Mungkin berlebihan kalau menyampaikan bahwa X-Men: The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine hampir menamatkan riwayat franchise X-Men di layar lebar. Tapi yang terang kedua film tersebut memang layak disebut sebagai yang terburuk dalam franchise ini. Setelah Brett Ratner merusak segala hal manis yang diciptakan Bryan Singer dalam dua film pertama X-Men, para mutan ini memang gres mendapat film yang layak lagi lima tahun kemudian lewat sebuah reboot/prequel X-Men: First Class garapan Matthew Vaughn yang sukses memperkenalkan masa kemudian dari Charles Xavier (Professor X) dan Erik Lensherr (Magneto). Wolverine pun pada balasannya mendapat film solo yang lebih layak lewat The Wolverine. Sampai pada balasannya Bryan Singer kembali menyutradari film X-Men sesudah 11 tahun "pergi". Tapi ia tidak hanya kembali alasannya film yang ia sutradarai bisa dibilang merupakan yang terbesar baik dari segi skala cerita, jumlah karakter, hingga bujet yang digelontorkan. Ya, Singer kembali dengan membawa sebuah ambisi besar tidak hanya untuk membuat film X-Men terbesar tapi juga mungkin film superhero terbesar yang bisa menandingi The Avengers. Filmnya sendiri mengambil dongeng dari komik Days of Future Past yang terbit tahun 1981 dan dianggap sebagai salah satu storyline terbaik dalam komik X-Men.
Pada awalnya kita akan dibawa pada kurun masa depan yang begitu kelam dimana dunia dikuasai oleh robot-robot raksasa berjulukan Sentinel. Pada awalnya Sentinel diciptakan untuk membunuh mutan, dan itu berhasil dimana banyak mutan yang balasannya tewas di tangan Sentinel. Tapi lambat laun robot ini juga mulai membunuh insan yang dari gen mereka berpotensi memiliki keturunan mutan. Dunia pun menjadi daerah yang begitu mengerikan khususnya bagi para mutan. Para mutan yang bertahan hidup mulai menyusun planning dibawah pimpinan Profesor X (Patrick Stewart). Mereka pun balasannya memutuskan untuk mengirim Wolverine (Hugh Jackman) ke masa kemudian tepatnya tahun 1973 dengan derma Kitty Pride (Ellen Page) guna memperingatkan Xavier muda (James McAvoy) ihwal masa depan yang porak poranda tersebut. Hal itu dilakukan dengan keinginan mereka bisa menghentikan Bolivar Trask (Peter Dinklage) yang pada tahun 1973 sedang berencana untuk membuat Sentinel. Tapi tentu saja hal itu tidak gampang dilakukan alasannya pada masa itu Xavier tengah dirundung banyak duka, kehilangan kekuatannya, dan masih bersitegang luar biasa dengan Erik (Michael Fassbender) yang dikala itu tengah di penjara atas tuduhan pembunuhan terhadap Presiden JFK.
Days of Future Past sudah dibuka dengan begitu luar biasa lewat citra masa depan yang kelam, penuh kesengsaraan dan kematian. Bahkan action sequence pembukanya pun begitu luar biasa meski sama sekali tidak menampilkan formasi mutan yang sudah punya nama besar dalam film-film sebelumnya. Saya sudah dibentuk ingin bertepuk tangan dan mencicipi intensitas yang tinggi dikala melihat mutan-mutan ibarat Blink, Sunspot, Warpath, Iceman, Colossus, Bishop hingga Kitty Pride bertarung mati-matian melawan Sentinel. Tidak hanya itu, adegan tersebut juga dibalut dengan kebrutalan yang diatas rata-rata film superhero pada umumnya. Disinilah kehebatan Bryan Singer benar-benar terlihat. Disinilah pembeda kasatmata antara Singer dan Ratner terpampang jelas. Disaat Brett Ratner membuat kekacauan dikala menumpahkan banyak mutan ke dalam satu film serta banyak membunuh potensi masing-masing dari mereka, Singer justru sebaliknya. Meski banyak mutan baik usang maupun gres yang hadir, masing-masing dari mereka diberi kesempatan yang sama untuk bersinar meski kemunculannya tidak banyak ibarat Storm atau Magneto-nya Ian McKellen. Singer tahu benar potensi tiap-tiap mutan dan memakai itu untuk mengkoreografikan adegan agresi dengan begitu spektakuler. Hal ini membuat mutan-mutan yang memang sudah dicintai ibarat Wolverine hingga Magneto-nya Fassbender tetap bersinar tapi disisi lain mutan gres ibarat Blink dan Quicksilver sanggup mencuri perhatian.
Dua nama yang disebut terakhir memang diluar dugaan sanggup mencuri perhatian. Blink (Fan Bingbing) yang namanya tidak pernah saya kenal sebelunya sanggup dimaksimalkan oleh Singer untuk membuat adegan agresi yang begitu dinamis lewat kemampuannya membuat portal ruang. Sedangkan Quicksilver yang sebelum perilisan filmnya terlihat kurang meyakinkan ternyata bisa menjadi mutan yang super keren lewat rambut abu-abu, walkman, serta tingkah semaunya sendiri itu. Kini menjadi kiprah berat bagi Joss Whedon untuk membuat Quicksilver yang setidaknya tidak kalah keren dalam Avengers: Age of Ultron. Kabar baiknya, Days of Future Past bukanlah kemunculan pertama dan terakhir mereka, alasannya keduanya akan kembali lagi dalam sekuel-sekuel berikutnya. Film ini juga masih punya love/hate relationship dengan chemistry kuat yang dimiliki McAvoy dan Fassbender. Hugh Jackman masih memikat ibarat biasa lewat mulutnya yang kadang masih susah dikontrol dan sering melontarkan dagelan demi lelucon. Jenffier Lawrence dan Peter Dinklage makin melengkapi jajaran cast yang bermain luar biasa dalam film ini. J-Law menunjukan bahwa Mystique bukan hanya sosok bersisik biru tapi juga dengan kedalaman emosi. Sedangkan Dinklage sebagai Bolivar mungkin bukan villain yang mengancam lewat kemampuan fisiknya, tapi sosoknya tetap bisa menebar bahaya dalam tiap kemunculannya.
Singer pun berhasil memaksimalkan kapasitas akting para pemainnya yang seabrek itu dengan keberhasilannya merangkum aspek drama dalam film ini. Saya pun berhasil dibentuk peduli dengan masing-masing karakternya. Singer tidak melupakan aspek penting yang sering ditinggalkan banyak sutradara film aksi, yakni memperlihatkan aksara yang dipedulikan penonton. Dengan memperlihatkan hal itu, ketegangan yang tersaji dalam tiap adegan aksinya pun makin bertambah alasannya penonton mencicipi kepedulian dan simpati pada aksara yang ada. Pada akhirnya, titik puncak yang menampilkan pertempuran di masa kemudian dan masa depan sama-sama terasa begitu luar biasa meski kalau harus menentukan saya lebih menyukai pertempuran para X-Men melawan Sentinel di titik puncak masa depannya. Lebih cepat, lebih intens, lebih brutal dan terasa cukup tragis. Begitulah, Singer sukses membuat sebuah film X-Men yang luar biasa. Tapi keberhasilan Singer bukan hanya itu. Tidak hanya sukses membuat sebuah film X-Men yang bagus, ia juga sanggup memperbaiki banyak hal yang kacau dalam universe film X-Men selama ini. X-Men: The Last Stand memang banyak "mengacaukan" dunia X-Men, dan Singer memanfaatkan dengan baik tema time travel yang ada untuk memperbaiki segala kekacauan tersebut. Pada balasannya memang masih ada beberapa continuity errors dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, tapi saya yakin film-film berikutnya akan menjawab hal-hal tersebut.
Saya sangat menyukai Days of Future Past. Adegan agresi yang keren, aksara berjumlah sangat banyak yang berhasil dimaksimalkan dan beberapa diantaranya digali cukup dalam, serta tidak lupa dongeng yang bagus. Tidak lengkap memang, sebuah film X-Men tanpa selipan kisah ihwal rasisme di dalamnya, alasannya intinya hal itulah yang menjadi salah satu fondasi paling menarik dalam dongeng para mutan ini, bagaimana mereka yang berbeda selalu dianggap sebelah mata bahkan tidak jarang dianggap sebagai sebuah bahaya yang perlu dimusnahkan. X-Men: Days of Future Past bagi saya yaitu yang terbaik dalam jajaran franchise X-Men. Secara dongeng mungkin masih seimbang atau sedikit di bawah X2: X-Men United, namun digabungkan dengan karakternya serta pengemasan adegan aksinya film ini yaitu yang terbaik tanpa perlu diragukan lagi. Saran saya lupakan sejenak continuity errors yang ada, alasannya mungkin saja hal-hal itu akan dijawab dalam film-fim berikutnya. Sementara anggap saja itu sebagai misteri. Jangan lupa menonton post-credit scene yang akan menampilkan calon villain bagi sekuelnya, X-Men: Apocalypse yang akan rilis tahun 2016. Kabarnya sekuel yang bakal menampilkan Apocalypse sang mutan tertua di muka bumi tersebut akan lebih besar dan lebih masif dari Days of Future Past...and I'm sold!
Ini Lho X-Men: Days Of Future Past (2014)
4/
5
Oleh
news flash