Sunday, January 13, 2019

Ini Lho To The Wonder (2012)

Cukup asing seorang Terrence Malick hanya membutuhkan waktu setahun untuk menciptakan film sehabis sebelumnya jarak terpendek antara filmnya yaitu lima tahun. Bahkan ia pernah bolos selama 20 tahun sehabis menciptakan Days of Heaven. Namun sejak The Tree of Life sang sutradara tampaknya menjadi "rajin" dan mulai melaksanakan pembuatan beberapa film bahkan ada yang dibentuk secara back-to-back. Kabarnya sehabis The Tree of Life, Malick sedang menciptakan tiga film, yakni To the Wonder, sebuah film tanpa judul yang dibintangi Ryan Gosling, Christian Bale dan Michael Fassbender (sebelumnya berjudul Lawless) serta Knight of Cups yang juga dibintangi Christian Bale. Parade film Malick diawali oleh To the Wonder yang dibintangi Ben Affleck, Olga Kurylenko, Rachel McAdams serta Javier Bardem. Sedari awal proyek Malick yan satu ini sudah menarik perhatian saya. Mulai dari dongeng para pemainnya yang menuturkan bahwa proses syuting dilakukan tanpa menggunakan naskah dan ibarat biasa begitu bergantung pada tugas Malick di ruang editing. Kemudian ketika trailer penuh pertamanya dirilis saya eksklusif dibentuk jatuh cinta dengan segala keindahan visual serta scoring megah yang ada. Untuk pertama kalinya ada sebuah trailer yang menciptakan saya meneteskan air mata lantaran keindahannya. Film ini juga dikenal sebagai film terakhir yang di-review oleh Roger Ebert sebelum meninggal.

To the Wonder berkisah perihal kekerabatan sepasang kekasih, yaitu seorang laki-laki Amerika berjulukan Neil (Ben Affleck) dan perempuan Prancis berjulukan Marina (Olga Kurylenko). Keduanya bertemu ketika Neil sedang berada di Prancis dan mulai saling jatuh cinta. Marina sendiri sudah memiliki seorang puteri hasil dari pernikahannya dengan seorang laki-laki yang risikonya malah meninggalkan Marina demi mengejar perempuan lain. Akhirnya Neil dan Marina memutuskan untuk tinggal bersama di Amerika yang menjadi rumah Neil. Bersama sang puteri juga, Marina mulai menjalani kehidupan gres di sebuah daerah yang gres bersama laki-laki yang ia cintai. Namun kekerabatan keduanya tidak selalu berjalan mulus. Bahkan ada suatu momen disaat Marina kembali ke Paris disaat visa miliknya expired dan meninggalkan Neil sendiri di Amerika. Pada ketika itulah Neil kembali bertemu dengan Jane (Rachel McAdams) yang merupakan kekasihnya di masa lalu. Keduanya pun mulai mencicipi kembali rasa cinta yang sempat mereka rasakan dahulu. Disisi lain ada dongeng perihal Father Quintana (Javier Bardem), seorang pendeta yang tengah mengalami krisis kepercayaan dan merasa bahwa Jesus bagaikan mantan kekasih dan cintanya dari masa lalu.

Tidak perlu diragukan bahwa To the Wonder juga merupakan film Malick yang memiliki rasa seorang Terrence Malick. Ada begitu banyak gambar-gambar indah yang menghiasi film ini. Kelebihan Malick dalam menghantarkan visual indah yaitu beliau bisa menghadirkan keindahan tersebut tidak hanya pada adegan-adegan tertentu melainkan pada hampir tiap adegan. Dalam To the Wonder, adegan yang begitu sederhana dengan hanya menampilkan salah satu karakternya berdiri ataupun meratap bisa menjadi sebuah adegan dengan keindahan visual yang luar biasa. Malick memang bisa mengarahkan para pemainnya semoga mereka bisa menyatu dengan keindahan yang coba ia sajikan. Karakter yang terasa begitu indah dalam film Malick biasanya yaitu abjad utama. Saya ingat bagaimana Jessica Chastain dan Q'Orianka Kilcher menari-nari dengan begitu indahnya dalam The Tree of Life dan The New World. Disini Olga Kurylenko juga melaksanakan hal yang sama. Malick nampak begitu mengagumi keindahan perempuan sampai penggambaran sosok perempuan dalam tiap filmnya tidak terkecuali To the Wonder terasa begitu canti nan indah layaknya malaikat. Tidak hanya itu, disaat menampilkan suasana abjad yang dirundung kesepian ataupun kesedihan, keindahan visual film inipun turut berperan besar dalam memperkuat suasana. Lihat disaat Father Quintana merasa begitu sepi dan kehilangan arah, saya bisa ikut mencicipi bagaimana keindahan yang begitu ia rindukan hadir dalam hidupnya. Malick bisa menampilkan momen kehilangan terhadap keindahan dengan indah pula.
Sekali lagi saya merasa perlu memuji bagaimana keindahan visual yang ditampilkan di film ini. Keputusan Malick untuk tidak menggunakan cahaya buatan dan menentukan memaksimalkan sinar matahari sebagai lighting memang ikut berperan. Film Malick yaitu film yang mengagungkan perasaan termasuk juga mother nature. Oleh lantaran itu tidak hanya pencahayaan yang berasal dari alam namun juga gambar-gambarnya seringkali hanya menampilkan alam saja. Tapi bagi saya hal tersebut justru makin memperkuat rasa keindahan yang coba dibangun. Begitu juga pergerakan kamera yang dinamis dan tidak terpaku pada shot standar makin menciptakan sisi visual film ini sempurna. Namun diluar kehebatan aspek visualnya, banyak pihak yang mengkritisi narasi yang ditampilkan oleh To the Wonder. Banyak yang menganggap abjad yang ada tidak dikembangkan dengan baik dan narasinya dirasa terlalu kosong sampai filmnya tidak memiliki emosi yang kuat. Saya baiklah dengan pernyataan bahwa bila dibandingkan dengan film lain yang mengutamakan plot dan karakterisasi maka To the Wonder begitu kosong dan terkesan tidak terang mau berjalan kearah mana. Sekilas memang film ini terasa tidak punya pegangan dan bagaikan melayang-layang tanpa tujuan. Tapi sehabis saya menonton film ini untuk kedua kalinya saya mulai mencicipi hal yang lain.

To the Wonder bagaikan sebuah representasi dari perasaan insan disaat mereka menjalani kekerabatan asmara. Bagaimana rasa cinta bisa muncul begitu saja tanpa diduga kemudian kemudian perlahan mulai meredup ketika kekerabatan tengah memasuki masa yang sulit. Atau bagaimana disaat kekerabatan seseorang sedang redup kemudian kemudian masuk pihak lain yang mengisi perasaan tersebut meskipun hanya sesaat. Segala momen yang berada dalam To the Wonder memang terasa tanpa motif yang pasti, bahkan disaat tiba-tiba sosok Jane hanya muncul sekilas untuk kemudian kembali menghilang. Sekali lagi saya merasa ini dikarenakan To the Wonder memang bukanlah sebuah film yang menyoroti kekerabatan sebab-akibat dalam sebuah plot dongeng tapi lebih kepada alunan perasaan di dalam diri seseorang tanpa mempedulikan apa bahwasanya efek dari eksternal yang datang. Namun bagi saya yang patut disayangkan yaitu kemunculan Jane yang terlalu cepat dan hanya sekilas. Padahal kemunculan karakternya bisa dipakai untuk memicu konflik perasaan yang lebih kompleks lagi. Namun lagi-lagi nampaknya kuasa Malick di ruang editing berperan besar dalam minimnya kemunculan abjad yang dimainkan Rachel McAdams tersebut.

Begitu juga dengan kemunculan sosok Father Quintana yang sedang mengalami krisis kepercayaan. Bagi saya beliau yaitu perlambang yang serupa dengan bagaimana disaat abjad lainnya sedang mencicipi kesepian dan kesedihan ketika kehilangan rasa cinta dan sedang berada di dalam kegundahan. Quintana sendiri yaitu seorang Pendeta yang selalu berbicara perihal cinta pada jemaatnya, namun ia sendiri mencicipi kesepian dan tanpa cinta. Cinta yang ia cari yaitu cinta pada Tuhan dan hubungannya dengan Tuhan daerah ia mengabdi. Kata-kata yang ia ucapkan pada jemaatnya di Gereja seolah menggambarkan Jesus sebagai "mantan kekasihnya". Dia merasa pernah begitu menyayangi Jesus namun sekarang ia mewaspadai perasaan tersebut yang mulai berkembang menjadi keraguan. Sosoknya yaitu perlambang terhadap pencarian makna dari rasa cinta itu sendiri. Secara keseluruhan To the Wonder tidak sebagus dan "sebesar" film-film Malick yang pernah saya tonton sebelumnya dan terang dibawah ekspektasi yang saya pasang sehabis menonton trailer-nya. Pengemasan narasi yang ia lakukan memang tidak gampang untuk diikuti apalagi dinikmati. Tapi bagi saya film ini yaitu sebuah presentasi yang personal dari Terrence Malick sekaligus indah baik dari visual, obrolan maupun emosi dari bagaimana insan mencari makna dari rasa cinta dan menjalaninya.


Artikel Terkait

Ini Lho To The Wonder (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email