Wednesday, January 16, 2019

Ini Lho Bicara Soal Selera

Kali ini postingan saya bukan ditujukan untuk me-review sebuah film, melainkan sekedar mengembangkan pengalaman dan pendapat saya berkaitan dengan selera menonton film. Selama ini saya sempat mendengar beberapa komentar orang-orang di sekitar saya wacana selera mereka dalam menonton film. Tapi diantara komentar-komentar tersebut ada beberapa komentar yang sering menciptakan saya sedikit risih mendengarnya. Yang pertama yaitu sebuah komentar yang saya dengar ketika sedang berkumpul dengan beberapa sahabat saya. Kami yang sedang ngobrol-ngobrol di kamar kost milik saya ketika itu sedang mulai menyebabkan film sebagai topik pembicaraan. Awalnya kami membicarakan wacana The Avengers yang ketika itu tinggal gres tayang sekitar satu mingguan. Saya yang ketika itu menjadi satu-satunya diantara kami yang sudah menonton mulai sedikit sharing wacana pendapat saya akan film itu, yah sembari menawarkan review yang saya tuliskan di blog ini, yah hitung-hitung sedikit pamer sih. Pembicaraan kemudian beralih pada sosok Robert Downey Jr. dimana salah satu diantara sahabat saya menanyakan film apa saja yang pernah dibintangi Downey Jr. Saya kemudian menyebutkan beberapa judul film mulai dari Sherlock Holmes, Trophic Thunder, Zodiac sampai Due Date.

Begitu hingga pada judul Due Date salah seorang sahabat saya yang lain bertanya "Due Date itu film apaan?" yang eksklusif saya jawab sebagai film komedi. Kemudian terjadilah percakapan yang kurang lebih ibarat ini:

"Oh komedi, kirain drama. Kalo drama sih males nonton!" 
"Loh kenapa males nonton drama?" 
 "Males aja,nggak seru. Lagian masak pemuda suka nonton drama"
"Emang udah sering nonton film drama?"
"Ya nggak pernah lah, males amat. Mending nonton film eksyen"

Benarkah laki-laki tidak pantas menonton film ibarat ini?
Berhubung saya termasuk orang yang gampang terpancing emosi dan daripada menciptakan persoalan kesudahannya saya menentukan mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan semacam itu sudah sering sekali saya alami, dan secara umum dikuasai lawan bicara saya yang menngaku tidak doyan drama alasannya yaitu membosankan ternyata hampir tidak pernah nonton drama dan menyampaikan bahwa selera film mereka yaitu film action. Terkadang hal ini menciptakan saya merasa aneh, bagaimana mungkin seseorang bisa menentukan apa selera mereka kalau mereka sendiri belum pernah mencoba hal lain diluar genre film yang mereka sukai tersebut? Sama saja anda menyampaikan bahwa bakso lebih yummy daripada soto tapi anda tidak pernah makan soto.

Berbagai jenis komentar lain persoalan selera yang sempat mengganggu saya salah satunya yaitu ketika ada salah seorang sahabat yang mencaci maki Twilight sebagai sebuah film busuk, dan rasanya di seluruh dunia fenomena ini niscaya terjadi. Seolah-olah Twilight Saga yaitu sebuah franchise terburuk yang pernah ada. Tapi dari beberapa orang yang saya temui yang menyampaikan mereka membenci Twilight, ternyata mereka secara umum dikuasai belum pernah sekalipun menonton salah satu dari saga tersebut. Jika orang itu menyampaikan tidak tertarik maka hal itu bisa dimaklumi, tapi bila ada orang yang sudah mencaci maki film sebelum menontonnya saya rasa itu hanyalah bentuk konformitas saja. 
Apa mereka memang layak dicaci?
Hal yang sama juga berlaku untuk film-film Indonesia. Sekali lagi saya sering menjumpai orang yang dengan semangat mengkritik sineas kita yang menurutnya selalu menciptakan film sampah yang tidak bermutu dan membuatnya tidak tertarik lagi menonton film lokal. Kemudian saya tanyakan apa ia sudah menonton film-film ibarat Pintu Terlarang, Fiksi., Kala, Jermal, Sang Penari dan beberapa judul lainnya, ternyata ia menjawab belum pernah! Pola pikir yang sudah antipati duluan ibarat itulah yang turut menciptakan perfilman kita hancur, bukan semata-mata salah sineasnya. Pola pikir dan selera film penonton lokal juga harus diperbaiki.

Bicara soal selera, dari pengalaman-pengalaman saya diatas menawarkan bahwa terkadang seseorang merasa menyukai salah satu genre film atau membenci sebuah genre atau film dari negara tertentu (India misalnya) lebih alasannya yaitu mereka menutup mata. Mereka membenci drama alasannya yaitu mereka tidak pernah berusaha untuk menikmatiknya. Mereka membenci film India alasannya yaitu mereka tidak pernah berusaha mencari, begitu juga mereka yang membenci film lokal, kebanyakan alasannya yaitu mereka tidak berusaha mencari berlian yang bergotong-royong begitu banyak jumlahnya namun terpendam akhir terlalu banyak orang yang menutup mata mereka akan hal tersebut. Setelah ini saya akan mencoba sedikit sharing wacana pengalaman pribadi saya dalam hal selera film. Hingga awal 2009 kemudian saya sama sekali bukanlah orang yang menyukai film. Jangankan nonton di bioskop, untuk menyewa DVD saja saya tidak pernah. Hal tersebut sebenarya dibuat juga oleh lingkungan dimana sedari kecil hingga Sekolah Menengan Atas saya tinggal di sebuah kota kecil berjulukan Gombong yang terletak di Jawa Tengah bab Selatan dimana disana tidak ada satupun bioskop.
Dulu kawasan ini begitu asing bagi saya
Untuk menonton bioskop, paling bersahabat yaitu menuju Yogyakarta yang bila memakai bus patas maka jarak tempuhnya kurang lebih 3 jam. Dahulu ketika saya Taman Kanak-kanak sempat ada namun bioskop itu terbakar habis dan tidak dibangun kembali. Bahkan bila dihitung sejak saya lahir hingga awal 2009 itu saya pernah menonton bioskop kalau tidak salah gres sebanyak delapan kali (Toy Story, The Lost World: Jurassic Park, Godzilla, Mortal Kombat, Batman&Robin, Pinocchio dan Laskar Pelangi). Saat itu bisa dibilang  FILM BUKANLAH SELERA SAYA.

Sampai kemudian suatu hari saya dan teman-teman saya tiba ke kawasan rental DVD dan disana saya iseng-iseng meminjam beberapa judul film yang resensinya saya baca di majalah HAI, dimana salah satu judul film tersebut yaitu Twilight. Ya, bisa dibilang jalan saya untuk menyukai film dibuka oleh sebuah film aygn sangat dibenci di seluruh dunia. Jujur ketika itu saya cukup menyukai Twilight dan menganggap Edward dan Bella yaitu pasangan serasi. Berkat Twilight kesudahannya saya menentukan menghabiskan liburan semester ketika itu dengan menyewa kembali beberapa film. Sejak ketika itulah saya menjadi seorang anak yang SUKA NONTON. Tapi hanya sebatas itu saja. Film yang saya sewa di rentalan tersebut saya batasi hanya film-film blockbuster dan saya tidak menyewa film drama. Ya, ketika itu saya termasuk golongan "Pria pembenci drama". Saya merasa film drama dan romance bukan pilihan bagi seorang anak laki-laki dan terasa membosankan. Saya bisa dibilang anti terhadap film-film yang menerima nominasi Oscar, alasannya yaitu anggapn saya ketika itu film Oscar pastilah film yang berat dan membosankan. Sampai kemudian saya iseng meminjam sebuah drama yang masuk nominasi Oscar, yaitu Up in the Air. Secara mengejutkan film yang dibintangi George Clooney itu bisa menciptakan saya jatuh cinta. Padahal bila ditilik, film tersebut punya dongeng yang amat jauh dari film yang saya akui sebagai selera saya ketika itu. Saat itu saya yaitu seorang pecinta film macam Transformers dan G.I. Joe yang secara tiba-tiba jatuh cinta pada Up in the Air.
George Clooney changed my life
Semenjak itulah saya tidak lagi anti terhadap film-film Oscar, bahkan saya mulai mencari-cari film pemenang Oscar untuk saya tonton. Saat itu bisa dibilang SELERA SAYA TELAH BERUBAH. Setahun berlalu, saya sudah perlaha menjadi seorang yang SUKA FILM tapi belum seutuhnya. Saat itu saya sudah mulai menulis di blog ini, dan saya masih antipati terhadap film Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ketika itu film Indonesia yang pernah saya tonton cuma Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Nagabonar Makara 2. Dua film pertama saya tonton murni alasannya yaitu punya hype yang besar, sedangkan film ketiga saya tonton ketika diputar di televisi. Sampai di pertengahan 2010 muncul kehebohan ketika sebuah film dinilai kafir oleh sebuah perkumpulan Agama yang malas saya sebutkan namanya. Film itu tidak lain yaitu ? (Tanda Tanya). Dengan kontroversi yang begitu besar itulah saya memutuskan untuk pertama kalinya mengantri sendirian di bioskop demi menonton film Indonesia, dan hasilnya saya sangat menyukai film itu. Mata saya kembali dibukakan oleh sebuah karya yang berasal dari golongan yang selama ini saya remehkan. Ternyata film lokal masih punya karya yang berkualitas, begitu pikir saya ketika itu. Setelah itu saya mulai mencoba mencari-cari film lokal yang katanya anggun dan kesudahannya saya sadar bahwa BANYAK FILM INDONESIA YANG KEREN. Sekarang malah salah satu sineas lokal yaitu Joko Anwar yaitu satu dari lima sutradara yang karya-karyanya menjadi favorit saya.

Masih banyak lagi bergotong-royong film-film yang bertahap membuka mata saya bahwa apapun genre film dan darimana pun asalnya,selalu punya film yang anggun dan layak dinikmati. Saya sendiri sempat kurang agresif menonton film Asia, sebelum Confession (Jepang) dan I Saw the Devil (Korea) menciptakan saya berubah pikiran khususnya terhadap film-film Korea. Berbagai pengalaman tersebut menciptakan saya tidak pernah lagi menutup mata terhadap satu jenis film tertentu. Mempunyai selera dalam menonton itu wajar. Setiap orang niscaya punya genre film yang disukai dan tidak disukai. Seperti saya sendiri paling suka thriller dan bila dilihat dari sutradaranya maka karya-karya dari Christopher Nolan, Quentin Tarantino, Kim Ki-duk hingga Joko Anwar yaitu favorit saya. Untuk yang tidak saya suka, saya kurang menyukai genre period drama, walaupun begitu saya tetap selalu mencoba menonton film tersebut bila dirasa berpotensi semisal Jane Eyre ataupun Anna Karenina yang akan rilis tahun ini dan niscaya saya tunggu. Pada intinya, pepatah "Tak kenal maka tak sayang" memang benar dan berlaku juga di film. Selera terhadap suatu genre film yaitu wajar, tapi janganlah sekali-sekali anti menonton genre film tertentu hanya alasannya yaitu terdengar akan membosankan apalagi bila anda belum pernah mencoba menontonnya lebih jauh lagi.

Artikel Terkait

Ini Lho Bicara Soal Selera
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email