menentukan antara sahabat atau diri sendiri memang kompleks, dan Dardene bersaudara sukses mencerminkan hal tersebut dalam film mereka ini. Semakin kompleks lagi dikala Two Days, One Night menciptakan hati saya merenungkan apakah memang benar teman-teman Sandra mengalmi dilemma atau sekedar “manis di mulut” demi menghadirkan penolakan yang lebih halu dan tidk menyakiti perasaan? Kaprikornus sejauh apa mereka yang disebut sahabat bersahabat bersedia berkorban demi kita? Pertanyaan yang tidak hanya ditujukan bagi teman-teman Sandra, tapi juga bagi Sandra itu sendiri.

Artikel Terkait

Ini Lho Two Days, One Night (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email