Entah sudah berapa kali saya mengutarakan kekaguman saya pada sosok Kim Ki-duk lewat goresan pena di blog ini. Film-filmnya yang penuh dengan makna dalam metafora meski seringkali menghadirkan konten kekerasan dan seksual tinggi, namun selalu mengagumkan. Tapi entah kenapa saya merasa beberapa filmnya yang rilis sesudah The Bow atau tepatnya sesudah tahun 2005 punya kualitas yang berada dibawah film-film Ki-duk sebelumnya. Antusiasme saya sempat meninggi ketika mendengar kabar bahwa film terbaru Kim Ki-duk yang berjudul Pieta berhasil memenangkan film terbaik atau Golden Lion di Venice Film Festival sekaligus menjadi film Korea pertama yang memenangkan penghargaan tertinggi dalam salah satu dari tiga pameran film paling bergengsi di dunia (dua pameran lainnya yaitu Cannes dan Belin). Film ini juga menjadi perwakilan Korea untuk Oscar 2013 nanti. Pieta sendiri merupakan bahasa Italia yang menjadi istilah dari karya seni baik itu lukisan hingga patung yang menggambarkan sosok Bunda Maria yang sedang menggendong mayat Yesus. Pieta akan membawa kita kedalam kehidupan Lee Kang-do (Lee Jung-jin), seorang laki-laki berumur 30-an tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai penagih hutang di sebuah daerah peminjaman uang. Tapi Kang-do tidak memakai cara yang masuk akal dan biasa dalam menagih hutang tersebut.
Kang-do akan menciptakan cacat orang yang berhutang entah itu dengan mematahkan tangan mereka di mesin hingga menjatuhkan mereka dari atas gedung semoga menjadi cacat kemudian menciptakan mereka mendapat uang dari asuransi tanggapan cacat tersebut. Setiap hari Kang-do yang hidup sendirian melaksanakan pekerjaan sadis tersebut. Sampai suatu hari Kang-do didatangi oleh seorang perempuan paruh baya (Jo Min-su) yang mengaku sebagai ibu kandungnya yang sempat membuang Kang-do ketika masih bayi. Tentu saja Kang-do tidak semudah itu percaya akan kata-kata perempuan tersebut. Namun banyak sekali perbuatan hingga perbuatan yang dilakukan oleh sang "ibu" usang kelamaan menciptakan Kang-do tersentuh dan mulai menemukan kebahagiaan dan rasa sayang sesudah sekian usang hidup dalam kesendirian yang sepi dan kejam. Seperti film-film Ki-duk yang lain, Pieta juga mengandung unsur kekerasan dan seksual didalamnya dan konten itu sempat mengundang kontroversi. Tapi kalau dibandingkan dengan film-film sang sutradara yang lain, Pieta terang lebih "bersahabat". Beberapa adegan kekerasan nan sadis tidak ditampilkan secara gamblang meski masih tetap bisa menciptakan penonton mengimajinasikan adegan tersebut dalam pikiran mereka.
Konten kisah dan presentasi film ini juga terbilang lebih gampang dimengerti dibanding film-film Ki-duk lainnya. Jika dalam film-film sebelumnya terdapat banyak adegan metafora penuh lambang, Pieta tampil lebih sederhana dan straight to the point. Judul filmnya sendiri sudah menggambarkan hampir inti kisah dari film ini bahkan termasuk mengatakan spoiler bagi twist yang ada dalam penghujung film. Paruh pertama hingga pertengahan, Pieta menampilkan sebuah drama mengenai hubungan ibu dan anak yang kompleks. Ada misteri yang menarik menyelimuti hubungan ibu dan anak tersebut. Bukan mengenai kebenaran status mereka berdua tapi lebih kepada hubungan antara keduanya yang cukup unik bahkan bisa dibilang aneh. Sempat ada adegan sang wanita/ibu mengatakan handjob kepada Kang-do, hingga adegan disaat Kang-do ingin "kembali" kedalam rahim ibunya. Adegan penuh konten seksual yang menciptakan penonton mengernyitkan dahi tersebut bagi saya menciptakan kisahnya makin kompleks dan menarik. Berbagai ambiguitas moral yang selama ini sering Ki-duk tampilkan dengan cara yang ekstrim cukup terasa. Juga ada sedikit selipan ambiguitas moral lain ihwal siapa yang lebih buruk, apakah Kang-do yang menagih hutang lewat jalan kejam ataukah orang-orang yang meminjam uang berkali-kali namun tidak membayarnya?
Lalu paruh kedua film beralih menjadi sebuah kisah balas dendam menyerupai yang sering kita jumpai di thriller Korea Selatan yang kini sedang menjadi tren. Tapi bedanya dalam proses balas dendam menuju konklusinya, kisah yang ditawarkan terasa monoton dan menjemukan. Sebuah kejutan di simpulan (walaupun tertebak) tetap mengatakan nuansa tragis dan miris, namun sayangnya proses menuju kearah sanalah yang membosankan. Untuk ending-nya sendiri ditutup dengan rangkaian adegan yang sunyi namun begitu tragis dan kelam. Tapi pada akibatnya tidak banyak yang bisa diambil dari Pieta kecuali sebuah kisah tragis antara ibu yang amat mencintai anaknya yang kemudian dicampur dengan aroma balas dendam. Jika mau lebih umum lagi, maka film ini juga berkisah ihwal sebuah kasih sayang, dimana insan membutuhkan kasih sayang dari orang lain yang juga ia sayangi, dan betapa sebuah kasih sayang bisa terasa begitu berharga dan mahal harganya. Terlihat juga bagaimana sifat seseorang bisa sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kasih sayang yang ia dapatkan dalam hidupnya, menyerupai Kang-do yang sanggup berubah begitu drastis sesudah mendapat kasih sayang dari sosok ibu.
Tidak banyak yang Kim Ki-duk tawarkan dalam film terbarunya ini. Sesungguhnya Pieta bukanlah film yang buruk. Jelas sebuah kisah yang tragis dan tidak gampang dilupakan, namun yang menciptakan saya tidak terlalu puas yaitu alasannya yaitu untuk ukurang film-film Kim Ki-duk bahkan dibandingkan Amen sekalipun yang bagi saya yaitu film terburuknya, Pieta tidak menunjukkan banyak hal untuk direnungkan. Jelas terasa lebih ringan dan lebih komersil, namun bagi saya justru Pieta seringkali terasa membosankan tanggapan alurnya yang lambat namun tidak mengatakan banyak hal untuk direnungkan. Tapi bagi anda yang belum familiar dengan karya-karya Ki-duk sebelumnya mungkin bisa mencoba film ini, alasannya yaitu meski kisahnya tidak sedalam biasanya, namuna Pieta tetap masih menyisakan beberapa kegilaan yang dimiliki Kim Ki-duk menyerupai konten seksual, kekerasan yang memebuat miris hingga sedikit konten penyiksaan terhadap binatang yang sempat menuai kontroversi pada The Isle. Secara keseluruhan tidak jelek namun masih jauh untuk masuk kategori bagus.
Ini Lho Pieta (2012)
4/
5
Oleh
news flash