Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho V/H/S: Viral (2014)

Seri V/H/S bergotong-royong tidak pernah benar-benar menjadi tontonan horror yang bagus. Layaknya film-film antologi pada umumnya, selalu ada segmen yang cantik tapi niscaya ada juga yang buruk. Sepanjang eksistensi dua filmnya, tentu saja segmen terbaik adalah Safe Haven garapan duo Gareth Evans dan Timo Tjahjanto dalam V/H/S/2. Satu-satunya alasan kenapa saya tetap setia menonton franchise buatan Bloody Disguisting ini yaitu alasannya yaitu banyak sekali ide-ide unik yang berani dimunculkan dalam tiap segmennya. Memang merupakan hal yang cukup sulit untuk sanggup melebihi film sebelunya, khususnya alasannya yaitu eksistensi segmen Gareth Evans dan Timo Tjahjanto. Hal itu nampaknya juga disadari oleh para pembuatnya, terbukti dengan terjadinya sedikit perubahan konsep dalam V/H/S: Viral. Jika dalam dua film pertama segmen penghubung selalu menampilkan sekumpulan orang yang menonton rekaman vhs mengerikan yang berujung pada kejadian mengerikan pula, maka dalam Viral konsep itu sedikit dirombak.

Segmen penghubungnya yang berjudul Vicious Circles menampilkan kejar-kejaran antara polisi dengan kendaraan beroda empat penjual es krim. Anehnya selalu terjadi hal mengerikan yang selalu berujung maut dalam setiap daerah yang dilewati oleh kendaraan beroda empat es krim tersebut. Sayangnya meski menunjukkan pendekatan yang berbeda, segmen penghubung masih jadi aspek terlemah dalam film ini, sama menyerupai dua film sebelummnya. Bahkan yang lebih parah, sebagai sebuah penghubung, Vicious Circles kurang baik dalam menyatukan ketiga segmen yang lain sebagai satu kesatuan koheren. Seperti biasa segmen penyatu ini selalu berhasi menghadirkan pertanyaan demi pertanyaan tanpa pernah sukses menyajikan tanggapan yang memuaskan. Konklusi yang dihadirkan dala Viral amat dipaksakan, bahkan jauh melebihi film-film sebelumnya. Ambisi untuk jadi berbeda dan lebih besar dengan mengangkat tema goes viral tanpa adanya naskah yang kompeten membuatnya terasa amat konyol dan membingungkan. Membingungkan bukan alasannya yaitu plot yang dasarnya rumit, tapi alasannya yaitu pengemasan yang kacau. Lagi-lagi "penyakit" film horor bertema mistik yang mengakibatkan hal mistis sebagai escapism untuk tidak menghadirkan klarifikasi rasional.
Kemudian membicarakan segmen lain pun, Viral yang hanya punya tiga segmen terang kalah dibandingkan V/H/S/2. Segmen pertama adalah Dante the Great, bercerita wacana pesulap berjulukan Dante yang menerima kekuatan dari jubah aneh yang ia dapatkan. Tapi demi mempertahankan kekuatan tersebut, ia harus rutin menunjukkan persembahan bagi sesosok makhluk misterius. Sebagai sebuah pembuka, segmen ini cukup menyenangkan dengan konsep dasar yang unik. Tentu saja sanksi ceritanya penuh hal-hal cheesy, termasuk titik puncak yang menampilkan pertarungan dua pesulap untuk memperebutkan jubah ajaib. Dengan pengemasan yang menggabungkan format dokumenter berisikan interviewfound footage dan gaya standard justru menciptakan segmen ini kurang berhasil menunjukkan ketegangan. Atmosfer horro hampir tidak terasa dan lebih cocok disebut thriller/fantasy daripada murni horror. Untung saja temponya cepat dan berjalan stabil sampai tidak pernah membosankan. Sayang segmen ini ditutup dengan ending yang memaksakan twist dan kejutan.
Segmen kedua, Parallel Monsters adalah yang terbaik dengan dongeng wacana sebuah eksperimen untuk membuka pintu menuju alternate universe. Lagi-lagi sebuah segmen dengan konsep unik dan dongeng yang kurang cerdik tapi penuh kesenangan luar biasa. Bedanya dengan segmen pertama adalah, yang kedua ini lebih kental unsur horror lewat pembangunan atmosfer yang tidak mengecewakan dan selipan misteri menarik. Berkebalikan dengan Dante the Great, saya amat menyukai twist dari Parallel Monsters ini, dengan sebuah klimas yang juga gila dan mengingatkan pada film-film eksploitasi kelas B dari Jepang macam Machine Girl dan Tokyo Gore Police. Kegilaan kurang cerdik semacam inilah yang saya keinginan dari V/H/S. Disaat para pembuatnya sadar bahwa mereka tidak akan berhasil menyuguhkan tontonan pintar, maka sekalian saja dibentuk sesuatu yang punya kebodohan tingkat maksimum. Sayang, sesudah kesenangan itu saya justru disuguhi segmen epilog sekaligus terburuk berjudul Bonestorm. Sebenarnya segmen ini sudah menyadari kebodohannya dan dikemas sesederhana mungkin tanpa adanya cerita. Kisah para skateboarder yang terperangkap di tengah komunitas pemuja setan hanya mediator untuk sebuah adegan perkelahian massal yang (maunya) brutal. 

Usaha untuk menghasilkan kekacauan memang berhasil, sayang kekacauan itu berkonotasi negatif. Kebrutalan tidak dihadirkan secara vulgar sehingga menciptakan pertempuran yang ada hanya terasa kacau, awut-awutan tanpa ada kegilaan menyenangkan. Penggarapan dari sang sutradara kacau, begitu pula editingnya yang menciptakan kepala benar-benar pusing. Sama pusing dan annoying-nya dengan editing yang dilakukan secara umum dikuasai durasi film ini. Bonestorm adalah perjuangan sok keren dan sok brutal yang justru berakhir benar-benar kacau, menjadi segmen epilog yang mengecewakan. Kekecewaan di selesai makin ditambah dengan konklusi menyeluruh yang juga mengecewakan dari Viral. Saya kecewa dengan V/H/S: Viral itu pasti, tapi sesungguhnya seri ketiga ini masih menjadi tontonan yang menunjukkan hiburan menyenangkan. Pada kesannya saya pun akan tetap menyempatkan diri menonton andaikan Bloody Disguisting terus menciptakan sekuel demi sekuel di masa mendatang. 


Artikel Terkait

Ini Lho V/H/S: Viral (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email