Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho Soegija (2012)

Tanggal 8 Juni 2012 kemudian untuk pertama kalinya saya mencicipi perasaan senang walaupun gagal mendapat tiket film yang akan saya tonton di bioskop. Pada hari itu tiket untuk film Soegija sudah habis terjual padahal jam abru mengatakan pukul 2 siang. Mungkin tidak akan mengagetkan untuk film Hollywood macam The Avengers, tapi untuk sebuah film Indonesia apalagi yang disutradarai oleh Garin Nugroho yang karya-karyanya selama ini sulit diterima penonton Indonesia, pemandangan itu cukup mengejutkan sekaligus juga menyenangkan. Senang rasanya penonton berbondong-bondong menonton film ini walaupun disaat bersamaan ada film-film kacrut macam Kakek Cangkul dan Mr. Bean Kesurupan Depe yang biasanya dan sayangnya selalu memenangkan persaingan melawan film-film berkualitas untuk ukuran penjualan tiket. Saya ingat terperinci bagaimana Modus Anomali kalah bersaing dengan Nenek Gayung atau ketika Lovely Man bertahan tidak hingga dua ahad di bioskop. Filmnya sendiri sempat menuai kontroversi alasannya ialah dituduh melaksanakan upaya Kristenisasi. Bah, saya tidak peduli dengan kontroversi tersebut. Meskipun benar Soegija ialah Kristenisasi kemudian kenapa? Saya sendiri ialah Muslim dan bagi saya problem keimanan tiap individu ialah problem mereka masing-masing. 

Jikalau ada yang hingga berubah keyakinan alasannya ialah sebuah film ya bukan salah filmnya, kecuali jikalau dalam film itu ada sebuah subliminal atau apalah yang bisa "menghipnotis" para penontonnya. Apa hanya alasannya ialah Indonesia diisi mayoritas Islam sehingga Agama lain dihentikan berdakwah juga? Ah sudahlah masa terbelakang dengan segala gosip tersebut. Saya lebih tertarik membahas Soegija yang merupakan film kedua Garin Nugroho di 2012 ini. Saya sangat menyesal tidak sempat menonton Mata Tertutup yang di Yogyakarta hanya bertahan tidak hingga seminggu. Padahal saya sangat tertarik dengan gosip yang diangkat. Tapi tentu saja proyek 12 Miliar dari Garin ini juga sangat menarik. Setelah sebelumnya biopic Ahmad Dahlan di Sang Pencerah sangat memuaskan, maka niscaya akan jadi warna gres jikalau muncul biopic yang mengisahkan wacana pemuka Agama lainnya dalam hal ini ialah Albertus Soegijapranata yang merupakan uskup pribumi pertama. Saya sendiri gres pertama kali mendengar nama Soegija sehabis bahan promosi film ini rilis. Filmnya sendiri berlokasi pada tahun 1940-1949. Saat itu ialah masa transisi yang berat bagi Indonesia dimana bangsa ini harus berganti masa dari penjajahan Belanda, kemudian Jepang, kemudian sehabis merdeka masih harus menghadapi pasukan Belanda yang masih belum rela melepas wilayah jajahannya ini.

Meski bertajuk biopic wacana Soegija, tapi film ini tidak melulu bicara soal Soegija. Justru subplot yang ada seringkali berjalan dengan lebih mayoritas dan mendalam ibarat kisah seorang gadis pribumi berjulukan Mariyem yang harus menghadapi kerasnya hidup di masa perang tersebut dimana ia menjadi seorang perawat dan disisi lain harus terlibat sebuah kisah cinta dengan seorang jurnalis asal Belanda yang tentunya menjadi dilema tersendiri. Masih banyak sub kisah lainnya yang dihadirkan disini. Yang terperinci sangat terlihat bahwa Soegija ialah sebuah film wacana kemanusiaan dan perbedaan-perbedaan yang terjadi di bangsa ini. Bagaimana seharusnya perbedaan itu tidaklah menjadi alasan untuk saling membenci dan menyakiti. Jika yang dijadikan sasaran utama ialah itu, maka film ini ialah film yang baik. Tapi patut diingat bahwa film ini mengatasnamakan dirinya sebagai sebuah kisah yang menceritakan wacana Albertus Soegijapranata, sebuah biopic bagi beliau. Apa yang penonton atau setidaknya saya dalam sebuah biopic ialah sebuah pengetahuan gres wacana seorang tokoh yang difilmkan tersebut. Sang Pencerah ialah biopic yang anggun alasannya ialah selain menghantarkan konfliknya dengan baik, penonton diajak menyelami banyak sekali sisi lain Ahmad Dahlan dan saya sendiri mendapat banyak pengetahuan baru.
Sedangkan disini, selain tahu bahwa Soegija ialah uskup orisinil Indonesia yang pertama, tidak banyak pengetahuan lain yang saya sanggup khususnya yang berafiliasi dengan usaha dia pada masa perang. Memang ada beberapa tapi itu bukanlah yang menarik dan tidak butuh sebuah fiilm berdurasi hampir dua jam untuk merangkumnya. Pendekatan Garin yang lebih menentukan menyoroti hanya pada rentang tidak hingga satu dekade itulah yang jadi penyebabnya. Andaikan film ini menyoroti lebih jauh wacana hidup Soegija misalkan dari masa dia kecil hingga menjadi uskup kemudian diselingi masa perang saya yakin akan jauh lebih baik. Saya rasa keengganan mengakibatkan film ini terasa nuansa Kristen yang sangat berpengaruh menjadi alasan pemilihan model penceritaan begini. Pilihan yang tidak keliru tapi bagi saya sangat mubadzir sekali hal ini dilakukan.Tapi tentu saja jikalau hal ini dilakukan kontroversi bisa saja membesar dan biaya 12 miliar itu bisa saja terbuang percuma alasannya ialah film ini berpotensi diancam untuk dicekal oleh you know who. Sayangnya lagi, meski melaksanakan pendekatan kisahnya lewat karakter-karakter lain, tetap saja saya merasa kisahnya kurang dalam meski tidak dangkal juga. Hanya saja untuk ukuran filmnya Garin, makna yang ada dalam kisahnya kurang mengena.
Tapi toh tidak adil juga jikalau menilai film ini jelek hanya alasannya ialah saya merasa Soegija kalah superior dibanding film Garin yang lain. Cara bertutur yang lebih sederhana dibanding dengan filmnya yang lain menciptakan film ini lebih gampang dinikmati. Pada dasarnya jalinan kisahnya meski sering terasa kurang dalam masih tetap termasuk yummy dan menarik diikuti. Meski begitu di beberapa cuilan masih ada suasana unik khas Garin Nugroho yang menciptakan film ini tetap khas miliknya. Tapi ada satu adegan dengan nuansa surealis yang sedikit mengganggu yaitu ketika momen perang yang mana ditampilkan sosok seorang laki-laki bersenandung wacana perang yang meletus. Saya rasa tidak perlulah adegan unik khas Garin tersebut muncul di film yang formatnya linear dan realis ibarat ini. Namun momen unik lain yang menarik dan bisa diterima toh juga ada ibarat kemunculan cameo dari Marwoto yang bisa mengundang tawa. Untuk urusan mengundang tawa, film ini juga cukup hebat menyelipkan unsur komedi khususnya dari tokoh Toegimin yang diperankan Butet Kertarejasa.

Meski dari kisahnya kurang maksimal, untuk segi visual film ini pertanda bujet raksasanya digunakan dengan maksimal. Lihatlah set yang luar biasa dalam menampilkan pemandangan serta suasana Indonesia pada masa itu. Begitu maksimal dan terasa sangat realistis. Adegan perang juga ditampilkan dengan baik meski tidak mayoritas muncul. Meski berlatar perang, film ini memang tidak "berisik" dalam menghadirkan adegan perangnya alasannya ialah memang bukan perangnya yang jadi sorotan utama tapi tema kemanusiaan dan persamaan ialah yang utama. Untuk urusan persamaan, saya sangat suka dengan karakterisasi beberapa tokoh non pribumi baik itu dari Jepang ataupun Belanda. Mereka ditampilkan memang kejam tapi tidak kehilangan unsur kemanusiaan masing-masing. Kita akan sadar bahwa mereka semua yang ada dalam film ini ialah insan biasa dengan pernak perniknya masing-masing.

Pada hasilnya saya tetap tidak tahu banyak dan detail mengenai siapa dan bagaimana bersama-sama sosok Soegija itu. Ideologi dan perjuangannya lewat diplomasi bisa sedikit terbaca tapi terperinci tidak ditampilkan dalam porsi yang memuaskan. Karakterisasinya juga tidak terlalu menarik untuk disaksikan, entah kenapa spirit yang harusnya muncul dari figur ini kurang terasa bagi saya. Meski begitu jikalau melupakan bahwa ini ialah biopic yang kurang bercerita banyak wacana tokoh utamanya, maka Soegija ialah sebuah film dengan latar usaha yang menarik untuk diikuti. Meski tidak bisa menyajikan kisahnya dengan lebih mendalam, tetap saja banyak sekali konfliknya yummy ditonton. Visualnya sangat memikat dan disajikan dengan maksimal. Nuansa Kristen terperinci akan terasa dan bagi saya itu ialah keunikan tersendiri alasannya ialah jarang film Indonesia yang mengambil pendekatan suasana semacam itu. Jika anda ialah orang yang berpegang teguh bahwa sebuah biopic harus total menceritakan pernak-pernik tokoh dalam judulnya maka film ini akan mengecewakan. Tapi jikalau anda tidak terlalu problem dengan hal tersebut, maka Soegija akan bisa menghibur anda. Satu hal yang niscaya menonton film ini tidak akan hingga menciptakan penontonnya berpindah kepercayaan. 

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Soegija (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email