Thursday, January 10, 2019

Ini Lho The Missing Picture (2013)

Perfilman Kamboja mungkin belum menjadi kekuatan besar baik di Asia apalagi dunia. Salah satu buktinya sanggup dilihat dari jumlah film yang dikirim ke ajang Oscar. Sampai ketika ini gres ada tiga film Kamboja yang dikirim ke ajang Oscar dimana dua diantaranya yaitu film karya sutradara Rithy Panh. Film Rithy yang pertama dikirim ke Oscar yaitu Rice People (1994) yang juga sempat diputar pada ajang Cannes Film Festival. Tapi pencapaian terbesar dari perfilman Kamboja memang didapat oleh film Rithy Panh yang lain, yaitu The Missing Picture ini. Tidak hanya dikirim, film ini juga berhasil menjadi nominator final dalam ajang Oscar tahun ini. Selain itu, The Missing Picture pun berhasil membawa pulang penghargaan Un Certain Regard di Cannes Film Festival tahun 2013. Film keempat belas dari Rithy Panh ini juga termasuk unik, sebab jarang sekali ada film dokumenter yang dikirim untuk berkompetisi pada kategori Best Foreign Language Film di Oscar. Apakah The Missing Picture memang sebegitu spesialnya hingga mengalahkan film-film drama untuk menjadi perwakilan Kamboja bahkan akihrnya berhasil menjadi satu dari lima film nominator final?

Film ini akan membawa kita kembali ke masa lalu, ke salah satu masa paling kelam dalam sejarah Kamboja. Hal itu terjadi pada tahun 1975-1979 ketika gerakan kaum komunis yang disebut Khmer Merah mulai menguasai Kamboja dibawah pimpinan Pol Pot. Dengan kisah dari Rithy Panh sebagai sudut pandang utama, kita diajak untuk menelusuri bagaimana menderitanya rakyat Kamboja pada masa itu. Dibawah kepemimpinan Pol Pot yang seorang diktator, rakyat Kamboja diharuskan mengikuti kerja paksa dan hidup dibawah kelaparan serta kemiskinan. Hampir semua rakyat sipil pada ketika itu harus hidup dibawah bahaya kekerasan setiap harinya, bekerja paksa, kehilangan keluarganya, kelaparan dan tidak mempunyai apapun akhir diterapkannya paham komunis yang menjadi ideologi seorang Pol Pot. Pada masa itu diperkirakan hampir 3 juta rakyat Kamboja meninggal (dari total penduduk diatas 8 juta) akhir kehidupan yang jauh dari kata makmur tersebut Tapi ibarat banyak diktator lain, tentu saja Pol Pot berusaha menutupi "pembantaian" tersebut dengan aneka macam macam propaganda sehingga dunia luar melihat rakyat Kamboja hidup senang dan bekerja suka rela untuk membangun negara yang makmur dengan semua rakyatnya yang hidup setara tanpa ada si kaya dan si miskin. Hal itulah yang membuat banyak kepingan sejarah yang hilang dan tidak bersisa. Tapi disaat sejarah yang terekam tidaklah ada, masih ada memori dari saksi hidupnya termasuk Rithy Panh sendiri yang sanggup dituturkan.
Salah satu keunikan dari The Missing Picture adalah penggunaan boneka dan properti dari tanah liat untuk membuat reka ulang dari kisah yang dituturkan. Semua ini dilakukan sebab begitu minimnya footage maupun hal-hal lain termasuk foto yang sanggup dipakai untuk menggambarkan kondisi pada masa itu. Semuanya musnah, menghilang ataupun rusak dan telah menjadi kepingan gambar yang hilang. Ada beberapa rekaman yang sanggup terselamatkan dan dipakai juga oleh Rithy Panh disini, tapi kebanyakan dramatisasi kisahnya memakai miniatur yang dibentuk dari tanah liat. Jelas hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa disaat sebuah kekurangan besar dari film ini justru disulap jadi sebuah keunikan yang tidak dimiliki dokumenter lainnya bahkan menjadi aspek terbaik dalam The Mising Picture. Membuat kekurangan menjadi kelebihan, itulah film ini. Kita akan melihat detail luar biasa dari miniatur tanah yang dibuat. Berbagai detail arsitektur hingga benda-benda kecil yang ada begitu diperhatikan hingga detail yang terkecil. Yang lebih luar biasa lagi, figur manusia-manusia yang ada bagaikan mempunyai jiwa yang merepresentasikan penderitaan, kesedihan dan ketakutan yang digambarkan lewat narasi puitis dari Rithy Panh. Berkat itu, semuanya terasa konkret dan mininya footage asli di film ini tidak begitu drastis mengurangi emosi yang coba disampaikan, meski terang tidak akan semaksimal jikalau memakai rekaman yang asli.

Narasi yang dibacakan sepanjang film juga terasa puitis tanpa harus dilebih-lebihkan. Tidak ada kata-kata penuh metafora hiperbola atau rintihan penuh kesedihan yang berlebihan disini. Kata demi katanya terasa ibarat curhatan biasa dari seseorang wacana masa kemudian kelamnya di masa lalu. Bahkan beberapa kalimatnya terasa penuh dengan ironi serta sindiran sinis yang sekilas terasa halus tapi bersama-sama begitu menusuk. Mendengar narasinya saya sanggup membayangkan Rithy Panh membisu dan menerawang dengan lisan yang datar namun kesedihan terang terpancar di matanya yang menatap kosong, mengingat masa lalunya yang berat atau masa kecilnya yang selalu ia rindukan sebelum Pol Pot berkuasa. Segala narasi ini juga turut menunjukkan kesan yang lebih personal daripada filmnya daripada sebuah napak tilas sebuah sejarah. Sejarah sanggup dirubah bahkan sanggup diatur sesuai harapan para penguasa ibarat yang juga dilakukan Pol Pot, tapi memori akan selalu terkenang. Sejarah sanggup direkayasa sedangkan memori akan lebih terasa kejujurannya, dan hal itulah yang dimanfaatkan oleh Rithy Panh untuk mnciptakan sebuah jalinan kisah yang jauh lebih jujur dan personal. Meski menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan politik juga, tapi pada pada dasarnya The Missing Picture lebih berfokus pada kepingan kisah dari kehidupan masa kemudian yang mungkin tidak akan dituturkan secara lengkap dalam literatur sejarah manapun.
Sebelum menonton The Missing Picture saya sudah tahu definisi dan bagaimana ideologi komunisme itu berjalan, tapi melihat film ini saya dibentuk jauh lebih memahaminya. Tidak hanya tahu tapi saya dibentuk mengerti wacana komunisme itu sendiri. Saya makin mengerti apa itu "kesetaraan" yang dianut ideologi ini khususnya yang dijalankan oleh Pol Pot. Jelas tanpa menjadi sebuah propaganda film ini berhasil membuat saya mengutuk pemerintahan Pol Pot. Ya, itulah hebatnya The Missing Picture. Tanpa harus menjadi propaganda film ini sanggup membawa penononnya mencicipi kebencian yang sama dengan yang dirasakan oleh Rithy Panh. Kenapa film ini tidak sanggup dibilang propaganda? Karena semua kisahnya hanyalah berisi curhatan dan sesekali sindiran tanpa ada perjuangan menggiring penonton untuk membenci pihak tertentu. Bahkan dalam konklusi filmnya jeas sekali Rithy Panh tidak serta merta hanya menyalahkan Pol Pot dan ideologinya, sebab jauh sebelum dan setelah pemerintahan sang diktator tetap ada rakyat miskin yang kesehariannya bekerja keras mengolah lahan kering dan hidup merana. Film ini tidak pernah membandingkan ideologi mana yang lebih cantik sebab ini bukanlah propaganda maupun film politik. Ini yaitu curhatan dan kisah wacana kenangan kelam yang personal, itu saja.

Sayangnya The Missing Picture semakin terasa repetitif menjelang filmnya berakhir. Disaat saya mulai "terbiasa" dengan penggunaan tanah liat dan makin menyadari sehidup apapun bonekanya tetap tidak sehidup para insan sungguhan, narasinya pun terasa terus mengulangi hal yang sama. Selalu ada kisah wacana penderitaan, kelaparan dan sebagainya. Di awal hingga pertengahan, filmnya memang membahas itu juga, tapi setidaknya masih banyak kisah yang ditawarkan mulai dari keluarga Rithy Panh hingga "sub-plot" macam kisah tragis seorang ibu yang tertangkap lembap mencuri mangga kemudian dilaporkan oleh anaknya yang masih kecil dan lain-lain. Tapi menjelang final ceritanya terasa stagnan dan berputar-putar seolah kehabisan stok cerita. Pada kepingan inilah kekurangan literatur dan footage mulai terasa dimana The Missing Picture jadi agak membosankan. Untungnya itu terjadi ketika filmnya mendekati final sehingga tidak banyak kuat pada kualitas filmnya secara menyeluruh. Karena secara keseluruhan The Missing Picture merupakan sebuah dokumenter yang tidak hanya sangat unik dalam penyajian tapi juga berhasil membeberkan sebuah kepingan gambar yang hilang dan banyak dilupakan, ibarat yang terpampang dalam judul filmnya.

Artikel Terkait

Ini Lho The Missing Picture (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email