Ada kalanya aku menyebabkan sosok Johnny Depp sebagai bintang film favorit saya. Saat itu aku begitu mengagumi performanya yang sering memerankan banyak sekali abjad yang unik menjurus ke aneh. Namun semakin kesini aku mulai merasa bosan alasannya yakni range abjad yang ia mainkan semakin sempit dan seolah terjebak pada abjad yang itu-itu saja. Tapi toh memang sosok Johnny Depp yang wajahnya ditutupi make-up tebal itulah yang lebih disukai penonton. Hal itu sanggup dilihat dari pendapatan film yang ia bintangi disaat tidak menggunakan make-up tebal dan abjad absurd semisal The Tourist, Public Enemies sampai The Rum Diary yang pendapatannya tidak seberapa, bahkan film yang disebut terakhir flop dan mengalami kerugian. Maka tidaklah mengagetkan bahwa Depp muncul dalam The Lone Ranger sebagai Tonto, sosok Indian yang punya penampilan absurd dengan gagak diatas kepalanya. The Lone Ranger sendiri yakni kisah yang pertama kali muncul dalam serial radio pada tahun 1933 dan sudah menyebarkan sayapnya ke media lain mulai dari buku komik, serial televisi sampai tentunya film layar lebar. Film ini juga mempertemukan kembali orang-orang yang berada dibalik kesuksesan trilogi Pirates of the Caribbean, yakni sutradara Gore Verbinski, produser Jerry Bruckheimer, komposer Hans Zimmer, dan tentunya Johnny Depp.
Pada tahun 1869, seorang pengacara taat aturan berjulukan John Reid (Armie Hammer) pulang ke kampung halamannya di Colby, Texas dengan kereta api. Kereta api tersebut ternyata juga mengangkut seorang penjahat berbahaya yang tengah menanti eksekusi, yaitu Butch Cavendish (William Fichtner). Tanpa diduga para anak buah Butch menyerang kereta itu untuk menyelamatkan sang pemimpin. Dengan gampang mereka berhasil memporak porandakan kereta tersebut. Namun John yang tidak tinggal membisu mencoba melaksanakan perlawanan dengan dibantu oleh seorang Indian absurd nan misterius berjulukan Tonto (Johnny Depp) yang juga menjadi tahanan dalam kereta tersebut. Meski pada jadinya Butch berhasil kabur, berkat agresi John dan Tonto para penumpang berhasil diselamatkan. Berkat aksinya itu John diangkat menjadi salah satu Texas Ranger oleh sang kakak, Dan (James Badge Dale) yang merupakan pendekar disana dan mengajak John turut serta memburu Butch. Perjalanan itulah yang akan merubah takdir John dari seorang pengacara yang begitu taat aturan dan tidak pernah menggunakan senjata api menjadi sosok miserisu bertopeng yang dikenal dengan nama Lone Ranger.
Sebenarnya dari jauh hari sebelum filmnya dirilis, banyak sekali informasi tidak sedap sudah mengiringi The Lone Ranger. Yang paling santer terdengar tentu saja sempat terhentinya proses produksi alasannya yakni bujet yang diperlukan terlampau besar, khususnya untuk membiayai dampak CGI yang diperlukan oleh Gore Verbinski. Pada jadinya baik Verbinsi, Depp, Hammer sampai Jerry Bruckheimer bersedia memotong honor mereka sebanyak 20% dan proyek ini kembali berjalan. Tapi toh pada jadinya The Lone Ranger tetap menjadi sebuah film dengan bujet raksasa, yakni sekitar $250 juta. Jelas itu yakni angka yang sangat besar apalagi untuk ukuran film dengan tema western. Tapi apakah film ini memang pantas dihargai semahal itu? Jika patokannya yakni keperluan dampak CGI maka bagi aku hasil jadinya memang memuaskan. Berbagai adegan agresi yang bombastis khususnya yang melibatkan kereta di awal dan tamat film memang terasa luar biasa. Jangan lupakan bahwa angka $250 juta sudah termasuk honor seorang Johnny Depp yang merupakan bintang film paling mahal di Hollywood, jadi sebetulnya The Lone Ranger tidak mengeluarkan dana sebesar itu untuk dampak visualnya dan itu menciptakan apa yang tersaji termasuk hal yang impresif.
Bicara soal keanehan, ternyata tidak hanya sosok Johnny Depp saja yang tampil absurd disini, tapi bagaimana film ini bertutur juga tidak kalah aneh. Dengan menyebabkan sosok Tonto sebagai narator, film ini mencoba menghadirkan narasinya seolah menyerupai kita sedang dibacakan sebuah dongeng. Berulang kali terjadi peralihan antara Tonto di tahun 1933 yang sedang mendongeng dengan kisah yang terjadi di tahun 1869, dan dalam peralihan tersebut seringkali terjadi momen-momen abstrak yang seringkali dibentuk untuk memancing tawa penonton. Maksud dari hal itu selain untuk menciptakan penonton tertawa juga semoga kita dibentuk bertanya-tanya apakah sosok Tonto di tahun 1933 nyata? Apakah kisah yang ia ceritakan wacana Lone Ranger memang terjadi atau hanya dongeng belaka? Namun beberapa kali momen absurdnya terasa melampaui batas dan menciptakan kisahnya semakin absurd dalam konteks negatif. Tentu saja film menyerupai The Lone Ranger apalagi pada momen yang melibatkan abjad abstrak menyerupai Tonto sah-sah saja menampilkan momen yang juga absurd, namun pengemasan yang ditampilkan disini bagi aku tidak pada tempatnya.
Dengan durasi mendekati dua setengah jam plus bujet raksasa, The Lone Ranger mestinya sanggup menjadi sebuah film western yang epic dan dipenuhi oleh adegan-adegan agresi berskala besar yang mendebarkan dan dibalut dampak CGI canggih yang memanjakan mata. Tapi masalahnya, selain dampak CGI yang memanjakan mata, film ini tidak sanggup merangkum ceritanya dengan menarik, pun begitu dengan adegan aksinya yang meskipun terlihat glamor tapi tidak terasa seru dan menegangkan. Cerita dalam The Lone Ranger sebetulnya begitu sederhana, namun sayangnya terlalu banyak dongeng sampingan yang ditambahkan. Parahnya, dongeng sampingan yang cukup banyak itu dihukum jauh dari kata maksimal sehingga terasa tidak penting dan gagal menjadi bumbu untuk mendukung kisah utamanya yang biasa saja. Selain perburuan duo Lone Ranger dan Tonto terhadap Butch, kita akan disuguhi kisah cinta John Reid, perpecahan Indian dengan kulit putih, masa kemudian Tonto dan beberapa hal lainnya. Tapi semuanya tidak ada yang maksimal dan seolah hanya untuk menciptakan filmnya terasa lebih kompleks dan epic. Adegan aksinya pun tidak memiliki tensi yang cukup untuk menciptakan filmnya lebih baik lagi. Meski berskala besar dan dibalut musik Hans Zimmer yang menggelegar menyerupai biasa, tapi secara keseluruhan adegan aksinya biasa saja. Pada jadinya durasi 149 menit yang sudah panjang menjadi terasa semakin kelamaan.
Salah satu faktor yang menciptakan adegan aksinya terasa kurang menegangkan yakni selipan komedi yang terkadang menurunkan tensi. Memang humor yang disajikan termasuk berhasil, khususnya disaat melibatkan interaksi antara abjad Tonto dan Lone Ranger, namun disaat ada momen yang seharusnya serius dan menegangkan, selipan komedinya justru merusak tensi adegan. Namun disisi lain selipan komedinya juga berhasil sedikit menambal kekurangan disisi ceritanya. Berkat hal ini, hubungan antara Lone Ranger dan Tonto menjadi semakin hidup dan menyenangkan untuk diikuti. Saya eksklusif menyukai Johnny Depp sebagai Tonto yang berhasil memaksimalkan gaya aktingnya kalau dibandingkan sosok Barnabas di Dark Shadows. Namun pada jadinya hal itu tetap tidak bisa menciptakan The Lone Ranger menjadi sebuah tontonan yang memuaskan. Khusus bagi Johnny Depp, pendapatan film ini yang tidak mencapai $30 juta di ahad pertamanya sehabis dikalahkan secara telak oleh Despicable Me 2 menciptakan The Lone Ranger menjadi film flop-nya yang kedua secara berturut-turut sehabis Dark Shadows. Apakah tamat dari kebesaran sang bintang film semakin dekat?
Ini Lho The Lone Ranger (2013)
4/
5
Oleh
news flash