Monday, January 14, 2019

Ini Lho Les Miserables (2012)

Pada awalnya, Les Miserables yakni sebuah novel yang ditulis oleh Victor Hugo dan terbit pada tahun 1862. Disebut sebagai salah satu novel terbaik sepanjang masa, tidak mengherankan bahwa pada balasannya Les Miserables sudah begitu sering disesuaikan dalam bentuk film layar lebar. Tercatat semenjak tahun 1909, sudah ada 10 film yang mengadaptasi novel tersebut termasuk rilisan 1998 yang dibintangi Liam Neeson, Geoffrey Rush dan Uma Thurman. Karya sutradara Tom Hooper (The King's Speech) ini yakni film layar lebar Les Miserables yang ke-11. Bedanya versi Tom Hooper lebih berkiblat pada pertunjukkan drama musikal yang pertama dipentaskan di Paris pada 1980. Les Miserables yakni sebuah musical yang over-the-top. Anda boleh saja mengaku sebagai pecinta film musikal menyerupai Chicago, Dreamgirls sampai Hairspray, tapi belum tentu anda bisa menikmati Les Miserables yang mengakibatkan musikal bukan hanya sebagai pemanis namun sebagai sajian utama. Nyaris tidak ada obrolan yang diucapkan secara biasa alasannya yakni sekitar 95% dialog-nya dilagukan. Pembuatannya pun tidak menyerupai musikal biasa yang merekam bunyi aktornya di studio, alasannya yakni dalam film ini semua pemainnya bernyanyi secara live!

Setelah 19 tahun menjalani eksekusi berat bagaikan budak sesudah dinyatakan bersalah akhir (hanya) mencuri beberapa potong roti, Jean Valjean (Hugh Jackman) balasannya dinyatakan bebas bersayarat. Namun bukan berarti Valjean telaj menjadi insan bebas, alasannya yakni ia harus rutin melapor, jikalau tidak Javert ia akan kembali ditangkap. Sampai ia bertemu dengan seorang Uskup yang menciptakan Valjean sadar bahwa hidupnya sekarang harus ia gunakan untuk menolong sesama. Delapan tahun kemudian Valjean sudah hidup dalam identitas gres dan sudah menjadi pemilik sebuah pabrik sekaligus menjadi walikota Montreuil. Namun selama itu Javert (Russell Crowe) sang penjaga penjara masih terus mencari keberadaan Valjean. Sampai suatu hari Valjean bertemu dengan Fantine (Anne Hathaway) yang dulu sempat menjadi buruh pabriknya namun sekarang sudah hidup sangat menderita di jalanan. Fantine pun kemudian meminta santunan Valjean untuk merawat anaknya, Cosette (Isabelle Allen) yang juga hidup menderita. Dimulailah babak gres dalam kehidupan Valjean untuk merawat Cosette sembari terus bersembunyi dari kejaran Javert, dan tentu saja akan ada momen June Rebellion sebagai titik puncak kisahnya.

Berkat teknik menyanyi secara pribadi yang diterapkan oleh Tom Hooper, para pemainnya mampu secara luar biasa menyalurkan emosi mereka lewat lagu-lagu yang ada. Nyanyian yang ada pun menjadi tidak terasa hampa dan mempunyai emosi yang besar lengan berkuasa di dalamnya. Mulai dari ekspresi dikala adegan close-up yang berhasil memunculkan ekspresi yang begitu kuat, sampai bunyi dari nyanyian para pemainnya yang penuh dengan emosi yang begitu menggetarkan. Hugh Jackman luar biasa sebagai Jean Valjean yang diawal penuh penderitaan dan momen dimana ia mendapat pencerahan pun terasa begitu emosional. Tapi tentu saja momen terbaik Les Miserables tiba pada dikala Hathaway menyanyikan I Dreamed a Dream. Dengan disajikan lewat jarak bersahabat saya dibentuk speechless dan merinding melihat bagaimana Hathaway menyalurkan semua emosinya di lagu tersebut. Hugh Jackman dan Anne Hathaway juga menjadi pemain yang mampu berbicara luar biasa melalui tatapan mata mereka. Penampilan Hathaway yakni sebuah penampilan yang bagi saya wajib diganjar Oscar. Pada balasannya di momen ending pun kemunculan kembali Hathaway ditambah (lagi-lagi) penampilan gemilang Jackman menciptakan saya meneteskan air mata.
Selain mereka berdua, masih ada penampilan gemilang dari Samantha Barks sebagai Eponine. Samantha Barks sendiri pernah memainkan abjad ini di konser perayaan 25 tahun drama musikalnya. Ah, sungguh menyesakkan melihat penampilannya sebagai seorang perempuan yang patah hati dan menyimpan cinta sejati yang penuh pengorbanan. Pemain lainnya sendiri tampil cukup baik meski belum bisa menandingi kehebatan Jackman, Hathaway maupun Barks. Dua bintang film cilik Isabelle Allen dan Daniel Huttlestone juga mampu mencuri perhatian dengan momen emosional mereka masing-masing. Sacha Baron Cohen dan Helena Bonham Carter memang tidak punya momen emosional namun mereka mampu mencerahkan suasana film dengan momen lucu dan unik. Justru bagi saya Russell Crowe yakni yang paling lemah disini. Nyanyiannya memang tidak buruk, tapi hanya itu. Tidak terasa kegetiran dari seorang Javert dalam penampilannya. Tidak ada kebesaran sosok Javert sebagai distributor aturan yang punya kekuatan untuk mengatur segalanya.

Tema ceritanya memang universal dan gampang dinikmati semua orang. Kisah wacana sebuah penderitaan yang memancing perlawanan untuk mendapat harapan, sebuah kisah cinta yang begitu besar lengan berkuasa sampai bisa memperlihatkan kekuatan untuk berkorban. Les Miserables penuh dengan derita, cinta, impian dan usaha dari banyak sekali karakternya yang punya tujuan hidup masing-masing. Tapi tema yang bergotong-royong bisa dinikmati oleh semua orang itu dibalut dengan teknik yang menciptakan Les Miserables menjadi bukan film semua orang. Hampir semua obrolan dinyanyikan yang akan menciptakan orang yang tidak terbiasa dengan musikal tidak akan gampang menikmatinya. Bahkan penyukaa film musikal mainstream pun belum tentu bisa menikmati ini. Apalagi durasinya mencapai 158 menit yang bisa menciptakan penontonnya lelah dan bosan akan semua nyanyian dami nyanyian yang ada.

Saya sendiri menyukai momen musikalnya yang bagi saya begitu indah. Momen-momen musikal yang tertangkap oleh kamera bagi saya merupakan hiburan visual yang sangat memanjakan. Semua itu tentu saja berkat penampilan luar biasa para pemainnya. Namun jangan lupakan bagaimana Danny Cohen menyusun sinematografi film ini dengan begitu indah dan megah. Dari awal setting-nya sendiri sudah memperlihatkan kemegahannya disaat para tahanan menarik kapal tenggelam di laut. Les Miserables memang mampu menciptakan saya bertahan dan terhibur berkat sajian visual dan momen musikalnya yang hebat. Para bintang film dan aktrisnya pun mahir dalam menghantarkan emosi mereka, namun ironisnya, film ini sendiri tidak punya kedalaman emosi yang baik. Momen individual pemainnya memang penuh emosi, tapi kisah filmnya secara keseluruhan nyaris terasa datar. Adegan demi adegan terasa begitu saja berganti, bagaikan sebuah rangkaian segmen yang tidak disusun secara rapih. Tiap momennya dihukum secara terburu-buru sampai berlalu begitu saja tanpa ada kesan berarti. Mungkin hanya momen-momen yang melibatkan Hugh Jackman dan Anne Hathaway saja yang emosional, itupun alasannya yakni penampilan keduanya. Momen June Rebellion pun juga disajikan dengan biasa saja. Sungguh disayangkan, padahal dengan momen musikal luar biasa, visual mahir dan akting penuh emosi para pemainnya, Les Miserables bisa jadi film terbaik di 2012, namun pada balasannya hanya berakhir sebagai sajian yang menghibur.


Artikel Terkait

Ini Lho Les Miserables (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email