Seperti yang kita tahu bahwa Turki punya wilayah yang masuk ke serpihan Eropa dan sebagian ada di Asia. Sedangkan Anatolia sendiri (kalau saya tidak salah) yaitu serpihan dari Turki yang masuk kedalam wilayah Asia. Film garapan sutradara Nuri Bilge Ceylan ini memang mengambil mengambil lokasi di kawasan Anatolia. Once Upon a Time in Anatolia memang sebuah sinema Turki yang punya pencapaian yang spesial. Hal itu sanggup dilihat dari keberhasilan film ini memenangi Grand Prix di Cannes Film Festival 2011 (berbagi dengan The Kid With a Bike). Kategori Grand Prix sendiri sanggup dibilang yaitu sebuah penghargaan yang punya nilai prestisius nomor dua di ajang Cannes, yaitu "hanya" dibawah Palme d'Or. Makara apa bergotong-royong yang terjadi di Anatolia pada film ini? Ternyata kita akan dibawa mengikuti sebuah pencarian yang dilakukan terhadap sebuah jenazah korban pembunuhan yang dikubur di suatu tempat di Keskin, Anatolia. Pencarian tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari Beberapa anggota polisi, pihak militer, penggali kubur, seorang jaksa, seorang dokter hingga dua orang abang beradik yang menjadi tersangka pembunuhan tersebut.
Pencarian tersebut berlangsung hingga larut malam dan tidak kunjung selesai. Penyebabnya yaitu Kenan, salah satu tersangka yang memimpin pencarian tidak terlalu ingat wacana tempat dimana ia menguburkan jenazah tersebut, alasannya pada ketika melaksanakan pembunuhan ia dalam kondisi mabuk, sedangkan sang adik sendiri termasuk orang yang mengalami retardasi mental hingga tidak terlalu membantu pencarian tersebut. Yang ia ingat hanyalah jenazah itu dikuburkan di sebuah tempat lapang akrab mata air dan di sekitarnya terdapat beberapa pohon. Tentu saja tempat dengan deskripsi semacam itu sangat banyak disana. Pencarian terus berlangsung, dan disaat bersamaan kita akan diajak menelusuri personal masing-masing huruf mulai dari Kepala Polisi, dokter, jaksa bahkan hingga Kenan sang pelaku pembunuhan. Mereka satu sama lain membicarakan banyak sekali macam topik mulai dari yang ringan mirip makanan hingga topik berat macam kematian. Tapi tentu saja dongeng yang paling mengena yaitu kisah wacana seorang perempuan yang sanggup memprediksikan hari dimana ia mati dan mengatakannya pada sang suami bahwa ia akan mati sehabis melahirkan bayi mereka. Dari banyak sekali dongeng dan dialog itulah kita akan mulai mengetahui sisi kepribadian masing-masing karakter.
Durasi hampir dua setengah jam, tempo yang berjalan begitu lambat dan nuansa film yang sunyi, hingga tidak adanya momen dimana tensi mencapai puncak terang menciptakan Once Upon a Time in Anatolia menjadi film yang tidak diperuntukkan bagi semua orang. Apalagi dalam perjalanannya, film ini tidak memperlihatkan sebuah konflik yang memuncak. Yang ada hanyalah studi mengenai masing-masing huruf yang ditampilkan lewat beberapa obrolan. Penonton bukan diajak menelusuri masalah yang ada, tapi lebih kepada diajak untuk hidup selama dua setengah jam bersama para huruf yang ada. Kita diajak untuk mengobservasi wacana sisi terdalam masing-masing karakter. Tapi memang harus diakui suasana film ini begitu sunyi. Jika diibaratkan, maka menonton film ini akan terasa mirip ketika kita di waktu malam hari duduk di depan rumah, memandang bintang di langit gelap sambil sesekali terdengar bunyi hewan, mungkin jangkrik atau lolongan anjing. Yah mungkin pada momen itu kita juga ditemani secangkir kopi atau sebatang rokok. Sebuah momen yang tenang, terasa menyatu dengan alam dan bagi yang kurang menikmati mungkin akan menjadi momen yang menciptakan kantuk makin terasa. Begitulah kira-kira Once Upon a Time in Anatolia.
Film ini juga berkisah wacana kebenaran. Berbagai macam kebenaran hingga hal-hal di sekitaran kebenaran tersebut dikupas disini. Dalam film ini, sebuah kebenaran seringkali terasa sangat menyedihkan dan menyakitkan. Beberapa momen yang berkaitan dengan jalan dongeng mengenai pembunuhan yang terjadi memperlihatkan hal tersebut. Lalu kemudian kita akan hingga pada pertanyaan yang nantinya juga akan tercetus ketika melihat ending-nya, yaitu "Apakah semua kebenaran memang perlu diungkapkan apa adanya? Ataukah pada suatu waktu kita memang perlu menyembunyikan sebuah kebenaran?" Beberapa huruf dalam film ini memang menyimpan beberapa kebenaran yang juga mereka sembunyikan. Ironis memang jikalau melihat "sampul" dari kisah film ini yaitu perjuangan mencari kebenaran wacana suatu masalah pembunuhan, namun pada kenyataannya banyak diantara huruf yang ada menyimpan sebuah fakta yang tidak mereka ungkapkan kebenarannya. Bahkan kisah wacana seorang perempuan yang mengetahui hari kematiannya juga erat kaitannya dengan sobat sebuah kebenaran. Studi huruf yang ditampilkan dalam film ini juga memunculkan perasaan yang unik wacana kebenaran, dimana semua huruf punya pandangan sendiri-sendiri terhadap satu sama lain. Mereka tidak tahu bagaimana "wajah sebenarnya" dari tiap orang, tapi penonton diajak untuk mengetahuinya secara perlahan.
Once Upon a Time in Anatolia yaitu sebuah kisah yang mengalun begitu lambat, namun akan terasa indah luar-dalam jikalau anda mau menikmatinya dan bersedia bersabar menjalani sekitar 150 menit film ini. Dari luar kita akan melihat keindahan gambar yang memperlihatkan bentangan alam Turki yang indah namun kelam. Dari dalam kita akan diajak mengobservasi dongeng hingga karakternya hingga titik yang cukup dalam. Pada jadinya kesimpulan wacana dongeng dan karakternya memang akan terserah interpretasi masing-masing penonton. Apa kandungan film ini? Apakah kebenaran sesungguhnya dari masalah pembunuhan tersebut? Bagaimanakah bergotong-royong sosok positif dari masing-masing huruf yang ada? Yang saya lihat dari film ini yaitu bahwa kebenaran punya banyak sekali macam sisi yang mengelilingi, dan pada jadinya entah sebuah perbuatan itu benar atau salah tidak ada yang tahu niscaya alasannya semua hal niscaya ada alasan dibaliknya yang belum tentu diketahui oleh orang lain.
Ini Lho Once Upon A Time In Anatolia (2011)
4/
5
Oleh
news flash