Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Retrospective Review - Pieta (2012)

Ini bukan pertama kali saya menonton ulang sebuah film, alasannya yakni beberapa film pun hingga saya tonton lima kali bahkan lebih alasannya yakni saya begitu menyukai film tersebut (ex: Pulp Fiction, (500) Days of Summer). Tapi gres kali ini saya menonton ulang sebuah film untuk mendapat sudut pandang gres terhadap film tersebut dan menuliskan lagi reviewnya di blog ini. Sekitar tujuh bulan yang kemudian saya menonton Pieta, film garapan Kim Ki-duk yang berhasil memenangi Golden Lion di Venice Film Festival, atau dengan kata lain menjadi film terbaik di pameran tersebut dan menandai sejarah sebagai sutradara Korea pertama yang filmnya berhasil menajdi yang terbaik di satu dari tiga pameran film paling prestisius (Cannes, Venice, Berlin). Saat itu dengan antusiasme dan ekspektasi tinggi saya menonton Pieta. Harapannya saya akan mendapati film-film indah penuh perenungan ala Ki-duk yang sanggup ditemui dalam 3-Iron ataupun Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring. Tapi ternyata Kim Ki-duk menghadirkan film terbarunya tersebut secara lebih sederhana, lebih "kotor" dan keras. Memang kekerasan tidak pernah lepas dari film-filmnya, tapi keindahan serta pemaknaan mendalam yang saya harapkan tidak saya temui di Pieta yang nampak menyerupai revenge movie standar Korea. Saya pun kecewa pada ketika itu.

Beberapa waktu terakhir ini saya sedang banyak menonton film-film Kim Ki-duk termasuk banyak diantaranya film-film usang sang sutradara yang rilis pada simpulan 90-an hingga awal tahun 2000-an. Dari situ saya mulai menemui banyak sekali sisi lain dari Kim Ki-duk. Jika sebelumnya saya hanya memandang Kim sebagai sutradara dengan film-film indah yang mengalun nyaris tanpa dialog, apa yang ia tampilkan di awal karir ternyata cukup berbeda. Tingkat kekerasan yang sudah saya lihat di beberapa filmnya berada dalam porsi yang lebih banyak dan lebih garang di kala awal Kim Ki-duk. Karakter yang ada lebih garang dan tidak selalu bisu. Gambar-gambar indah sedikit berkurang diganti dengan gambar-gambar penuh ironi dan atmosfer kelam yang entah bagaimana terasa indah. Saya pun teringat Pieta yang memiliki gaya lebih menyerupai dengan awal karir Kim dibandingkan sebelum ia vakum pada 2009 dan 2010. Saya mulai berpikir, apakah bekerjsama Pieta  jauh lebih baik daripada yang saya anggap ketika pertama kali menontonnya? Apakah evaluasi saya waktu itu murni alasannya yakni ekspektasi yang sangat tidak terpenuhi? Kenyataan yang berbeda dengan ekspektasi entah itu dari segi kualitas ataupun tipikal film sudah sering saya rasakan tapi gres kali ini hal tersebut menciptakan saya menonton ulang film tersebut. Alasannya jelas: Ini Kim Ki-duk.

Menengok kembali Pieta saya pun merasa keliru memandang film ini pada waktu pertama kali. Pieta memang berkaitan dengan balas dendam, dan paruh keduanya berisikan hal tersebut yang pada kesannya berujung pada sebuah twist. Sebuah twist yang bagi saya tidak terlalu mengejutkan. Pada kesempatan menonton yang kedua kalinya saya makin menyadari bahwa bekerjsama ada begitu banyak hint yang ditebarkan oleh Kim Ki-duk berkaitan dengan twist tersebut. Dari situlah saya kesannya sadar bahwa apa yang coba diperlihatkan oleh Kim bukanlah sebuah twist yang sakit dan mengejutkan. Hal itu saya anggap sebagai bonus, namun hal utamanya yakni kedalaman aksara yang ada. Kim menentukan mengorbankan kerahasiaan twist-nya demi karakterisasi yang lebih mendalam dari sosok Jang Mi-sun entah itu dari obrolan yang ia ucapkan maupun dari beberapa sikap yang ia perbuat sebelum twist itu datang. Kim nampaknya sadr jikalau ia lebih menentukan kerahasiaan akan kejutannya, twist yang muncul sanggup jadi terasa dipaksakan dan membohongi penonton. Untuk itulah beberapa hint disebar semoga aksara Jang Mi-sun sanggup lebih mendalam lagi. 
Tapi meski anda berhasil menebak twist-nya, cara Kim merangkum kejutan serta ending akan selalu terasa mengejutkan. Sudah bukan belakang layar lagi bahwa film-film Kim Ki-duk akan berakhir jikalau tidak dengan ambigu, adegan penuh simbol ataupun dengan adegan shocking yang dihukum dengan begitu indahnya. Biasanya adegan itu akan berisi sebuah keputusan ekstrim dari karakternya yang akan menciptakan ending-nya terasa menyentak. Sekali lagi hal tersebut juga kembali muncul di Pieta. Dengan iringan musik yang indah, sebuah kendaraan beroda empat pick-up berjalan lambat di pagi buta sambil meninggalkan jejak darah yang mengalir di sepanjang jalan yang telah dilalui. Lagi-lagi sebuah momen yang akan menciptakan penontonnya terpaku. Selain itu, melihat Pieta untuk kedua kalinya menciptakan saya lebih sanggup mencicipi emosi-emosi yang muncul pada ketika aksara Kang-do dan Mi-sun saling berinteraksi. Ya, kembali sebuah kisah cinta yang absurd ditampilkan oleh Kim disini. Momen senang yang terjalin singkat antara mereka berdua terasa semakin indah kali ini, dan momen simpulan yang mengenaskan itu semakin terasa menyentuh sekarang. Momen-momen menyerupai ketika Kang-do ingin "kembali" kedalam vagina Mi-sun terasa lebih menyakitkan ketika saya tonton sekarang. Atmosfer filmnya terasa lebih depresi namun saya jadi lebih sanggup menangkap segala emosi yang ditawarkan oleh ceritanya.

Mungkin benar bahwa Pieta merupakan salah satu film Kim Ki-duk yang paling gampang ditonton. Tidak ada adegan seksua vulgar juga tidak ada adegan kekerasan yang ditampilkan dengan begitu gamblang. Namun di samping kedua hal tersebut, Pieta punya caranya sendiri untuk tetap terasa menyakitkan, alasannya yakni kisah cinta absurd yang ditampilkan Ki-duk kali ini bukan hanya sekedar sepasang kekasih melainkan ibu dan anak. Pieta makin memperjelas bahwa Kim Ki-duk tengah memasuki fase ketiga dalam karirnya sebagai sutradara yang sudah 17 tahun dan tahun ini ia akan segera merilis filmnya yang ke-19 dengan judul Moebius. Fase pertama karirnya dimulai dari Crocodile (1996) hingga The Coast Guard (2002) yang berisi film-film penuh kekerasan dan terasa lebih raw. Fase kedua yakni Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring (2003) hingga Dream (2008) yang lebih banyak berisi perenungan dan film-film minim obrolan namun berisi gambar-gambar indah meski tetap dipenuhi kekerasan dan seks. Fase kedua sanggup saja bertahan hingga simpulan karirnya jikalau tidak ada tragedi kecelakaan di lokasi syuting Dream yang membuatnya mengasingkan diri. Arirang (2011) sanggup dibilang yakni transisi menuju fase ketiga yang dimulai oleh Amen (2011), sebuah fase yang nampaknya menggabungkan ciri dua fase pertamanya namun lebih kental unsur fase pertama. Maka jangan heran jikalau Moebius nantinya lebih terasa menyerupai Bad Guy daripada Samaritan Girl misalkan. 

Menonton Pieta untuk kedua kalinya saya mendapat beberapa hal abru yang menciptakan filmnya terasa lebih anggun di mata saya. Pada kesannya saya pun tertarik menonton ulang beberapa film Kim Ki-duk yang berakhir tidak terlalu memuaskan menyerupai Amen dan Time. Untuk membaca review lengkap dari Pieta sanggup klik disini alasannya yakni dalam goresan pena ini saya tidak menuliskan beberapa aspek yang sudah saya bahas di review yang pertama.

Artikel Terkait

Ini Lho Retrospective Review - Pieta (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email