Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Tuyul Part 1 (2015)

Ah, film horror Indonesia. Masihkah layak untuk disaksikan? Saya sendiri belum kehilangan impian meski jujur saja kuantitas horror lokal yang saya tonton di bioskop tidak sebanyak genre lainnya. Melalui Tuyul Part 1 (diniati sebagai trilogi) sutradara Billy Christian menandakan bahwa impian saya tidaklah kosong. Setidaknya beliau memang berusaha menciptakan horror sejati, tanpa suplemen sensualitas maupun komedi murahan. Premisnya mengingatkan pada haunted house horror yang sedang menjadi tren ketika ini. Sepasang suami istri, Daniel (Gandhi Fernando) dan Mia (Dinda Mayang Dewi) gres saja pindah ke rumah di kawasan pegunungan. Rumah itu sendiri sejatinya ialah rumah Mia ketika masih kecil. Baginya pengalaman tinggal disana tidaklah menyenangkan alasannya ialah Mia selalu merasa ada yang tidak beres. Standar plot film rumah hantu ibarat yang sudah usang kita tahu.

Adegan pembukanya sudah memberi tahu bahwa ada diam-diam terselubung antara ibu Mia dengan tuyul yang nanti akan menebar teror dalam filmnya. Sosok tuyul bebas sehabis Daniel membuka sebuah botol yang tersimpan di bawah lantai ruang kerjanya (tempat yang sama dengan ketika ibu Mia melaksanakan ritual di awal film). Tuyul pun mulai meneror Mia, bahkan mencuri uang warga sekitar, meski kita tidak pernah melihat prosesnya kecuali ketika Ibu RT kehilangan amplol berisi uang arisan. Jujur saja ini bukan film manis alasannya ialah kurang berhasil menjalankan kodrat horror sebagai alat penyaji keseraman. Tuyul Part 1 bukan film yang seram. Tapi setidaknya Billy Christian sudah punya niat menghasilkan horror yang sejati. Memang niat saja tidak cukup untuk sebuah film, tapi fakta bahwa filmnya diniati menjadi angker (meski tidak berhasil) dan tata artistik yang begitu well-made membuatnya berdiri tegak diantara sajian horror lokal lain belakangan.

Tentu saja scare jump serta fake alarm masih jadi andalan. Tidak ada yang gres dari rangkaian kekagetan yang hadir. Tidak ada pula yang benar-benar berhasil mengagetkan kecuali satu adegan dengan melibatkan layar laptop. Film ini masih mengandalkan banyak dream sequence sebagai mediator memunculkan sosok tuyul. Cara-cara usang yang sudah terasa melelahkan lagi dan tidak efetif untuk menakuti penonton. Positifnya, film ini tidak terlalu berangasan memunculkan sosok tuyul setiap menit. Sedangkan sisi negatifnya terletak pada minimnya kreatifitas dalam menyajikan "penampakan" dan kejutan-kejutan. Cara yang digunakan ala kadarnya. Tuyul merangkak, muncul tiba-tiba dengan lisan wajah (mencoba) angker plus pengaruh bunyi creepy dan scoring memekakkan telinga. Disaat suasana haunted house dan iringan musiknya mengambil wangsit besar lengan berkuasa dari horror-horror James Wan, tidak begitu dengan kreatifitas terornya.
Billy Christian mencoba untuk menciptakan horror yang atmosferik. Filmnya berjalan lambat, kamera bergerak perlahan mengikuti huruf Mia yang juga menelusuri tiap sudut rumah dengan gerak lambat. Saya selalu suka slow-building horror. Membangun segalanya secara lambat, perlahan merambat dengan maksud menghadirkan cengkeraman besar lengan berkuasa pada penonton. Tempo lambat itu sempat menaikkan impian saya terhadap film ini. Tapi sehabis film berjalan lebih dari separuhnya impian semakin menipis. Belum lagi melihat titik puncak yang tidak membayar lunas semua kesabaran tersebut. Momen dengan segala pembangunan ketegangan lambat itu tidak dipergunakan sebaga alat pengumpul simpati penonton terhadap huruf Mia. Dengan dongeng dan tone yang sedikit mengingatkan pada Rosemary's Baby, tidak ada perjuangan besar lengan berkuasa untuk menciptakan penonton peduli pada Mia yang tengah hamil tujuh bulan dan menerima teror bertubi-tubi ditambah perhatian minim sang suami. 
Alih-alih begitu, lambatnya film ini malah digunakan sebagai penghubung antar scare jump satu dengan lainnya. Sayang sekali padahal Dinda Mayang Dewi telah menghadirkan performa yang (surprisingly) bagus. Tidak ada ketakutan dipaksakan, tidak ada lisan "sok" curious tanpa isi. Akting besar lengan berkuasa dengan highlight saat ia merasa bersalah atas perbuatan warga kampung terhadap salah seorang karakter. Sayang, akting Dinda tidak diikuti oleh Gandhi Fernando yang sering kaku sekaligus annoying apalagi ketika harus melakoni adegan marah. Ada suatu adegan ketika huruf Daniel dan Mia (literally) berakting yang berujung pada legalisasi Daniel bahwa istrinya berakting lebih baik dari dia. Saya pun mengamini itu.

Tata artistik ialah aspek terkuat selain akting Dinda. Mungkin salah satu tata artistik terbaik dalam horror Indonesia beberapa waktu terakhir. Pengemasan set yang diniati lewat kombinasi warna menarik namun tetap kelam, hingga kehadiran properti-properti creepy seperti lukisan para perempuan itu cukup menunjukkan kepuasan visual. Saya sangat menyukai bagaimana Billy Christian mengemas suatu adegan di pasar. Satu-satunya adegan penuh darah yang cukup mengejutkan bakal hadir disini. Suasana gore eksploitasi dengan darah muncrat pun tersaji apik disitu. Bagaimana dengan desain tuyul sendiri? Well, jujur saja ada di tengah-tengah antara unik-creepy dengan menggelikan. Kecuali adegan ketika sang tuyul menunjukkan ekspresi, sosoknya masih cukup mengerikan. Memberikan sedikit sentuhan budbahasa jawa juga menciptakan film ini terasa tidak asal-asal saja menyuguhkan kisah hantu-hantuan meski saya tidak yakin aspek itu akurat. 

Ada perjuangan besar lengan berkuasa untuk menjadi The Next Kuntilanak lewat niatnya menjadi trilogi, desain hantu yang berbeda hingga selipan budbahasa tradisional. Mungkin film pertama ini tidak sebaik pembuka dari Kuntilanak dulu, tapi sekuelnya menjanjikan sesuatu yang lebih. Mungkin Tuyul Part 1 tidak sekuat itu untuk menjadi sebuah tonggak kebangkitan perfilman horror Indonesia. Sayangnya persepsi penonton ihwal horror lokal sudah terlanjur jatuh (saya sendirian d bioskop menonton film ini) dan Tuyul Part 1 belum bisa mengemban beban seberat itu. Tapi ada secercah impian disini. Harapan yang hadir lewat sosok Billy Christian bahwa masih ada (bahkan banyak) sutradara horror dalam negeri yang memang berniat menyajikan kengerian/ketegangan dalam filmnya tanpa aneka macam gimmick tidak perlu yang menurunkan derajat film. 

Artikel Terkait

Ini Lho Tuyul Part 1 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email