Friday, January 11, 2019

Ini Lho Philomena (2013)

Film ke-21 dari sutradara Stephen Frears yang dulu sempat mempersembahkan komedi romantis klasik berjudul High Fidelity ini berhasil meraih begitu banyak nominasi dan penghargaan. Empat nominasi Oscar termasuk Best Picture, empat nominasi juga di BAFTA kali ini dengan kemenangan di kategori Best Adapted Screnplay untuk naskah yang ditulis Steve Coogan dan Jeff Pope, hingga kesuksesan besar di Venice Film Festival dengan 9 piala ternasuk naskah terbaik menyebabkan Philomena menjadi salah satu film terbaik dari Britania Raya tahun 2013 lalu. Dengan mengandalkan dua pemain film besar dari Inggris sebagai pemeran utama yakni Steve Coogan (sekaligus penulis naskah) dan Judi Dench sang aktris senior, Philomena sendiri yaitu sebuah film yang diangkat dari kisah kasatmata dari seorang perempuan berjulukan Philomena Lee dalam usahanya mencari puteranya yang telah terpisah darinya selama 50 tahun. Kisah tersebut kemudian dituliskan kedalam sebuah buku berjudul The Lost Child of Philomena Lee oleh wartawan BBC berjulukan Martin Sixsmith. Naskah yang ditulis oleh Coogan dan Pope sendiri merupakan pembiasaan dari buku tersebut dengan sedikit penambahan sebagai bumbu.

Philomena akan memperkenalkan kita pribadi pada kedua huruf utamanya, Martin (Steve Coogan) dan Philomena sendiri (Judi Dench). Martin yaitu mantan wartawan BBC yang gres saja kehilangan pekerjaannya sebagai penasihat pemerintahan dan sekarang sedang berniat untuk menulis buku ihwal sejarah Russia. Tapi segala rencananya tersebut berubah ketika takdir mempertemukannya dengan Philomena Lee, seorang perempuan renta penganut Kristen yang taat dari Irlandia. Philomena sendiri gres saja membuka belakang layar besar yang selama ini telah ia simpan rapat-rapat selama 50 tahun kepada puterinya. Selama ini Philomena ternyata memiliki seorang putera yang ia sanggup dari sebuah korelasi "terlarang". Karena merasa hal itu yaitu sebuah aib, sang ayah pun mengirim Philomena ke sebuah ruah penampungan yang diurus oleh para Suster. Disana Philomena bekerja sebagai tukang basuh dan selalu dibatasi dan dipersulit untuk bertemu dengan puteranya yang masih balita. Tidak hanya Philomena, alasannya yaitu ada banyak ibu-ibu muda lain yang harus bekerja disana sementara anak-anak mereka dijauhkan dan dirawat oleh para suster, menunggu kedatangan orang kaya untuk membeli anak-anak tersebut. Berawal dari legalisasi belakang layar inilah perjalanan Philomena bersama Martin untuk mencari puteranya yang hilang dimulai.
Saya menonton film ini tanpa tahu apapun mengenai latar belakang kisahnya. Saya tidak tahu siapa itu Philomena (bahkan aku tidak tahu jikalau judul filmnya yaitu nama huruf utamanya) dan aku juga tidak tahu masalah macam apa yang menimpanya. Pada awalnya aku pun sempat menerka bahwa Philomena akan menjadi sebuah drama yang berjalan lambat dan sedikit membosankan alasannya yaitu banyak diisi interaksi dua huruf utaanya yang salah satunya sudah berusia diatas 80 tahun. Tapi semuanya berubah dan jadi semakin menarik disaat topik yang bersinggungan dengan agama mulai merangsek masuk. Film ini menarik perhatian aku ketika mulai mengangkat kontroversi yang terjadi diantara para suster itu. Saya pribadi termasuk orang yang amat membenci orang-orang bermoral bejat yang mengatas namakan agama dalam agresi mereka dan bertingkah sok suci dengan membenarkan segala perbuatan mereka dengan alasan menegakkan agama. Ya, secara personal aku sanagt membenci orang-orang busuk menyerupai itu. Dalam film ini kita akan melihat para suster yang sekilas benar-benar taat pada pedoman Kristen tapi mereka justru melaksanakan hal yang sama dengan perbudakan bahkan jual beli anak di bawah umur. Dengan isu yang diangkat itu, film ini sukse menciptakan aku geram dan bersumpah serapah atas segala perbuatan busuk yang ada. Tapi meskipun menyebabkan Kristen dan para suster sebagai sorotan utama, Philomena  tetap terasa universal alasannya yaitu di agama-agama lain pun aku menjumpai isu yang serupa.
Banyak kritikus dan pihak-pihak lain yang mengkritisi film ini alasannya yaitu dianggap anti-Katolik, tapi aku sendiri tidak setuju. Bagi aku ini lebih kepada teriakan penuh amarah yang juga ingin aku keluarkan terhadap penyalah gunaan agama disertai dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan bandel yang tersurat dalam beberapa dialognya ihwal pedoman agama dan Tuhan itu sendiri. Tapi aku tidak pernah merasa film ini anti terhadap agama. Buktinya ada di sosok Philomena itu sendiri. Dari awal hingga final kita diperlihatkan pada Philomena yang polos dan begitu taat pada pedoman agama.Sedangkan Martin yaitu sosok yang berlawanan, yaitu seorang laki-laki yang bicara semaunya dan kurang simpati dan tidak percaya pada agama maupun Tuhan. Jika film ini anti-Katolik gampang saja menciptakan sosok Martin sebagai sosok yang "benar" dan Philomena yaitu orang "bodoh" alasannya yaitu ketaatan yang ia tunjukkan. Tapi itu sama sekali tidak terlihat. Yang ada justru interaksi menarik antara dua sosok yang bertolak belakang tersebut. Kita akan melihat bagaimana keduanya perlahan saling mengisi dan berguru banyak dari perbedaan yang melahirkan perspektif gres itu. Interaksi antara mereka berdua pun diisi oleh aneka macam selipan komedi menggelitik yang bisa menyegarkan suasana ditengah kisah dramatis nan mengharukan ini.

Philomena juga berhasil menjadi sebuah film yang begitu emsional. Tidak hanya bisa menghadirkan momen mengharukan lengkap dengan iringan musik melankolis, film ini berhasil melaksanakan yang lebih dengan menaik turunkan emosi saya. Rasa haru, murka hingga bahagia muncul secara bergantian dengan begitu cepat. Selain itu bagi orang-orang menyerupai aku yang tidak tahu menahu ihwal kasusnya sebelum menonton film ini akan ada "bonus" berupa sebuah twist yang tak terduga dan begitu mengharukan. Semuanya juga ditunjang oleh akting memukai serta chemistry kuat dari Judi Dench dan Steve Coogan. Hampir menginjak 80 tahun ternyata tidak menciptakan Judi Dench kehilangan kemampuannya dalam mneghadirkan emosi-emosi yang begitu besar lengan berkuasa meski hanya lewat verbal atau obrolan yang sederhana Sedangkan Steve Coogan berhasil mengesampingkan sisi komedinya dan berhasil menjadi sosok Martin yang anti terhadap hal-hal berbau agama dan berlidah tajam tanpa perlu terasa menyebalkan. Dari sosok Martin pula film ini sedikit mengangkat keburukan dari para pemburu info yang seringkali tidak memperhatikan perasaan dari narasumber yang ada dan hanya memikirkan info yang ia kejar. Hal itu pun makin memeprkaya dongeng dari Philomena dan makin mengukuhkan film ini sebagai sebuah film yang begitu besar lengan berkuasa baik dari aspek dongeng maupun emosi yang dibangun. Semuanya tersaji dengan begitu baik lengkap dengan pemandnagan indah Irlandia yang menyejukkan.

Artikel Terkait

Ini Lho Philomena (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email