Tidak semua orang bahkan mereka yang mengaku pecinta horror bisa menikmati karya Ti West. Bukan sebab ia punya tingkat keabsurdan tinggi pada karyanya, tapi lebih kepada pengemasannya yang hampir selalu bertempo lambat dan berpegang teguh pada aspek realistis. Horror milik Ti West layaknya genre arthouse pada drama. Mengalir pelan, berfokus banyak pada karakter, sebelum kesannya menggebrak dikala klimaks. Lihat saja The Innkeepers atau segmen yang ia buat dalam The ABCs of Death. Mereka yang suka bakal menyebutnya The next big thing, tapi bagi yang mustahil bakal merasa film-film Ti West hanyalah tontonan lambat yang membosankan. Saya sendiri cenderung berada di tengah-tengah, meski kedua pola karyanya yang tersebut diatas meninggalkan kekecewaan bagi saya. Jika kemudian ia menciptakan film yang ceritanya sangat terinspirasi dari pembantaian massal Jonestown itu sama sekali tidak mengejutkan. Sekedar informasi singkat, kisah yang saya maksud yakni sebuah pembantaian yang terjadi pada sebuah kelompok cult di Jonestown, Guyana pada 18 November 1978. Saat itu sekitar 913 orang melaksanakan bunuh diri massal (konon ada juga yang dibunuh/dipaksa bunuh diri).
The Sacrament adalah perjuangan Ti West untuk mengangkat pembantaian di Jonestown tanpa mereferensikan secara eksklusif bahwa filmnya ini berbasis dari bencana tersebut. Hampir semua aspek yang ada mengambil dari persitiwa itu, tapi nampaknya demi kebebasan bereksplorasi, Ti West menentukan untuk tidak menyatakan bahwa film ini yakni sebuah pembiasaan dari Jonestown Massacre. Cerita film ini sendiri yakni perihal dua orang wartawan Vice, Sam (AJ Bowen) dan Jake (Joe Swanberg) yang hendak meliput perjalanan Patrick (Kentucker Audley) untuk bertemu dengan saudarinya, Caroline (Amy Seimetz). Caroline sendiri dulunya yakni seorang pecandu narkoba, tapi sejak tinggal di sebuah komunitas misterius, Caroline berhasil sembuh dari adiksinya. Lama tidak bertemu, Caroline pun mengundang Patrick untuk berkunjung ke daerah ia tinggal yang disebut Eden Parish. Sam dan Jake tertarik melaksanakan peliputan sebab beberapa abnormalitas dalam permintaan Caroline, semisal bahwa mereka tidak diberitahu letak niscaya dari Eden Parish. Sesampainya disana, meski terdapat beberapa abnormalitas (penjaga yang menggunakan senapan mesin) mereka justru melihat semua orang hidup rukun dan bahagia. Tidak ada apapun yang mencurigakan hingga mereka bertemu dengan sang pemimpin dengan nama panggilan Father (Gene Jones) yang dipuja layaknya messiah.
Film ini memang mewakili selera (kalau dihentikan disebut bakat) dari Ti West yang dalam beberapa filmnya belum tersalurkan secara total. Alurnya lambat, itu pasti. Paruh awalnya bisa dibilang sama sekali tidak pernah tancap gas untuk melaju kencang dengan horrornya. Dikemas dengan teknik mockumentary, film ini sekilas mungkin sama saja dengan film dengan format serupa lainnya yang selalu dibuka dengan lambat sebelum menghadirkan titik puncak yang diperlukan bisa membayar lunas penantian penonton sedari awal. Saya menyebut The Sacrament berbeda sebab adanya substansi dari pembukaan lambat Ti West. Bukan sebab kekurangan ide atau menghemat bujet, paruh awal film ini lambat sebab berfungsi untuk memperkenalkan semua hal. Memperkenalkan menyerupai apa Eden Parish dan tentunya menyerupai apa sosok Father. Disaat mayoritas mockumentary membuat saya mengantuk luar biasa pada cuilan awalnya, film ini justru sudah berhasil mencengkeram sedari awal. Menghadirkan interview dan sedikit observasi, The Sacrament mampu mencengkeram berkat imbas creepy yang hadir dikala kita melihat betapa tepat dan bahagianya Eden Parish, tapi disaat bersamaan menyiratkan ada ketidak beresan tersembunyi.
Apa yang dilakukan Ti West disini yakni pola tepat dari pembangunan horror lewat suasana. Saat digarap dengan maksimal terbukti hal ini lebih mengerikan daripada scare jump. Manusia cenderung takut pada sesuatu yang tidak ia ketahui, termasuk sesuatu yang tersembunyi. Lebih angker lagi kalau insan itu tahu niscaya ada sesuatu yang "salah" tapi tidak tahu apa itu dan kapan sesuatu tersebut bakal benar-benar muncul. Seperti itulah film ini. Kengerian bertambah dikala setiap warga Eden Parish yang diwawancarai selalu memasang senyum lebar penuh kebahagiaan meski saya tahu ada yang keliru disana. Kengerian mencapai puncak dikala kesannya sosok Father benar-benar muncul dan mulai diwawancarai oleh Sam. Berkat akting Gene Jones, dialog dengan Father jadi terasa begitu menegangkan. Sosok Father nampak begitu baik, bijak dan mengasihi para pengikutnya. Tapi lagi-lagi dari dalam dirinya tersirat kuat adanya kegelapan mengerikan. Ti West menaruh penontonnya semoga berada di posisi yang sama dengan Sam. Penuh ketegangan, rasa was-was dan keterkejutan. Upaya itu pada kesannya berhasil.
Sayang segala ketegangan yang dibangun secara perlahan tapi niscaya mencengkeram itu sedikit dinodai oleh klimaksnya. Ironis memang, dikala biasanya mockumentary punya pembuka yang membosankan dan titik puncak yang gila dan menegangkan, film ini justru sebaliknya. Klimaksnya tidak jelek apalagi membosankan, tapi terang sangat jauh kalau dibandingkan paruh awalnya. Saat tensinya dipercepat, The Sacrament justru kehilangan greget. Ti West gagal mewujudkan horror yang hadir dari pembantaian massal 913 orang di Jonestown. Jumlah korban yang jauh lebih sedikit terang berpengaruh, tapi yang paling berperan besar dalam kegagalan ini yakni pengemasan seadanya dari momen itu. Pada titik puncak ada banyak kematian, tapi semuanya terjadi begitu saja. Bisa jadi ini yakni dampak dari kegetolan sang sutradara pada aspek realistis. Tidak bisa dipungkiri salah satu faktor yang coba dihadirkan dari alur lambat yakni sisi realisme. Dalam The Sacrament, Ti West berusaha sebisa mungkin untuk tidak over-the-top yang justru berakhir menjadi titik puncak kurang greget ini.
Secara pengambilan gambar The Sacrament mungkin terlalu rapih, dan penggunaan musik yang lebih banyak didominasi cukup melucuti kesan bahwa kita sedang ada disana, dan semua itu yakni kenyataan. Tapi pada dikala kesannya muncul momen shaky, saya menyukai itu. Kamera yang dipegang oleh Joe Swanberg (Ti West memperlihatkan kebebasan pada Joe sebagai pemain drama sekaligus kameraman sebab fakta bahwa ia juga yakni sutradara) tahu benar bagaimana membangun tensi. Kamera goyang disini bukan untuk menyembunyikan imbas jelek atau asal realistis, melainkan menyembunyikan apa yang akan terjadi. Saat tengah berlari, yang terlihat mungkin hanya rerumputan atau lagit biru, tapi disekeliling saya bisa mencicipi ancaman yang bisa hadir kapan saja. Hasilnya yakni perasaan tegang dan was-was yang menyenangkan. The Sacrament berhasil menghadirkan rasa tidak nyaman yang begitu kuat, sehingga saya bisa memaafkan titik puncak yang kurang mengena dan begitu banyaknya plot hole (alasan Father mau mendapatkan wartawan pun jadi dipertanyakan sesudah keputusan yang ia ambil di selesai film, vice versa). The Sacrament jelas salah satu yang terbaik dari Ti West, sebuah horror "elegan" yang pertanda bahwa tidak perlu hantu, jump scare maupun tempo cepat untuk memperlihatkan rasa takut.
Ini Lho The Sacrament (2013)
4/
5
Oleh
news flash