Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Daredevil - Season 1 (2015)

I'm a big fan of Marvel and it's cinematic universe. Mulai dari kualitas film hingga pengembangan universe-nya saya kagumi. Tapi bukan berarti MCU tanpa cela. Sejauh ini kesepakatan untuk menghadirkan sajian lebih gelap berakhir mengecewakan (Iron Man 3 dan Thor: The Dark World masih komedik). Saya pun tidak sepenuhnya yakin dikala mereka menjanjikan sesuatu yang lebih gelap dan gritty lewat rangkaian web television series di Netflix. Rencananya akan ada empat seri individu: Daredevil, Jessica Jones, Luke Cage, Iron Fist dan satu seri Avenger-esque saat keempatnya bergabung dalam The Defenders. Benarkah Marvell bisa membuat sesuatu yang lebih gelap? Daredevil yang digawangi Drew Goddard bakal jadi pertaruhan. Kegagalan berarti ancaman bagi serial berikutnya. Tapi keberhasilan akan membuat Daredevil layaknya Iron Man tujuh tahun kemudian dalam hal launcher akan sesuatu yang lebih besar.

Seperti janji, tidak ada Iron Man terbang dengan baju besi, tidak ada Thor dengan palu ajaib, tidak ada alien beterbangan menembakkan laser disini. Hanya ada sudut kota kecil Hell's Kitchen yang masih berbenah pasca peperangan besar di New York (event di The Avengers). Matt Murdock (Charlie Cox) yakni pengacara buta yang gres memulai firma aturan bersama sang sahabat, Foggy Nelson (Elden Henson). Pada pagi dan siang hari Matt yakni pengara jago yang taat hukum. Tapi di malam hari ia menjelma sesosok vigilante berpakaian hitam yang tidak ragu menghajar para penjahat di tiap sudut kota. Mimpinya yakni membuat Hell's Kitchen yang higienis dari tindak kriminal. Banyak kriminal berbahaya disana, tapi satu sosok paling menawarkan ancaman justru seorang pebisnis berjulukan Wilson Fisk (Vincent D'Onofrio). Fisk menguasai banyak sekali aspek di Hell's Kitchen mulai dari dunia hitam, hingga para penegak aturan dan media. Memanfaatkan kekuasan besar itu, Fisk punya mimpi yang sama dengan Matt: Menciptakan Hell's Kitchen yang lebih baik apapun caranya.
Marvel did it! Lewat ketiga belas episode serial ini, Marvel menjawab tuntas segala kritikan yang sering ditujukan pada mereka. Kita mulai dari tone dan skala. Bagi penonton termasuk saya yang telah mengenal sosok Daredevil dari komiknya niscaya oke bahwa superhero satu ini punya kehidupan paling tragis dibanding rekan-rekannya. Superhero lain memang punya sisi/momen kelam dalam hidup mereka, tapi bagi Daredevil, bisa dibilang semua aspek kehidupannya kelam. Penuh kematian, kesendirian, kegilaan. Tragedi. Maka wajib hukumnya bagi serial ini untuk hadir lebih gelap dan gritty dibanding produk lain dari Marvel. Hal itu berhasil. Serial ini lebih condong pada drama kriminal bernuansa noir daripada cerita superhero seutuhnya. Penyelidikan terhadap agresi para cecunguk dan korupsi dunia bisnis lebih kental sambil sesekali kita dibawa melihat agresi Matt Murdock menghajar penjahat di jalanan. Baru disini juga Marvel berani memperlihatkan kekerasan. Darah, pemenggalan, hingga tangan yang terputus bukan semata-mata eksploitasi tak bermakna, tapi hal esensial demi memperlihatkan betapa brutal dan berbahayanya Hell's Kitchen. Semua itu turut dirangkum oleh opening sequence garapan Elastic yang indah dan "berdarah".
Kesan realistis dan karakterisasi juga memperkuat tone yang coba dibangun. Realistis, alasannya Daredevil bukanlah Thor maupun Captain America yang punya kekuatan fisik super dan bisa bertahan dari banyak sekali pukulan atau ledakan. Diluar kemampuan indera selain penglihatan yang di atas rata-rata, Matt Murdock hanya insan biasa. Dia bisa terluka dan tidaklah untouchable. Beberapa kali ia bisa dikalahkan, terluka parah sebelum balasannya bangun kembali. Alhasil dalam segala pertarungan, tiap tulang yang patah dan sayatan penuh darah terasa lebih berarti. Ditambah koreografi apik, action dalam Daredevil tetap begitu menghibur meski tanpa balutan CGI maupun ledakan bombastis khas Marvel. Siapa sangka street level superhero bisa semenarik ini. 
Karakter-karakternya ada di area abu-abu. Daredevil yakni superhero yang terjebak dalam ambiguitas etika alasannya statusnya sebagai pengacara taat hukum. Tidak hanya itu, keyakinan Kristen yang ia pegang teguh juga menawarkan persoalan dalam tiap aksinya. Kekerasan yang ia gunakan pun cukup disoroti, menghadirkan pertanyaan moralitas menarik. Namun abjad paling mengesankan yakni Wilson Fisk alias Kingpin. Dia ingin membangun Hell's Kitchen dan meyakini tiap perbuatan yang ia lakukan bertujuan kearah sana. Aspek itu bukan sekedar premis abjad di atas kertas, pada eksekusinya pun sosok Fisk terasa menyerupai itu. Dia bukan megalomania yang ingin menguasai dunia. Tujuannya mulia, hanya caranya yang keliru, dimana itu pun didorong oleh trauma masa kecil. Tidak hanya itu, Fisk juga menghargai arti pertemanan menyerupai yang terpancar dalam hubungannya dengan Wesley (Toby Leonard).

Wilson Fisk yakni villain paling manusiawi dalam dunia Marvel sejauh ini. Kisah cintanya dengan Vanessa (Ayelet Zurer) menandakan itu. Meski punya uang dan kekuasaan, Fisk bukanlah playboy yang gampang menggaet wanita. Dia menyerupai kita semua, insan biasa yang kelabakan dikala harus mendekati seorang perempuan kemudian menjalani kencan pertama. Tidak perlu diragukan lagi rasa cintanya pada Vanessa. Bahkan pada sebuah episode yang menyoroti subplot romansa keduanya, terjadi titik balik dalam rasa simpati saya. Saat itu Wilson Fisk justru menjadi abjad paling mengundang simpati, paling berperasaan, bahkan melebihi Matt Murdock sendiri. He's my favorite villain in MCU so far (beside Loki of course). Hubungan antara Matt-Fisk pun menarik, alasannya ambiguitas etika diantara mereka. Pada balasannya saya tidak bisa memilih siapa yang lebih benar alasannya tidak ada yang sepenuhnya putih, tidak ada yang sepenuhnya hitam.

Verdict: Gritty, brutal, bloody. Berjalan lambat demi pembangunan abjad & konflik mendalam tanpa melupakan action menghibur. Daredevil mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada acuan terhadap Avengers meski tidak sepenuhnya terlepas. One of the best from Marvel.

Artikel Terkait

Ini Lho Daredevil - Season 1 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email