Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho The Hobbit: The Battle Of The Five Armies (2014)

Let's face it, trilogi The Hobbit tidak akan bisa mencapai level yang sama dengan The Lord of the Rings. Bukan semata-mata sebab kemampuan Peter Jackson yang telah menurun, tapi lebih sebab konsep dari novel yang menjadi sumbernya tidaklah cocok dikemas sebagai tontonan epic macam TLOTR. Lihatlah An Unexpected Journey yang begitu dipanjang-panjangkan dan seringkali membosankan, atau The Desolation of Smaug yang meski mengalami peningkatan cukup jauh tetap terasa kurang menggigit. Hal ini sesungguhnya sudah menjadi kekhawatiran banyak orang sebelum film pertamanya dirilis sebab memang intinya The Hobbit "hanya" dongeng petualangan fantasi yang ringan dan lebih ditujukkan untuk pembaca anak-anak. Tapi dasar Peter Jackson keras kepala, ia alhasil justru merubah judul film ketiganya dari There and Back Again menjadi The Battle of the Five Armies. Mudah ditebak arahnya, selain biar lebih menjual, Peter Jackson akan mengemas epilog trilogi ini layaknya The Return of the King. Penuh adegan agresi dan peperangan epic. Tujuannya jelas, tapi ibarat sudah saya duga trilogi ini tidak akan bisa mencapai taraf epic.

Langsung melanjutkan apa yang ditinggalkan film keduanya, The Battle of the Five Armies langsung dibuka dengan penyerangan Smaug terhadap Laketown. Tapi meski berhasil melaksanakan penghancuran besar dan lautan api dimana-mana, tidak butuh waktu usang bagi Smaug untuk berhasil dibunuh oleh Bard the Bowman (Luke Evans) dengan menggunakan black arrow. Disisi lain dengan kematian Smaug, para dwarf yang dipimpin Thorin (Richard Armitage) pun otomatis berhasil merebut kembali Erebor. Tapi kondisi justru memburuk dikala Thorin yang bijak itu terkena "kutukan" harta Smaug yang menimbulkan beliau sekarang terobsesi pada semua harta karun disana khususnya Arkenstone tanpa tahu bahwa watu itu telah disimpan oleh Bilbo (Martin Freeman). Thorin pun memerintahkan para dwarf untuk membangun benteng di Lonely Mountain. Tapi ternyata semua pihak sama-sama berusaha menuju kesana, baik itu pasukan Elf, warga Laketown, hingga pasukan Orc. Dengan tujuan masing-masing mereka berkumpul di Lonely Mountain dan ibarat yang kita tahu akan terjadi peperangan antara lima pasukan tentara berjumlah besar. 
Film ini yakni satu lagi bukti ketidak pedulian Hollywood (baca: industri) akan esensi cerita, mengobrak-abrik, dan menggantinya dengan kemasan adegan agresi berskala besar biar bisa menghibur penonton sebanyak mungkin. Kritikan ini bersama-sama tidak hanya ditujukan pada film ketiganya ini saja, tapi pada pembiasaan The Hobbit secara keseluruhan. Sekali lagi, dongeng ini bukanlah sajian agresi dan petualangan epic, tapi lebih kepada hiburan ringan yang mengeksplorasi bagaimana perkembangan huruf Bilbo dari seorang hobbit pencuri penakut menjadi jauh lebih berani sesudah petualangan yang beliau hadapi, sesederhana itu. TLOTR juga punya aspek itu, tapi secara keseluruhan memang kandungan ceritanya jauh lebih kompleks. Memisahnya menjadi tiga film dan mengemasnya sebagai film kolosal yakni keputusan yang memang seharusnya dilakukan. Akhirnya permasalahan yang hadir dalam film ketiganya ini pun sama dengan dua film sebelumnya, memaksakan ada apa yang tidak ada dalam sumber ceritanya. Satu-satunya cara mengakali itu yakni penyesuaian naskah, pengubahan cerita, yang mana tidak akan dilakukan demi menghormati sumbernya.
Ironis memang, sebab dengan mengemas film ini tidak sesuai dengan esensi bukunya justru terasa sebagai bentuk mengacuhkan bahkan tidak menghormati sumber. Dalam The Battle of the Five Armies, kasusnya yakni memaksakan diri untuk dikemas menjadi epilog epic dengan perang yang (dijanjikan) berskala besar, padahal dilihat dari hasil alhasil saya bisa mencicipi bahwa hal itu bersama-sama bukanlah fokus utama yang dimaksudkan Tolkien dalam menutup petualangan Bilbo. Memang ada begitu banyak yang terlibat dalam peperangan ini, ada juga banyak kematian, dan Peter Jackson sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tetap saja titik puncak yang dijanjikan itu tidak pernah benar-benar menghibur. Jangankan mendekati apa yang dipunyai The Return of the King, peperangan dalam film ini sama sekali tidak mengandung ketegangan dan minim adegan agresi fantastis. Bahkan kehadiran Legolas yang selalu menyajikan agresi keren itu tidak terlalu banyak membantu. Apa yang menciptakan film ketiganya ini jadi yang terburuk diantara trilogi sebab memaksa mengemas film ini secara menyeluruh menjadi sesuatu yang bukan jadi tujuan utama bukunya, yaitu full action.

Dari awal hingga akhir, The Battle of the Five Armies adalah sajian agresi non-stop. Sesekali memang ada selipan dongeng ibarat obsesi Thorin dan percintaan Tauriel dengan Kili, dimana yang kedua terasa cukup berhasil membangun intensitas pada sebuah momen pertarungan, tapi hanya itu. Dalam durasinya yang mendekati dua setengah jam, film ini mudah tidak punya banyak cerita, dan hanya menghadirkan adegan agresi demi adegan aksi. Saya tidak mempermasalahkan cara pengemasan itu, tapi sekali lagi sebab sumber dongeng yang tidak mengakomodir hal itu, jadilah film ini menjadi sajian penuh agresi dari awal hingga simpulan tanpa ada yang benar-benar menarik, tidak ada yang memorable, tidak ada yang menegangkan. Saat sebuah peperangan skala besar disajikan sebegini datar, apa bedanya Peter Jackson dengan Michael Bay (perbandingan yang agak dipaksakan, tapi sebegitu kosong dan datarnya action disini). Sangat disayangkan, epilog rangkaian dunia Tolkien ini malah jadi yang terburuk, baik itu diantara trilogi The Hobbit, tapi juga secara keseluruhan kalau digabung juga dengan The Lord of the Rings. Ada kalanya sesuatu yang dipaksakan itu bisa berhasil, tapi tidak dengan franchise ini. Low point baik bagi pembiasaan film dari buku Tolkien maupun karir Peter Jackson.

Artikel Terkait

Ini Lho The Hobbit: The Battle Of The Five Armies (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email