Wednesday, January 16, 2019

Ini Lho The Dictator (2012)

Sacha Baron Cohen yaitu salah satu pemain drama watak terbaik yang ada sekarang. Lihat saja bagaimana ia bisa membuat karakter-karakter unik nan memorable dalam film-film komedinya. Mulai dari laki-laki bergaya rapper berjulukan Ali G, seorang fashionista gay berjulukan Bruno dan tentunya reporter Kazakhstan berjulukan Borat. Karakter-karakter itu sendiri diciptakan Sacha Baron Cohen sebagai bentuk sindiran atas banyak sekali pihak, bisa dibilang sebuah abjad satir. Selain hebat dalam memainkan abjad ciptaannya sendiri, Sacha Baron Cohen juga piawai dalam memainkan tokoh lain ibarat dikala ia menajdi Inspektur Gustav di Hugo atau dikala ia bermain di Sweeney Todd. Bahkan di tahun 2014 nanti rencananya ia akan bermain dalam biopic Freddie Mercury dan berperan sebagai Mercury sendiri. Tapi sebelumnya di 2012 ini Sacha Baron Cohen kembali merilis film dengan abjad ciptaannya sendiri. The Dictator yang kembali disutradarai oleh Larry Charles ini terinspirasi pada buku Zabibah and the King yang ditulis diktator Irak Sadam Hussein. Sedangkan Sacha Baron Cohen disini memerankan General Aladeen, seorang diktator dar sebuah negara fiktif di Afrika Utara berjulukan Wadiya. General Aladeen sendiri yaitu abjad yang dibentuk oleh Baron Cohen menurut sosok Muammar Gaddafi.

The Dictator mengisahkan ihwal kediktatoran General Aladeen yang sering bertindak kejam terhadap orang lain. Tapi kekejaman tersebut bukan dikarenakan Aladeen yaitu laki-laki berdarah hambar namun lebih alasannya yaitu kebodohan. Aladeen pernah mengeksekusi banyak orang dengan alasan konyol termasuk dikala ia mengeksekusi ilmuwan nuklir miliknya, Nadal (Jason Mantzoukas) hanya alasannya yaitu senjata nuklir yang dibentuk Nadal bagi Aladeen mempunyai ujung yang bundar dan tidak tajam ibarat yang diinginkan Aladeen. Baginya roket dengan ujung bundar tidak mengerikan dan terlihat bagaikan sebuah dildo raksasa. Kediktatoran dan pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Aladeen sendiri menerima kecaman dari banyak pihak khususnya Amerika Serikat. Hal itu membuat negara luar mengancam akan menyerang Wadiya kalau Aladeen tidak bersedia menghentikan kediktatorannya. Akhirnya untuk membahas perihal tersebut Aladeen berkunjung ke New York. Tapi sesampainya disana dikala malam hari Aladeen diculik. Bukannya dibunuh, Aladeen justru harus kehilangan jenggot kesayangan yang juga menjadi ciri khasnya. Tanpa jenggot dan pakaian kebesarannya, tidak ada yang mengenali Aladeen. Untungnya di tengah kekacauan Aladeen dibantu oleh Zoey (Anna Faris) yang ironisnya merupakan demonstran anti-Aladeen.
The Dictator terperinci punya humor-humor yang sangat ofensif dan beberapa juga jorok. Seperti biasa humor ala Sacha Baron Cohen ini pastinya akan menyulut kontroversi. Kali ini yang disindir yaitu ihwal bagaimana Amerika menyikapi konflik yang sering terjadi di negara Timur Tengah hingga ihwal bagaimana mereka memandang terrorisme yang begitu menempel pada orang-orang Timur Tengah. Yang terperinci bagi penonton yang kurang bisa mendapatkan humor ofensif yang penuh nuansa rasisme dan kejorokan maka The Dictator akan menjadi 83 menit penuh dengan momen-momen menyebalkan yang jauh dari kesan lucu. Bagi saya sendiri paruh awal film ini terasa garing dan gagal dalam menghantarkan komedinya. Sejak awal memang tanpa basa-basi film ini pribadi mengeluarkan segala amunisinya untuk mengocok perut penonton. Tapi sayangnya semua itu gagal terlihat menarik alasannya yaitu momen-momen awal dikala kita diajak berkenalan pada kekejaman sekaligus kebodohan Aladeen terasa biasa saja. Di potongan awal ini momen yang bisa membuat saya sedikit tertawa paling hanyalah adegan pengubahan beberapa kata Wadiya menjadi "Aladeen", sedangkan sisanya terasa datar.
Untungnya sehabis berjalan beberapa dikala film ini mulai menemukan sentuhannya. Beberapa momen mulai terlihat lucu meski tidak semuanya berhasil. Saat itu yaitu momen dimana The Dictator tidak hanya menampilkan komedi jorok dan agresif ditambah rasisme tanggung ibarat diawal film, tapi secara total mengeluarkan semuanya. Rasisme yang di potongan awal masih terasa "ringan" mulai makin ofensif. Tapi anhenya makin ofensif dan agresif rasisme yang muncul dalam humornya justru makin terasa lucu film ini. Semua itu berkat penempatannya yang cerdas dalam naskah. Tidak selamanya humor agresif dan rasis terdengar menjijikkan, alasannya yaitu komedi yaitu duduk kasus timing, dan kalau penempatannya pas maka humor serasis apapun bisa terdengar cerdas, alasannya yaitu mau tidak mau rasanya kita harus mengakui jenis humor dan dagelan yang paling sering membuat kita tertawa yaitu dagelan berbau rasis atau yang memasukkan unsur stereotype suatu golongan. Saya yakin banyak yang mengakibatkan dagelan mengenai orang kulit gelap sebagai guilty pleasure. Pastinya juga banyak yang doyan mentertawakan stereotype Korut sebagai negeri yang tidak mempunyai kebebasan dan masih banyak lagi humor ibarat itu yang beredar diantara kita. Dalam The Dictator banyak sekali golongan tidak lepas dari sindiran mulai dari kulit hitam, orang Amerika, Yahudi dan masih banyak lagi. Beberapa cameo ibarat dari Megan Fox dan Edward Norton juga menarik dan lucu.

Tentu saja saya tidak mengharapkan sebuah kisah yang cerdas, tapi dongeng yang disajikan dalam The Dictator terlalu udik di beberapa bagian. Jika kita melihat Borat ataupun Bruno dongeng yang ada didalamnya yaitu humor itu sendiri dan kedua aspek tersebut menyatu dengan baik, sehingga meski penuh kebodohan, ceritanya tidak pernah sekalipun terasa udik bahkan terbilang cerdas. Sedangkan dalam The Dictator saya tidak mencicipi humor dan ceritanya sebagai satu kesatuan yang sempurna. Disatu sisi saya mencicipi humornya yang udik dan agresif mulai terasa menarik di pertengahan. Tapi dikala itu juga ceritanya terasa janggal. Kemudian akhir dongeng dan humornya yang menyatu, kebodohan yang terjadi pada ceritanya makin sulit ditolerir. Beberapa perbuatan yang dilakukan karakternya terkadang terasa terlalu bodoh. Saya tidak terlalu mempermasalahkan kebodohan dalam humornya tapi lebih kepada beberapa tindakan tokohnya yang menghipnotis jalan cerita. Selain itu abjad Aladeen juga mengalami perubahan karakterisasi yang agak mengganggu dikala di pertengahan ia mulai menjadi baik dengan begitu cepat. Hal itu membuat ceritanya di beberapa potongan sempat terasa layaknya film komedi yang lain walaupun pada kesannya humor dan dongeng ala Baron Cohen dan penampilan gemilangnya sebagai Aladeen bisa membuat perbedaan. Sangat disayangkan kebodohan yang ada dalam ceritanya tidak secerdas kebodohan dalam leluconnya, padahal The Dictator berpotensi besar menjadi komedi ofensif yang cerdas layaknya Borat. Justru beberapa materi promo yang disebar film ini jauh lebih lucu dan cerdas.


Artikel Terkait

Ini Lho The Dictator (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email