Saturday, January 12, 2019

Ini Lho The World's End (2013)

 
Trio Edgar Wright, Simon Pegg dan Nick Frost balasannya menutup trilogi cornetto tiga rasa yang telah mereka awali dengan Shaun of the Dead 9 tahun kemudian dalam The World's End. Bagi yang belum tahu kenapa trilogi ini disebut trilogi cornetto tiga rasa ialah alasannya ialah masing-masing filmnya mewakili rasa cronetto. Shaun of the Dead yang penuh darah merupakan perlambang cornetto rasa strawberry. Kemudian Hot Fuzz yang kental dengan unsur polisi yang juga identik dengan warna biru bau tanah ialah perlambang cornetto rasa original. Sedangkan sebagai epilog ialah The World's End yang merupakan perlambang dari cornetto rasa mint chocolate chip dimana cornetto tersebut identik denagn warna hijau, menyerupai dengan warna alien yang ada di citra umum masyarakat. Saya langsung sangat menyukai Shaun of the Dead dan sudah lebih dari lima kali menontonnya. Sedangkan untuk Hot Fuzz meski tidak hingga menjadi favorit aku tetaplah sebuah buddy-cop comedy yang lucu dan cerdas. Jika This is the End menggunakan ensemble cast Amerika, maka The World's End diisi bintang-bintang Inggris. Selain tentunya Simon Pegg dan Nick Frost, ada nama-nama menyerupai Rosamund Pike, Martin Freeman, Paddy Considine, Eddie Marsan hingga Pierce Brosnan.

The World's End ialah kisah ihwal Gary King (Simon Pegg) yang pada dikala remaja dulu ialah remaja yang begitu positif dalam memandang hidup dan mengsisi kesehariannya dengan bersenang-senang bersama para sahabatnya dan menciptakan banyak kekacauan sekarang hanyalah laki-laki berilmu balig cukup akal yang hidupnya diisi dengan mabuk-mabukan dan tidak punya masa depan yang cerah. Suatu hari ia mulai mengumpulkan sahabat-sahabat lamanya yang bersama dirinya menyebut diri mereka sebagai five musketeers. Mulai dari Steven (Paddy Considine), O-Man (Martin Freeman), Peter (Eddie Marsan) hingga Andy (Nick Frost) yang awalnya menolak pun pada balasannya berhasil dikumpulkan oleh Gary. Mereka berlima berkumpul untuk "pulang" kembali ke kampung halaman di Newton Haven. Mereka mudik mengikuti permintaan Gary untuk melaksanakan The Golden Mile, yakni tantangan mengelilingi Newton Haven dan singgah satu per satu di 12 kafe yang ada disana untuk minum-minum. Pada percobaan 20 tahun yang kemudian mereka gagal dan kali ini mereka berambisi mencapai titik simpulan yang terletak di kafe berjulukan The World's End.

Sebaiknya anda tidak terlalu banyak mencari tahu ihwal detail film ini, alasannya ialah The World's End akan semakin mengejutkan anda bila semakin sedikit yang anda ketahui ihwal jalan dongeng film ini. Tapi mengingat banyak bahan promosi sudah memperlihatkan hint ihwal kejutan tersebut aku rasa akan ada banyak penonton termasuk aku yang mengetahui bahwa di pertengahan nanti filmnya akan berubah arah dengan begitu drastis. Dari sebuah komedi ihwal minum-minum menjadi sebuah dongeng yang lebih kompleks dan menegangkan. Kemudian bila anda sudah mengikuti kerja sama Wright-Pegg-Frost sebelumnya anda akan familiar juga dengan bagaimana The World's End dieksekusi. Masih berpusat di sebuah kota kecil, menyebabkan kafe sebagai kawasan utama terjadinya kekacauan, kamera yang dinamis, adegan kejar-kejaran kacau yang diisi momen melompati pagar, dan tentunya adegan yang memperlihatkan bungkus cornetto. Dan menyerupai yang sudah kita tahu trilogi cornetto niscaya akan menggabungkan komedi dengan sebuah genre lain, begitu pula yang terjadi pada The World's End. Singkatnya bila anda orang yang mengikuti atau bahkan menggemari kerja sama mereka bertiga akan dengan cepat merasa nyaman menonton film ini.
Pertanyaannya ialah apakah film ini berhasil menyamai kualitas dua film sebelumnya? Saya langsung masih jauh lebih menyukai Shaun of the Dead, tapi The World's End berada dalam level yang sama dengan Hot Fuzz meski dari segi humor maupun dongeng Hot Fuzz sedikit lebih baik. Diluar dugaan kadar komedi dalam film ini tidaklah terlalu kental apalagi bila dibandingkan dengan dua pendahulunya. Setelah cukup kental di paruh awal (meski juga kadarnya masih tidak terlalu tinggi) komedinya mulai berkurang kuantitasnya sehabis muncul twist di pertengahan. Meski masih tetap ada sempilan komedi sehabis itu jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun untungnya komedi yang muncul efektif untuk setidaknya memunculkan senyum. Kebanyakan komedinya muncul dari interaksi kocak nan gila antara para karakternya, kekacauan yang tidak kunjung berhenti juga masih sanggup menghadirkan kelucuan, tapi yang terang sosok Gary King milik Simon Pegg yang andal bicara ialah sumber kelucuan utama. Dialog-dialog yang muncul masih terasa segar dengan tempo cepat ala komedi-komedi Inggris semua kelucuannya masih begitu terasa di aspek tersebut.

Bahkan bila kita lihat dari atmosfernya, The World's End terasa jauh lebih kelam dari film pendahulunya. Jika Shaun of the Dead yang penuh darah dan belahan badan insan tetap tidak terasa terlalu kelam, maka The World's End meski masih terasa kacau dan penuh kesenangan tapi tetap terlihat lebih dewasa. Aspek drama dalam film ini cukup mendominasi khususnya ihwal banyak sekali subplot depresif mengenai laki-laki yang mendapati bahwa hidupnya tidak seindah dan secerah menyerupai yang ia bayangkan di masa muda dulu, kisah ihwal cinta tak terjamah, hingga kisah dendam jawaban bullying meski beberapa hanya dihantarkan sekilas saja namun terasa mengena dan menciptakan atmosfer filmnya terasa cukup kelam untuk ukuran sebuah komedi. Kisah persahabatan khususnya antara Gary dan Andy juga terasa cukup berpengaruh berkat chemistry yang masih terjaga antara Simon Pegg dan Nick Frost. The World's End bahwasanya ialah kisah ihwal mereka yang masih terjebak di masa lalunya bahkan disaat dunia sudah mendekati simpulan sekalipun.

Sesungguhnya The World's End sanggup saja berada diatas Hot Fuzz bila bukan alasannya ialah titik puncak serta konklusinya yang mengecewakan saya. Setelah perjalanan gila nan seru ternyata kisahnya ditutup hanya dengan menyerupai itu saja. Mungkin ini dimaksudkan untuk memaksimalkan potensi huruf Simon Pegg tapi balasannya malah terlihat menyerupai sebuah kebingungan untuk menemukan cara mengakhiri semuanya. Semakin mengecewakan alasannya ialah ini bukan hanya simpulan sebuah film tapi juga simpulan dari sebuah trilogi yang luar biasa. Usaha untuk menyelipkan pesan ihwal kebebasan dan penolakan insan (baca: masyarakat) untuk diatur pergerakannya dengan alasan dunia yang lebih baik menjadi terasa kurang mengena. Tapi secara keseluruhan aku masih menyukai The World's End. Apalagi melihat bagaimana adegan aksinya dihukum dengan begitu keren menciptakan aku ingin tau akan bagaimana Edgar Wright menciptakan Ant-Man yang rilis 2015 mendatang. Simon Pegg pun tampil luar biasa disini menyeimbangkan sisi komedi, dramatik dan sosok yang keren dikala harus beradegan agresi dengan coat panjangnya itu. The World's End mungkin bukan yang terbaik dari trilogi cornetto, tapi dengan keseimbangan komedi, drama dan sci-fi yang dipenuhi tribute bagi film-film klasik menyerupai The Thing dan Invasion of the Body Snatcher,  ini ialah tontonan yang amat menyenangkan.

Artikel Terkait

Ini Lho The World's End (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email