Suatu hari seorang sobat berkeluh kesah pada saya. Menurutnya perfilman Indonesia tidak punya satu ciri khas yang kuat. Dia kemudian memberi pola jikalau kita menyebut Prancis maka yang terbayang ialah drama realis sederhana yang mengalir pelan tapi menyentuh sisi humanis dengan begitu kuat. Di ranah Asia Tenggara, jikalau kata Thailand disebut maka terbayang sajian horror bertemakan hantu yang angker atau komedi romantis yang manis. Tapi menurutnya jikalau menyebut Indonesia, tidak ada satu tipikal film yang terbayang alasannya ialah selama ini yang menjadi tren ialah hasil pola pikir latah industri dimana jikalau ada satu jenis film yang laku maka berbondong-bondong bakal hadir film serupa. Saya oke dengan statement tentang industri yang latah, tapi saya kurang oke jikalau dikatakan film Indonesia harus punya satu atau dua tipikal genre yang khas. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan ke-Bhinneka-annya, bagi saya jikalau menyebut nama Indonesia, maka yang harusnya muncul dalam benak penonton ialah keberagaman jenis film. Karena itu salah satu persoalan bukannya tidak mempunyai jati diri tapi lebih kepada variasi genre. Salah satu yang kurang ialah film agresi manis khususnya yang mengangkat tema silat.
Di kala kini mungkin hanya Merantau yang benar-benar melaksanakan itu, dan dua film The Raid yang koreografinya menggunakan gerakan silat. Maka ialah sebuah kabar menggembirakan dikala Miles Films memproduksi Pendekar Tongkat Emas (The Golden Cane Warrior) dengan Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku & Sang Penari) sebagai sutradara. Disamping itu, jajaran ensemble cast-nya juga begitu menggoda, seolah mengumpulkan aktor-aktor terbaik negeri ini dalam satu film. Seperti judulnya, film ini berkisah perihal sosok jagoan bersenjatakan tongkat emas yang konon sanggup memperlihatkan kekuatan tak tertandingi. Saat ini tongkat itu menjadi milik Cempaka (Christine Hakim) yang mempunyai empat orang murid, Biru (Reza Rahadian), Dara (Eva Celia), Gerhana (Tara Basro) dan Angin (Aria Kusumah). Cempaka yang telah sakit-sakitan jadinya tetapkan memperlihatkan tongkat itu pada Dara, sesuatu yang tidak sanggup diterima oleh Biru sang murid terkuat. Biru dan Gerhana pun merencanakan pengkhianatan dan berhasil merebut tongkat tersebut. Disisi lain Dara bertemu dengan cowok misterius berjulukan Elang (Nicholas Saputra) yang nampaknya juga punya keterkaitan dengan ilmu tongkat emas.
Apa yang dilakukan oleh Ifa Isfansyah disini bukan sekedar membuat kembali film bertemakan silat, tapi juga mengembangkannya dan memperlihatkan variasi khususnya untuk persoalan gaya. Jika Gareth Evans mengambil silat kemudian mengemasnya dengan gaya Hollywood plus film Yakuza Jepang, maka Pendekar Tongkat Emas kental sekali unsur film-film Kung-Fu dari China. Ifa mengambil banyak aspek dari film Kung-Fu yang sempat ngetren di kala 70-an hingga 80-an untuk kemudian ia "terjemahkan" dan terapkan secara tepat kedalam film silat Indonesia. Aspek-aspek menyerupai perguruan, tema pengkhianatan melawan kesetiaan, murid yang awalnya lemah kemudian bermetamorfosis jauh lebih besar lengan berkuasa sehabis janjkematian sang guru, jurus pamungkas, hingga tata artistiknya begitu kental nuansa film Kung-Fu China. Tentu saja ini menyenangkan sekaligus menyegarkan, alasannya ialah di samping menghadirkan hal baru, tidak perlu ada kekhawatiran tema itu tidak sesuai dengan silat dari Indoneia, alasannya ialah segala aspek dan pesan yang diambil tersebut amatlah universal. Sedangkan untuk penuturan cerita, Ifa Isfansyah menentukan menjalankan alurnya dengan cukup perlahan. Pelan tapi pasti.
Bagi beberapa penonton yang berharap suguhan film silat yang berjalan cepat mungkin bakal kecewa. Film ini memang punya kandungan drama yang kental, dan narasi yang berjalan lambat tapi tanpa pernah tertatih. Dengarkan narasi pembuka yang dibacakan Christine Hakim diawal film. Kurang lebih menyerupai itulah Pendekar Tongkat Emas bakal berjalan. Di tengah alur yang berjalan lambat, production value yang tinggi dan sinematografi indah garapan Gunnar Nimpuno (Killers & Modus Anomali) memberikan saya sebuah kepuasan visual. Hamparan pemandangan indah Sumba Timur ditangkap dengan tepat disini, membuat sebuah keindahan di tengah pertarungan mematikan antara para pendekar. Sedangkan tata artistiknya yang memuaskan sanggup dilihat dari kostum hingga pengemasan set-nya. Film ini memang indah, tapi di ada satu hal yang cukup mengganggu. Menyenangkan melihat bulan purnama, matahari yang bersianr terik, hamparan padang rumput, dan siluet yang tercipta dikala senja, tapi dikala semua itu terlalu sering dieksploitasi yang hadir justru kekosongan. Disaat Ifa Isfansyah mengemas tiap transisi adegannya dengan gambar-gambar alam itu, yang terjadi ialah perasaan berlebihan yang membuat keindahannya tidak lagi istimewa.
Adegan pertarungan silatnya digarap dengan baik. Semuanya tergarap dengan halus dan kalau boleh dibilang realistis. Mungkin tidak hingga terasa luar biasa dimana intensitas tidak begitu memacu adrenaline, tapi terperinci yang hadir ialah pertarungan dengan koreografi yang digarap dengan bagus. Meskipun saya sedikit kecewa dikala jurus pamungkas tongkat emas yang terasa antiklimaks dikala muncul di akhir, secara keseluruhan saya terhibur dengan adegan aksinya. Mungkin pada jadinya Pendekar Tongkat Emas masih belum menjadi film yang luar biasa. Disaat akting para pemainnya manis (menyenangkan melihat Nicholas Saputra sebagai aksara laki-laki misterius cenderung sinis khasnya dan Reza Rahadian sebagai antagonis) karakternya masih terasa dua dimensi tanpa pengembangan yang berarti, padahal film ini terasa mencoba berfokus pada drama dan aksara dibandingkan agresi belaka. Sayang sekali pada jadinya baik agresi maupun dramanya tidak ada yang berhasil tampil maksimal. Pendekar Tongkat Emas mungkin tidak berhasil memenuhi ekspektasi saya, dimana cita-cita awal ialah menonton calon film terbaik Indonesia tahun ini. Tapi setidaknya masih ada perasaan terhibur dan bahagia terhadap munculnya film dengan genre "berbeda" menyerupai ini.
Ini Lho Jagoan Tongkat Emas (2014)
4/
5
Oleh
news flash