Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho Samsara (2011)

Sekitar 20 tahun yang lalu, sutradara Ron Fricke dan produser Mark Magidson berkolaborasi menciptakan sebuah dokumenter non-naratif berjudul Baraka yang mendapat banyak kebanggaan berkat keberhasilannya menampilkan banyak sekali keindahan dari segala hal dan tempat di seluruh dunia. Sampai pada tahun 2006 kemudian keduanya tetapkan untuk bergabung kembali dan menciptakan Samsara. Setelah melaksanakan penelitian dari banyak sekali sumber termasuk photobook dan YouTube, proses syuting dimulai pada tahun 2007. Prosesnya sendiri dilakukan di 25 negara dan berjalan selama empat tahun lebih. Selain memakan waktu lama, banyak sekali usaha ekstra keras juga dilakukan dalam menciptakan film ini. Seperti melaksanakan pendakian di kawasan Arizona selama empat jam "hanya" untuk mengambil gambar yang muncul selama delapan detik di filmnya! Bahkan demi mendapat gambar para jamaah haji di Ka'bah, sebuah gedung setinggi 40 lantai dibangun. Kata Samsara sendiri memiliki makna perputaran hidup yang terjadi berulang kali mulai dari kelahiran, penuaan, simpulan hidup hingga kelahiran kembali. Lewat Samsara kita akan diajak melihat banyak sekali macam hal mulai dari gambar-gambar indah dari alam di seluruh dunia, lokasi-lokasi kuno dan bersejarah, hingga kehidupan modern di gedung-gedung beritngkat, pabrik makanan, restoran cepat saji dan masih banyak lagi.

Tentu saja Samsara menunjukkan pada penontonnya gambar-gambar indah yang seringkali menciptakan saya terperangah akan kemampuan film ini menangkap banyak sekali pemandangan-pemandangan tersebut. Memang saya menyerupai melihat sebuah photobook perihal pemandangan alam, tapi setidaknya Samsara bukan hanya menampilkan gambar yang indah tapi juga punya hal untuk diceritakan. Tidak hanya gambar alamnya yang indah, gambar perihal dunia modernnya pun tidak kalah menarik meski beberapa kali dibanding indah lebih terasa disturbing (pabrik pengolahan ayam, peternakan babi, orang-orang obesitas makan secara ganas mungkin tidak akan bisa dinikmati oleh beberapa penonton). Satu hal yang sering dikritik oleh beberapa review yang sudah saya baca perihal film ini ialah tidak adanya keterangan nama-nama lokasi yang dimunculkan, sehingga banyak penonton yang sebetulnya merasa tertarik dengan keindahan lokasi tersebut namun tidak tahu letak sesungguhnya. Saya sendiri sempat mencicipi kebingungan akan hal itu, tapi kemudian saya menyadari mungkin saja ini semua disengaja oleh Ron Fricke. Memang semua itu ialah tempat yang berbeda di penjuru dunia, namun sebetulnya semua tempat itu ialah satu, berada di Bumi dimana segala kehidupan yang menjadi subjek film ini berada. Sekali lagi semua yang ada di film ini ialah sama, dan mengalami siklus kehidupan yang sama.
Namun bagi saya sendiri presentasi yang dilakukan Samsara masih jauh dari kata luar biasa. Penggunaan slow motion dan musik yang muncul mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan kesan meditatif bagi para penontonnya, tapi saya sendri malah merasa mengantuk jawaban hal tersebut. Tapi untungnya saya masih tetap bisa menikmati film ini dengan banyak sekali keindahan yang ditawarkan. Ada beberapa adegan yang menjadi favorit saya, salah satu diantaranya ialah pembuatan sebuah lukisan pasir oleh para biksu di kuil yang terletak di Tibet (kalau saya tidak salah). Sebuah lukisan yang punya tingkat kerumitan luar biasa dibentuk dengan cara menaburkan pasir beraneka warna secara perlahan keatas papan tempat melukis. Sampai pada jadinya lukisan tersebut selesai dengan begitu indahnya hanya untuk "dihancurkan" dan dihapus begitu saja. Adegan ini seolah menjadi penggambaran perihal kehiudpan yang pada jadinya siapapun itu dan bagaimanapun kehiudpan yang dijalani akan tetap berujung pada simpulan hidup yang sama. Sebuah adegan dimana seorang laki-laki yang menggunakan jas rapih tiba-tiba bergerak secara asing dan membungkus mukanya dengan sesuatu menyerupai tanah liat. Adegan yang cukup shocking namun sangat artistik. 

Samsara memandang tema yang diangkat dalam banyak sekali macam sudut. Tidak hanya menyoroti kebersaran alam, namun kehidupan bermacam-macam insan didalamnya turut disoroti. Gambaran para buruh pabrik yang menjalani siklus hidup-mati mereka dalam sebuah siklus harian yang terasa monoton. Kisah veteran perang, pekerja kantoran, hingga bagaimana konsumtifnya insan dikala ini. Tidak hanya insan di dunia modern, namun suku-suku primitif di banyak sekali penjuru dunia juga turut ditampilkan. Namun sekali lagi Samsara jauh dari kesan luar biasa. Mengangkat keindahan dunia lewat gambar-gambar indah dalam film sayangnya sudah bukan lagi terobosan istimewa dikala ini. Mungkin di tahun 1992 dikala Baraka rilis, orang akan bisa dibentuk terperangah dengan segala yang ditampilkan mengingat dikala itu belum ada YouTube dan hal-hal lain yang meungkinkan orang untuk mengetahui keindahan tak terjamah yang ada di seluruh dunia. Tapi kini gambar-gambar yang ada sudah sangat dengan gampang dijumpai hanya dengan mencari lewat Google. Hal yang sama juga berlaku pada pecahan lain menyerupai kisah suku primitif sudah banyak diangkat di televisi, bahkan kisah para buruh pabrik masakan sudah muncul lewat dokumenter Food Inc. Makara apa yang menciptakan Samsara layak ditonton? Tentu saja keindahan dunia sebagaimanapun seringnya kita lihat tetap sayang untuk dilewatkan, apalagi Samsara dikemas dengan sangat baik dan bukan hanya menampilkan keindahan tak bekerjasama namun membentuk suatu kesatuan makna yakni siklus kehidupan.


Artikel Terkait

Ini Lho Samsara (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email