Monday, January 14, 2019

Ini Lho Silver Linings Playbook (2012)

Saya tidak terlalu suka David O. Russell. Karyanya sebelum ini, The Fighter bagi saya yaitu salah satu film paling overrated dengan tujuh nominasi Oscar termasuk Best Picture berhasil didapat. Akting para pemainnya memang hebat, tapi tidak dengan filmnya. Karena itu saya tidak terlalu berekspektasi tinggi dalam film terbarunya ini yang merupakan pembiasaan dari novel berjudul sama garapan Matthew Quick. Seperti The Fighter, Silver Linings Playbook juga cukup berjaya sebagai nominator Oscar dengan mengantongi delapan nominasi termasuk Best Picutre. Keempat pemainnya yaitu Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert DeNiro dan Jacki Weaver masing-masing mendapat satu nominasi keaktoran. Film ini sanggup mengalahkan Moonrise Kingdom-nya Wes Anderson sebagai nominator Oscar, sebagaus itukah film terbaru David O. Russell ini? Atau lagi-lagi para kritikus memang keterlaluan dalam menyayangi karya-karyanya? Judul film ini berasal dari sebuah ungkapan silver linings yang berarti kebahagiaan/hal baik yang muncul dalam situasi yang buruk/sedih. Di film ini memang para pemainnya tengah menyusun seni administrasi (playbook) untuk mencari kebahagiaan mereka.

Patrick Solitano Jr. atau yang dekat dipanggil Pat Jr. (Bradley Cooper) gres saja keluar dari rumah sakit jiwa akhir bipolar disorder yang ia miliki. Bipolar disorder sendiri yaitu sebuah gangguan mood yang sanggup menciptakan emosi pengidapnya naik turun. Pat Jr. sendiri sempat mengalami sebuah insiden dimana ia begitu murka dikala memergoki istrinya, Nikki (Brea Bee) sedang berselingkuh dan memukuli selingkuhan sang istri hingga nyaris mati. Hal itu yang membuatnya dikirim ke rumah sakit jiwa. Menghabiskan delapan bulan disana, Pat Jr. kesannya sanggup kembali pulang dengan syarat dihentikan menghubungi Nikki dan dibatasi untuk tidak terlalu jauh berkeliaran dari sekitar rumahnya. Pat Jr. sekarang tinggal bersama sang ibu, Dolores (Jacki Weaver) dan ayahnya, Pat Sr. (Robert DeNiro). Sang ayah yang pengidap OCD yaitu penggila baseball yang gres saja kehilangan pekerjaannya. Dalam kesehariannya, Pat Jr. berusaha untuk mengontrol emosinya biar sanggup mendapat Nikki kembali. Sampai suatu hari ia bertemu dengan Tiffany (Jennifer Lawrence), seorang gadis yang "sama gilanya" dengan Pat. Dengan rasa sakit dan gangguan yang sama-sama mereka alami ternyata justru makin mendekatkan mereka berdua.

Silver Linings Playbook bergotong-royong punya dasar dongeng yang tidak terlalu spesial, yaitu wacana seorang laki-laki yang berusaha memperbaiki hubungan dengan istrinya, namun disisi lain justru tiba sosok perempuan yang gres dimana kita sudah akan mengetahui  bagaimana simpulan kisah cinta tersebut. Semua komedi romantis selalu punya subplot, dan film ini juga menghadirkan subplot dalam kisah hubungan ayah dan anak. Beberapa kejutan kecil yang coba dimasukkan juga predictable. Yang menciptakan ceritanya menjadi lebih berbeda yaitu berkat karakterisasi yang diberikan pada tiap-tiap tokohnya. Mereka semua yaitu penderita gangguan psikologis yang punya ketidak stabilan emosi dan sikap masing-masing. Konflik yang timbul baik secara internal dalam diri karakternya ataupun di eksternal yang muncul akhir gangguan psikologis tersebut-lah yang menciptakan film ini jadi jauh lebih menarik dan dinamis. Konflik antara Pat dan Tiffany jadi jauh lebih menarik sebab gangguan mental mereka masing-masing. Emosi yang meledak-ledak hingga kata-kata abstrak yang seringkali muncul menciptakan hubungan keduanya menjadi menarik. Hal yang sama berlaku pada konflik yang menyangkut Pat Sr. Dengan OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang ia miliki, tingkahnya pun tidak kalah unik, dan kalau ada satu hal saja yang mengganggu keteraturannya, ia akan begitu terganggu.
Naskahnya cerdas, dengan begitu banyak obrolan asburd yang seringkali diucapkan oleh Pat dan Tiffany. Dialog-dialognya mendukung kegilaan yang mereka berdua alami yang terkadang memperlihatkan sentuhan komedi yang pas pada film ini. Karakterisasi yang diberikan menyerupai yang sudah saya tuliskan sebelumnya sanggup menciptakan filmnya lebih dinamis, meski bergotong-royong keakuratan mengenai mental illness yang ada tidak sepenuhnya pas, tapi tidak terlalu mengganggu. Dengan karakterisasi yang baik, para bintang film dan aktrisnya pun turut bermain begitu baik. Bradley Cooper muncul dengan akting terbaiknya selama ini sebagai laki-laki dengan mood swing dan berhasil menjalin chemistry berpengaruh dengan Jennifer Lawrence yang juga sangat manis sebagai sosok perempuan yang agak freak tapi sangat gampang disukai. Ya, saya sangat menyukai huruf Tiffany yang ia perankan dengan segala keganjilan dan tatapn matanya yang nampak tidak pernah senang itu. Robert DeNiro bagaikan kembali ke performa punckanya disini dengan ganjaran nominasi Oscar sesudah 20 tahun lamanya tidak pernah menjadi nominator.

Banyak yang mengkritisi film ini punya ending yang terlalu manis, dan saya sendiri mengakui ending-nya sangat predictable, Tapi tidak ada salahnya menggunakan simpulan yang senang dan (agak) kelewat manis menyerupai film ini. Saya sendiri tidak sependapat dengan banyaknya komentar wacana apa yang berusaha disampaikan film ini lewat ending-nya, yaitu bahwa cinta sanggup mengatasi semua hal termasuk gangguan mental. Bagi saya gangguan mental yang dialami oleh Pat dan Tiffany mulai membaik bukan semata-mata sebab cinta, tapi berkat adanya rutinitas latihan dansa mereka. Bagi penderita gangguan emosi, acara khususnya yang menguras fisik akan sangat membantu bagi mereka dalam mengontrol emosi. Makara saya tidak sedikitpun merasa adanya anggapan cinta sanggup menyembuhkan segalanya. Namun memang cinta sanggup memperlihatkan sebuah pertolongan batin yang cukup berpengaruh dalam penyembuhan penyakit mental, itulah yang saya rasakan dalam Silver Linings Playbook. Pat yang bergotong-royong butuh dimengerti kesannya menemukan Tiffany yang punya kondisi mental yang sama dengan dirinya, dan justru jadi orang yang paling mengerti Pat, dengan caranya sendiri tentunya.

Banyak adegan yang terasa menyentuh namun tidak kehilangan sentuhan komedinya. Seperti adegan dikala Tiffany marah-marah di restoran kemudian pertengkaran berlanjut di jalanan, bagi saya itu yaitu momen menyentuh dimana Tiffany dan Pat menemukan kepedulian satu sama lain. Juga dikala Pat Sr. mengamuk disaat timnya kalah yang menjadi highlight dari akting DeNiro di film ini. Begitu menyakitkan, tapi disusul dengan adegan yang kocak begitu Tiffany ikut masuk ke pertengkaran. Hubungan cinta Pat dengan perempuan ataupun dengan sang ayah semuanya terasa menyentuh. Mungkin saja Pat bergotong-royong menyadari Nikki tidak lagi menyayangi dirinya, tapi akhir cinta buta dan usahanya untuk selalu berpikir positif, ia masih saja berusaha mengejar sang istri. Semua kisahnya terasa begitu manis, hingga walaupun diakhiri dengan begitu tertebak, saya tidak protes dan terganggu sebab memang simpulan yang manis itulah yang saya harapkan dari sebuah kisah cinta yang begitu manis ini. Silver Linings Playbook memang sederhana dari segi dongeng dibalik segala kompleksitas tiap-tiap karakternya. Sebuah film yang punya sisi manis ditengah segala sisi gelap yang dimiliki oleh karakternya, benar-benar sesuai dengan ungkapan silver linings itu sendiri.


Artikel Terkait

Ini Lho Silver Linings Playbook (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email