Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho The Machine (2013)

Sebuah film science-fiction memang identik dengan imbas CGI canggih yang tentunya membutuhkan bujet raksasa. Lihatlah film-film sci-fi produksi Hollywood zaman kini yang bujetnya hampir selalu menembus angka $100 juta. Maka dari itu ketika ada sebuah film sci-fi yang diproduksi dengan biaya tidak lebih dari $1.5 juta tentu saja menarik untuk disimak akan mirip apa film itu dikemas. The Machine yang merupakan debut penyutradaraan bagi Caradog W. James ini memang sebuah film yang murah, tapi terang bukan film murahan mirip banyak sci-fi kelas B. Dengan biaya yang tidak hingga seperseratus dari Transformers: Age of Extinction, Caradog W. James nyatanya tetap berhasil membuat sebuah sci-fi dengan konsep menarik serta kisah yang elok dan cukup kaya, tentunya jauh lebih berisi dari film milik Michael Bay tersebut. Ide dasar film ini bersama-sama jauh dari kata baru, alasannya kisah perihal sebuah A.I. (Artificial Intelligence) sudah berulang kali diangkat dalam film khususnya Hollywood. Tapi sekali lagi fakta bahwa The Machine merupakan film yang "kecil" dan pastinya tidak akan menimbulkan imbas CGI sebagai suguhan utama menimbulkan konsep yang klise itu berpotensi menjadi sebuah tontonan yang menarik.

Kisahnya ber-setting di Inggris masa depan disaat perang hirau taacuh melawan Cina semakin mendekati kenyataan. Pada ketika itulah kesatuan militer Inggris mulai menyebarkan sebuah proyek untuk membuat super soldier. Untuk itulah seorang ilmuwan berjulukan Vincent (Toby Stephens) yang memang tengah menyebarkan teknologi implan otak berisi jadwal canggih dipekerjakan. Vincent sendiri mempunyai jadwal lain ketika mendapatkan pekerjaan tersebut, alasannya dengan ambil pecahan dalam proyek itu, risetnya akan mendapatkan dana yang nantinya akan ia pakai untuk menyebarkan teknologi demi menolong puterinya yang sakit parah. Dalam pekerjaan tersebut, Vincent merekrut seorang ilmuwan perempuan muda berjulukan Ava (Caity Lotz) yang juga tengah menyebarkan jadwal serupa. Program itu bersama-sama belumlah tepat alasannya masih ada banyak sekali imbas samping dan kecacatan, namun disaat Ava terbunuh Vincent pun terpaksa merealisasikan programnya demi menghidupkan Ava kembali. Sosok Ava jadinya berhasil "dihidupkan" kembali dalam bentuk android. Android inilah yang diincar oleh pihak militer untuk dijadikan mesin pembunuh. Pertanyaan pun mulai muncul, "apakah android ini hanya sekedar mesin atau mempunyai kesadaran alias hidup mirip manusia?"

Ada banyak hal yang coba diangkat Caradog W. James dalam 90 menit filmnya ini meski bersama-sama banyak hal tersebut lagi-lagi sudah sering kita temui dalam film-film sci-fi bertemakan A.I. lainnya. Yang paling familiar tentu saja konflik dilematis yang dialami oleh abjad utamanya ketika ia bertanya-tanya apakah sang mesin memang hanya benda mati yang cerdas ataukah benar-benar hidup mirip insan pada umumnya? Tentu saja balasan dari pertanyaan tersebut sudah sanggup kita duga jauh sebelum filmnya memperlihatkan jawaban. Di samping itu masih ada hal lain yang coba diangkat oleh sang sutradara, malah bersama-sama ada banyak hal lain. Tapi disinilah keterbatasan bujet nampaknya menjadi penghalang untuk menimbulkan banyak sekali subplot tersebut terasa lebih maksimal. Bujet minimnya justru tidak mengurangi kualitas visualnya, alasannya beberapa imbas CGI sederhana yang ada terasa maksimal. Tampaknya bujet minim tersebut memang difokuskan untuk memoles banyak sekali imbas komputer masa depan dan tampilan robot yang ada. Efek sampingnya adalah, The Machine harus dihukum dalam setting dan skala yang sempit. Sepanjang film kita hanya diajak melihat laboratorium dan sentra penelitian. Hal itu membuat kisah perihal masa perang hirau taacuh dan sedikit selipan konspirasi politik serta revolusi tersembunyi para robot tidak terlalu terasa.
Satu hal lagi yang kurang maksimal ialah aspek dramanya. Ada dua drama yang jadi fokus utama disini, yaitu korelasi Vincent dan puterinya serta kisah mesin yang mempunyai jiwa. Dua kisah yang bersama-sama punya potensi luar biasa besar untuk sanggup menggerakkan perasan penonton, namun sayang keduanya masih terasa tidak maksimal. Sentuhan drama-drama tersebut memang membuat The Machine menjadi tidak kosong, ada jiwa yang terkandung dalam film ini hanya saja tidak terlalu kuat. Jika diibaratkan, film ini bukanlah robot yang tidak mempunyai jiwa, tapi juga belum lengkap untuk sanggup disebut sebagai insan "sempurna" yang mempunyai kedalaman rasa. Lebih sering terasa datar memang tapi toh saya tetap sangat sanggup menikmati The Machine. Seperti yang saya bilang, meski tidak maksimal, sentuhan dramanya sudah berhasil menimbulkan film ini tidak terasa kosong, meski pada jadinya keberhasilan terbesar film ini ialah bagaimana Caradog W. James sukses membangun mood serta atmosfer filmnya. Sang sutradara sendiri sempat menyampaikan bahwa tergetnya ialah membuat sci-fi yang lebih scientific daripada yang terlalu mengedepankan fantasi dan melupakan sains. Ya, dan ia berhasil melakukannya disini. Meski berbicara dilema implan otak, robot hidup dan hal-hal yang (masih) tidak mungkin lainnya, The Machine sukses membuat saya mencicipi betapa nyatanya film ini dan mungkin saja banyak sekali teknologi yang hadir akan kita temui tidak usang lagi.

Jika saya harus mendeskripsikan atmosfer film ini, saya akan menentukan kata "seksi". Bukan, bukan alasannya ada adegan Caity Lotz telanjang, tapi lebih pada bagaimana suasana kelam dan sunyi berpadu tepat dengan efek-efek visual dan sinematografinya yang terkesan intim. Sulit mendeskripsikan kenapa kata "seksi" yang muncul, tapi bukankah "rasa" memang sesuatu yang sulit diungkapkan lewat kata maupun tulisan? Sedangkan kalau bicara soal akting,  hanya Caity Lotz saja yang menarik perhatian. Bukan, bukan alasannya ia sempat tampil telanjang tapi lebih kepada keberhasilannya dalam memerankan sosok mesin yang masih dipertanyakan dan mempertanyakan sisi kemanusiaannya. Dari ekspresi maupun caranya bicara benar-benar terasa sesosok mesin yang terang bukan insan tapi mempunyai jiwa layaknya manusia. Bahkan ketika harus melakoni adegan agresi pun Caity Lotz nampak meyakinkan sebagai sesosok mesin pembunuh yang kuat, meskipun sanksi adegan aksinya terasa clumsy. Pada jadinya The Machine memang tidaklah sedalam yang saya harapkan, justru diluar dugaan sci-fi kecil ini malah mempesona pada aspek visualnya yang minimalis itu. Tidak mendalam memang, tapi The Machine tetap merupakan sajian sci-fi minimalis yang mengasyikkan. Satu lagi bukti bahwa untuk membuat sci-fi dengan imbas CGI yang elok tidak harus menggelontorkan ratusan juta dollar.

Artikel Terkait

Ini Lho The Machine (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email