Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Carrie (2013)

 
Film Carrie isyarat Brian De Palma yang rilis tahun 1976 merupakan rujukan sebuah film yang semakin sering dilihat akan semakin bagus hasilnya. Saat pertama kali menonton saya tidak terlalu terpesona kecuali pada akting Sissy Spacek dan Piper Laurie serta klimaksnya yang penuh kekacauan, api dan darah babi tersebut. Tapi semakin sering saya menonton ulang, atmosfer horornya yang kelam semakin terasa kuat, drama perihal bullying pada gadis anti-sosial serta relasi unik antara Carrie dan ibunya terasa semakin bagus. Berselang 37 tahun kemudian Kimberly Peirce (Boys Don't Cry) mewujudkan kembali Carrie ke layar lebar untuk ketiga kalinya (yang kedua ialah film televisi yang rilis tahun 2002). Tentu saja saya merasa bahwa ini ialah proyek yang pointless meski Peirce menjanjikan penyesuaian terbaru ini akan lebih bersahabat ke novelnya, tapi tetap saja versi De Palma ialah horor klasik yang sulit ditandingi. Tapi berkat jajaran cast yang memukau menyerupai Chloe Moretz dan Julianne Moore sayapun tertarik melihat film ini, khususnya untuk melihat bagaimana Chloe Moretz mewujudkan "kegilaan" Carrie White.

Kisahnya tidak berbeda jauh dengan versi De Palma, yakni perihal Carrie (Chloe Moretz), seorang gadis pemalu dan introvert yang dikucilkan di sekolahnya. Tidak jarang Carrie mengalami bullying di sekolahnya termasuk ketika ia ketakutan melihat ada darah mengalir dari tubuhnya yang ternyata ialah darah menstruasi dimana kejadian itu berujung pada pelemparan tampon oleh teman-temannya. Kondisi Carrie dirumah ternyata tidak lebih gampang daripada di sekolah akhir sosok sang ibu, Margareth (Julianne Moore) yang begitu fanatik kepada agaman bahkan menjurus kearah gila. Margareth begitu mengekang kehidupan Carrie dan hanya memaksanya untuk berdoa dan memohon ampun pada Tuhan setiap hari. Namun Carrie bukannya tidak mempunyai orang yang peduli padanya. Ada Miss Desjardin (Judy Greer) sang guru olahraga yang selalu membantu Carrie di sekolah. Kemudian ada juga Sue Snell (Gabriella Wilde), sahabat sekolah Carrie yang merasa bersalah telah melaksanakan bullying pada Carrie dan ingin menebus kesalahannya.

Tentu saja bagi para penonton yang sudah merasakan versi De Palma akan tahu bahwa semua konfliknya akan berujung pada sebuah titik puncak asing pada Prom Night. Tapi sebelum hingga disana, akan ada banyak drama perihal Carrie, Margareth dan lingkungan sosial di sekitar mereka. Kaprikornus untuk menciptakan Carrie menjadi sebuah film yang memuaskan sang sutradara harus sanggup memaksimalkan drama di paruh awalnya dengan tetap mempertahankan atmosfer kelam yang mencekam untuk kemudian gres habis-habisan mengumbar horornya sehabis Prom Night dimulai. Saya sendiri tidak berharap akan menerima tontonan yang melebihi versi De Palma, melainkan hanya ingin melihat visi gres seorang Kimberly Peirce terhadap novel Stephen King tersebut. Tapi nyatanya apa yang Peirce lakukan disini hampir sama persis dengan yang dilakukan oleh De Palma dulu. Ini memang bukan shot-to-shot remake tapi semua adegan vital dalam versi 1976-nya diulan lagi disini tanpa banyak menambahkan aspek-aspek gres sebagai pembeda untuk menciptakan filmnya lebih segar. Kecuali opening dan konfrontasi antara Carrie dan Margareth yang mencekam dan cukup brutal di simpulan tidak ada perbedaan antara versi ini dengan versi De Palma.
Kemudian kita bicara momen sebelum titik puncak yang vital untuk tetap menciptakan filmnya menarik meski minus adegan-adegan menyeramkan. Kisah bullying-nya sendiri tidak terlalu mengena sebab lagi-lagi yang terjadi ialah pengulangan terhadap scene ikonik dari film aslinya ketika Carrie mengalami menstruasi. Selain itu, yang muncul justru memasukkan banyak sekali pop culture menyerupai YouTube hingga attitude khas film-film sampaumur yang menampilkan huruf cewek terkenal yang sok cantik, bitchy  dan menyebalkan. Yang terjadi ialah Carrie menjadi terasa terlalu sampaumur dan kurang kelam. Begitu juga relasi antara Carrie dan Miss Desjardin yang kurang tergali dimana sang guru kurang terasa sebagai "guardian angel" bagi Carrie di sekolah. Sedangkan sosok Sue Snell kurang terasa "pertobatannya" sehingga motivasinya untuk berkorban besar bagi Carrie menjadi kurang jelas. Sedangkan relasi antara Carrie dan Margareth mungkin yang paling terasa kuat, meski pada hasilnya kerumitan perasaan Margareth yang bercampur antara sayang dan benci pada Carrie kurang terasa. Dibandingkan menyoroti kelamnya hidup Carrie, film ini nampak lebih tertarik mengeksplorasi perjuangan Carrie mempelajari kekuatan telekinesisnya yang mana merupakan pilihan keliru.

Drama perihal kehidupan kelam Carrie ialah daya tarik utama film aslinya, dan mengurangi porsi hal itu hanya untuk memberi waktu memperlihatkan lebih banyak kekuatan Carrie mengakibatkan filmnya terasa membosankan di beberapa bagian. Mudah saya pada hasilnya hanya sanggup berharap dipuaskan lagi oleh titik puncak prom night yang asing tersebut. Jalan menuju kearah sana dibangun dengan baik dimana saya makin bersimpati pada sosok Carrie ketika beliau begitu senang hingga hasilnya ketika momen itu datang saya mulai girang. Tapi apa yang terjadi ialah kekecewaan lagi. Meski dibalut efek visual yang lebih mumpuni, visi dari Kimberly Peirce terhadap adegan tersebut terlalu ramah bagi saya. Meski masih melaju kencang, klimaksnya nampak kurang bertaring, dimana kebrutalannya tidak terlalu terasa dan kesadisannya pun terasa lembek. Akhirnya sebelum saya sempat dipuaskan momen itu sudah berakhir, dan makin kecewalah saya. Untung masih ada kejutan di simpulan pada konfrontasi Carrie dan Margareth, tapi lagi-lagi kekecewaan muncul ketika film ini mencoba merekonstruksi ulang scene penutup dari film De Palma dengan begitu menggelikan. 

Untung masih ada akting memukau dari Chloe Moretz dan Julianne Moore. Keduanya sama-sama memperlihatkan versi gres pada huruf yang mereka mainkan. Margareth versi Moore lebih kelam, asing dan diliputi kebencian yang lebih besar sedangkan Carrie versi Chloe Moretz lebih "normal" daripada Siisy Spacek yang gila. Membuat Carrie White lebih normal ialah salah satu perjuangan untuk menciptakan film ini lebih gampang dinikmati penonton umum, begitu pula dengan banyaknya unsur drama sampaumur yang menciptakan tone film tidak terlalu kelam. Namun hasil hasilnya justru mengecewakan. Carrie menjadi kehilangan sentuhan drama kelamnya, klimaksnya pun tidak menggigit dan dipenuhi hal-hal menggelikan perihal drama remaja. Tidak adanya perjuangan dari Kimberly Peirce untuk memperlihatkan sentuhan yang berbeda dengan versi De Palma juga makin menciptakan Carrie menjadi remake yang tidak perlu lengkap dengan kualitas yang mengecewakan.

Artikel Terkait

Ini Lho Carrie (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email