Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho House At The End Of The Street (2012)

Semenjak Winter's Bone nama Jennifer Lawrence jadi salah satu aset paling panas Hollywood. Selain tergabung dalam dua franchise besar yakni X-Men dan The Hunger Games, Jennifer Lawrence juga sempat membintangi film macam Like Crazy dan The Beaver-nya Jodie Foster. Bahkan namanya juga dijagokan menerima nominasi Oscar (lagi) untuk Best Actress lewat penampilannya di Silver Linings Playbook. Seolah karir aktris yang gres berumur 22 tahun ini nyaris tanpa cela dengan bisa menyeimbangkan kualitas dan sisi komersil. Tapi entah bagaimana ceritanya Jennifer Lawrence bisa terdampar di sebuah film seburuk House at the End of the Street. Mungkin ia mengambil tugas ini untuk memperluas jangkauan genre filmnya, tapi saya rasa masih ada banyak film horror/thriller yang punya kualitas jauh lebih baik daripada film yang sesungguhnya punya trailer cukup menyeramkan ini. Disini Jennifer Lawrence berperan sebagai Elissa, seorang gadis Sekolah Menengan Atas yang gres saja pindah rumah dan tinggal bersama sang ibu (Elisabeth Sue). Mereka berdua pindah ke pinggiran kota tersebut dengan impian bisa memulai hidup gres dengan lebih tenang dan bahagia. Tapi ternyata terdapat sebuah misteri dan sejarah kelam di kawasan tersebut. Dalam rumah yang berada di seberang rumah mereka berdua ternyata sempat terjadi sebuah bencana berdarah.

Beberapa tahun yang kemudian seorang gadis cilik berjulukan Carrie-Ann membunuh kedua orang tuanya dengan sadis kemudian menghilang entah kemana. Kabar menyampaikan ia mati tenggelam. Tapi ada juga yang menyampaikan bahwa Carrie-Ann masih hidup didalam hutan. Elissa sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan ketakutan warga akan kisah tersebut. Dia malah berteman dekat bahkan mulai jatuh cinta dengan Ryan Jacobson (Max Thieriot) yang tidak lain yakni abang laki-laki dari Carrie-Ann yang kini tinggal sendirian dirumah tersebut. Jujur di beberapa potongan saya merasa House at the End of the Street bagaikan sebuah perjuangan untuk menciptakan sebuah horror/thriller  yang menyerupai dengan Psycho-nya Hitchcock, hanya saja dengan tingkat kecerdasan dongeng yang jauh berada dibawah. Kisah seorang laki-laki anti-sosial yang menyembunyikan perempuan yang merupakan orang yang ia sayangi di sebuah rumah misterius, kemudian terjadi pembunuhan dan pada karenanya terdapat twist di tamat memang kurang lebih mengingatkan saya pada Psycho. Bahkan adegan paling tamat di film inipun yakni sebuah kopian dari adegan epilog dalam film Hitchcock tersebut.
Tapi film garapan sutradara Mark Tonderai ini terperinci sama sekali tidak menyeramkan ataupun menegangkan. Tidak ada momen yang bisa menciptakan saya berdebar-debar melihatnya, apalagi hingga menciptakan saya memalingkan muka atau memencet tombol pause di laptop saya. Tensi yang terasa datar-datar saja bahkan membosankan. Alur ceritanya klise dari awal hingga filmnya berakhir. Bahkan saya bisa bilang tidak ada misteri yang cukup menarik hingga menciptakan saya penasaran. Memang ada twist namun kejutan tersebut bersama-sama tidak penting sebab sekali lagi tidak ada misteri yang cukup menarik untuk bisa diikuti. Hingga karenanya ketika muncul sebuah kejutan di ending, saya tidak merasa ada yang mengejutkan. Lagipula intinya twist yang dimunculkan sudah cukup tertebak. Beberapa adegan yang masuk kategori kurang arif juga semakin menciptakan kualitas film ini makin terpuruk. Adegan kurang arif yang saya maksud muncul baik itu ketika porsi horror/thriller yang tentunya terasa tidak menyeramkan, dan porsi drama yang menciptakan saya tertawa sebab kebodohan dari naskahnya. Naskah film ini juga seolah berusaha terlihat cerdas, dengan tidak hanya berfokus pada menunjukkan ketegangan namun juga memadukannya dengan kisah drama antar karakternya.

Sebenarnya itu yakni pilihan yang cantik untuk menciptakan filmnya tidak kering, namun sanksi yang dilakukan dalam House at the End of the Street terlalu menggelikan. Berbagai konflik yang ada sangat terasa dipaksakan. Porsi dan peranan masing-masing karakternya juga terasa sangat asal dan dipaksakan. Pada karenanya jangankan menjadi peduli pada setiap karakternya, saya malah dibentuk resah dengan porsi para karakternya yang cukup sering muncul kemudian kemudian hilang lagi tanpa diketahui nasibnya. Bicara abjad yang ada tentu tidak akan jauh dari bicara akting pemainnya. Untuk hal ini, Jennifer Lawrence patut menerima pujian. Sebenarnya sosok Elissa bisa menjadi tokoh perempuan standar dalam film thriller Hollywood, tapi pembawaan yang dilakukan Jennifer Lawrence menciptakan karakternya jauh lebih menarik dan gampang disukai. Satu-satunya hal yang menciptakan saya masih bertahan menonton film ini hingga selesai yakni Jennifer Lawrence dengan akting yang baik, tampilan yang seksi, dan bunyi yang merdu ketika ada adegan ia bernyanyi dengan gitar meski sangat sebentar. Elisabeth Shue juga tampil tidak jelek sebagai ibu Elissa. Max Thieriot terlihat kebingungan memainkan Ryan yang kompleks, dan Gil Bellows menggelikan sebagai seorang polisi.

House at the End of the Street yakni sebuah perjuangan menciptakan psychological-thriller menyerupai Psycho, hanya saja ambisi besar ini tidak dibarengi dengan sanksi yang mumpuni. Hasilnya yakni sebuah film yang katanya horror tapi tidak seram, mengusung thriller tapi tidak menegangkan, berniat memperdalam kekerabatan antar abjad dan konflik drama tapi karenanya berkesan dipaksakan dan asal-asalan, dan sebuah film yang berniat menjadi thriller cerdas penuh twist tapi sayang jatuhnya bodoh. Harapan saya yang sempat tinggi melihat sebuah trailer yang menegangkan dari film seorang Jennifer Lawrence lenyap sudah. Setiap pemain film dan aktris jago selalu punya noda hitam dalam karirnya walaupun sedikit, dan bagi Jennifer Lawrence inilah setitik nila yang jatuh tersebut.


Artikel Terkait

Ini Lho House At The End Of The Street (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email