Bagian pertama dari trilogi The Hobbit ini akan membawa kita pada masa 60 tahun sebelum insiden di Fellowship of the Ring, dimana Bilbo Baggins (Martin Freeman) yang dikala itu "baru" berusia setengah era bertemu pertama kali dengan sang penyihir Gandalf the Grey (Ian McKellen). Pertemua itu jadinya berujung pada "kunjungan" 13 dwarf kerumah Bilbo. Para dwarf yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) ini sedang dalam perjalanan menuju Erebor yang merupakan rumah mereka yang sesungguhnya sebelum kedatangan seekor naga berjulukan Smaug yang memaksa para dwarf tersingkir dari sana. Perjalanan menuju Erebor bertujuan untuk mendapat rumah dan segala harta mereka kembali. Bilbo sendiri diminta untuk ikut dalam rombongan tersebut sebagai pencuri. Meski awalnya menolak, pada jadinya Bilbo menentukan untuk ikut dalam petualangan tersebut dan meninggalkan Bag End. Tidak akan ada perang besar-besaran yang mengancam dunia menyerupai dalam TLOTR, tapi masih akan ada beberapa rintangan menyerupai Orc, Troll, raksasa batu, dan tentunya yang paling dinantikan yakni kemunculan Gollum dan cincin miliknya yang menyerupai kita tahu akan diambil oleh Bilbo.
Paruh pertama dari film ini sempat terasa membosankan. Alur yang disajikan pada bab awal terasa sangat belum dewasa dengan sempilan komedi dan momen-momen komedik penuh keceriaan menyerupai adegan makan malam yang diiringi nyanyian para dwarf. Pada dasarnya The Hobbit sendiri memang sebuah buku yang ditujukan bagi anak-anak, sehingga pengemasan yang dilakukan oleh Peter Jackson dengan memperlihatkan nuansa fantasi yang lebih cerah di paruh awal ketimbang TLOTR yakni keputusan yang tidak bisa disalahkan. Masalahnya yakni dominan penonton film ini yakni orang yang sudah menonton dan menyukai versi TLOTR yang lebih remaja dan kelam. Bagi penonton yang tidak tahu wacana detil dan fakta dari The Hobbit niscaya akan dibentuk gundah mengapa sebuah film yang katanya prekuel dari TLOTR tampil menyerupai sebuah film yang disesuaikan dari dongeng sebelum tidur untuk anak-anak. Tidak hanya itu saja yang membuat film ini sempat terasa membosankan. Beberapa adegan juga terasa disajikan secara terlalu lama. Adegan para dwarf bernyanyi dirumah Bilbo sempat membuat saya kehilangan mood untuk menonton dan rasanya akan lebih baik bila dihilangkan. Kemudian momen di Rivendell yang menampilkan dialog antara Gandalf, Saruman, Lord Elrond dan Galadriel terasa terlalu usang dan bertele-tele, begitu juga beberapa adegan lain yang juga terasa terlalu usang menampilkan dialog yang bisa dipersingkat.
Untungnya dikala petualangan sudah dimulai, An Unexpected Journey menjadi jauh lebih seru dan menarik. Petualangannya berjalan cukup cepat, meski sempat melambat dikala tiba di Rivendell, tempo penceritaannya kembali meningkat dan tidak lagi terasa membosankan hingga simpulan film. Pada bab ini, adegan agresi dan momen komedinya bisa membaur dengan baik dan tidak lagi terasa kekanak-kanakan meskipun jauh lebih ringan daripada TLOTR. Pertarungan dengan Troll dan Orc memang seru, namun yang paling luar biasa yakni kemunculan raksasa batu. Monster raksasa yang saling bertarung melempar watu berukuran super bersar itu bisa menghadirkan salah satu momen paling epic dalam film ini. Sebuah campuran tepat dari kehebatan Peter Jackson dalam membangun ketegangan dan dampak CGI yang begitu baik. Kemudian momen demi momen seru yang membuat saya tidak sadar bahwa saya sudah duduk lebih dari dua setengah jam didalam bioskop menyusul satu demi satu. Tapi momen favorit saya yakni kemunculan Gollum yang juga mengundang keriuhan penonton lainnya. Adu teka-tekiyang terjadi antara Bilbo dan Gollum begitu menarik untuk diikuti. Seperti biasa kepribadian ganda dari Gollum membuat sebuah ambiguitas yang selalu menajdi daya tarik tersendiri.
Lalu bagaimana dengan teknologi HFR yang menuai kontroversi tersebut? Butuh waktu beberapa menit bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan teknologi ini. Harus diakui gambarnya jauh lebih jernih, apalagi saya menonton juga dalam format 3D yang sesungguhnya sudah membuat gambar dalam film terasa lebih jernih, dalam sekaligus detail. Selain itu pergerakan gambarnya juga menjadi lebih halus. Tapi disisi lain, dampak CGI yang begitu mendominasi dipadukan dengan teknologi HFR membuat saya merasa menonton sebuah video game dengan kualitas grafis yang bagus, dan bukan menyerupai menonton film. Dengan tingkat kedetailan yang makin tinggi, dampak CGI yang digunakan juga sempat terasa kepalsuannya. Tapi secara keseluruhan pemakaian teknologi ini terasa memuaskan bagi saya. Sebuah pengalaman gres yang menyenangkan melihat sebuah film ditampilkan dalam cara yang berbeda. Tentu saja kedepannya teknologi ini akan semakin maju, dan tinggal kita tunggu saja hasilnya alasannya yakni kabarnya James Cameron juga akan menggunakan teknologi ini untuk sekuel-sekuel Avatar (yang entah kapan dirilis).
Penampilan para aktornya sendiri memuaskan. Martin Freeman sukses menjadi Bilbo Baggins yang terkadang konyol namun juga bisa mengeluarkan sisi keberanian dan heroisme dalam dirinya. Saya sendiri jauh lebih menyukai Bilbo dariapda Froddo yang bagi saya dalah salah satu kelemahan trilogi TLOTR. Bilbo mungkin bukan huruf yang simpel dicintai, namun terperinci bukan huruf yang menyebalkan. Setidaknya ia hanyalah seorang hobbit yang takut untuk meninggalkan zona aman, namun ia punya keberanian dan aura yang cerah sekaligus menyenangkan. Bandingkan dengan Frodd yang begitu menyebalkan dan gloomy. Ian McKellen sebagai Gandalf tetap dalam performa terbaiknya, apalagi the grey yakni sosok yang bisa dibilang jauh lebih berwarna karakterisasinya daripada the white. Sedangkan Andy Serkis sendiri saya rasa tidak perlu dibicarakan lagi alasannya yakni hanya kebanggaan yang akan keluar bila membicarakan penampilannya sebagai Gollum. Apalagi disini ia memperlihatkan sosok Gollum yang tidak hanya asing dan menakutkan namun juga bisa memancing tawa dengan lisan mukanya yang unik. Bagaimana dengan 13 dwarf yang ada? Saya sendiri masih kesulitan menghafal kesemuanya, tapi pembagian pors dan ciri khas masing-masing dari mereka sudah cukup baik, hanya tinggal duduk perkara waktu saja alasannya yakni ini barulah film pertama jadi saya masih merasa sulit menghafar nama karakternya.
Makara apakah film pertama ini baik atau buruk? Saya merasa tidak adil bila menyampaikan film ini jelek hanya alasannya yakni kalah jauh bila dibandingkan trilogi TLOTR, alasannya yakni intinya The Hobbit punya pasar dan kisah yang berbeda. Dengan alur yang lebih sederhana dan tidak terlalu gelap, sesungguhnya Peter Jackson bisa dibilang berhasil dalam mengangkat novel pertama Tolkien ini ke layar lebar. Bagi saya sendiri bila saya tidak sadar sudah duduk didalam bioskop selama dua setengah jam lebih maka sanggup dipastikan film yang sedang ditonton yakni film yang bagus. Sempat terasa membosankan diawal, An Unexpected Journey makin membaik hingga simpulan film, meski saya sendiri tidak terlalu cocok dengan nuansa belum dewasa yang ada dalam film ini. Dengan setia saya akan menunggu sekuelnya, The Desolation of Smaug yang akan dirilis Desember tahun depan.
Ini Lho The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)
4/
5
Oleh
news flash