Friday, January 11, 2019

Ini Lho Why Don't You Play In Hell? (2013)

Saya suka Sion Sono dengan segala kegilaan dan plot dongeng kompleks penuh misteri dalam film-filmnya. Saya belum pernah menonton film dramanya macam Land of Hope atau Himizu, tapi saya sangat menyukai kegilaan dan surealisme yang dihadirkan Sion Sono dalam film-film macam Suicide Circle, Noriko's Dinner Table, Cold Fish hingga Strange Circus. Karena itulah dikala ia merilis film terbaru dengan judul "sangar" yaitu Why Don't You Play in Hell? saya antusias menunggunya. Film yang berasal dari naskah usang milik Sono yang ditulis tahun 1987 ini juga berhasil mendapat banyak sekali prestasi di festival-festival film internasional termasuk menang di seksi Midnight Madness pada ajang Toronto Internasional Film Festival tahun 2013 lalu. Seksi Midnight Madness sendiri selalu memunculkan film-film absurd dan brutal sebagai pemenangnya termasuk The Raid pada tahun 2011 lalu, yang makin membuat rasa ingin tau saya pada film ini semakin besar. Apalagi Sion Sono sempat menyebut bahwa film ini memiliki persamaan dengan Kill Bill-nya Tarantino. Tapi saya sama sekali tidak mengira bahwa Why Don't You Play in Hell? tidak saja brutal tapi penuh dengan komedi-komedi yang tidak kalah gila.

Film ini awalnya bercerita wacana Hirata (Hiroki Hasegawa), seorang cukup umur yang memiliki obsesi sebagai sutradara film. Bersama tiga temannya, Hirata tergabung dalam sebuah klub penggila film berjulukan The Fuck Bombers yang kegiatannya diisi dengan membuat film-film indie dengan peralatan dua kamera video sederhana. Mereka bersumpah suatu hari nanti akan membuat sebuah film masterpiece meskipun harus bertaruh nyawa untuk membuatnya. Namun semuanya tetap belum membuahkan hasil bahkan hingga 10 tahun kemudian. Disisi lain kita juga akan diajak melihat kisah perseteruan antara dua kelompok Yakuza yang dipimpin oleh Muto (Jun Kunimura) dan Ikegami (Shinichi Tsutsumi). Semuanya dimulai dikala Ikegami dan anak buahnya menyerang rumah Muto tapi yang ada hanya Shizue (Tomochika), istri dari Muto. Terjadilah pembantaian disana dikala Shizue membunuh anak buah Ikegami secara brutal dan membuatnya dipenjara selama 10 tahun. Ikegami yang berhasil selamat ternyata jatuh cinta pada puteri Muto, Michiko (Fumi Nikaido) yang pada masa kecilnya populer sebagai bintang iklan pasta gigi. Perseteruan tersebut terus bertahan hingga 10 tahun kemudian disaat Ikegami berhasrat untuk mendapat Michiko yang sekarang berusaha mengejar mimpinya sebagai aktris film.

Pada balasannya dua kisah yang awalnya terasa jauh berbeda itu akan bertemu menjadi satu dan membuat sebuah titik puncak yang luar biasa gila. Tapi diluar kegilaan di klimaksnya saya cukup terkejut melihat bagaimana Why Don't You Play in Hell? dikemas. Saya memang belum terlalu banyak menonton film-film dari Sion Sono, tapi dari empat filmnya yang sudah saya tonton, di samping punya gore yang melimpah, film-film tersebut juga punya aura yang kelam. Jikalau ada komedi, itu niscaya komedi-komedi gelap. Tapi film terbarunya ini terasa begitu berbeda dengan banyaknya komedi konyol yang abstrak dan mengingatkan pada film-film kelas B dari Jepang macam Tokyo Gore Police hingga The Machine Girl yang menggabungkan banjir darah dengan hal-hal tolol sebagai komedinya. Saya sendiri terkejut mendapati bahwa film ini ternyata merupakan sebuah B-Movie sejati yang sama sekali tidak punya kesan serius pada penyampaiannya meski tentu saja Sion Sono serius dalam proses pembuatannya. Awalnya saya sedikit kecewa mendapati sutradara yang saya kenal lewat film-film dengan dongeng cerdas nan kompleks macam Suicide Circle ini malah membuat film eksploitasi konyol menyerupai ini. Tapi sehabis saya sepenuhnya sadar dari keterkejutan itu, saya perlahan mulai sadar bahwa kemasan "ngawur" dalam film ini sangat sesuai dengan tema dan semangat yang diangkat dalam ceritanya.
Cerita yang ada dalam film ini memang luar biasa abstrak kalau tidak mau dibilang ngawur. Ada dongeng wacana Yakuza yang menentukan berganti gaya dengan menggunakan kimono dan tinggal di kastil zaman dulu dimana sang bos jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis kecil (pedofil?) hingga proses pembuatan film tergila yang pernah ada dalam film dan mengakibatkan Why Don't You Play in Hell? menjadi sebuah film dalam film. Kaprikornus bab mana yang sesuai dengan pengemasan film ini sebagai b-movie? Jawabannya yaitu semangat tingkat tinggi dan sebuah proses bersenang-senang. Hirata dan kawan-kawannya punya kecintaan luar biasa pada film dan setiap proses syuting yang mereka lakukan dilakukan dengan senang-senang meskipun penuh keterbatasan. Mungkin Sion Sono memang sedang ingin bersenang-senang dan tidak ingin terlalu pusing dalam membuat filmnya, dan rasa itu terpancar terang dalam filmnya. Sono juga menyinggung soal mulai dilupakannya hal-hal "jadul" yang gotong royong punya peranan penting semisal film 35mm hingga kimono sebagai pakaian watak Jepang disaat orang-orang mulai lebih banyak berkiblat pada setelan jas layaknya bangsa barat. Bahkan Yakuza yang "sangat Jepang" pun berdandan layaknya gangster barat.

Memang ada beberapa hal yang terasa kurang dimaksimalkan hingga tidak menunjukkan pengaruh yang maksimal pada penonton menyerupai persahabatan Hirata dan kawan-kawannya hingga kisah cinta Koji dan Michiko. Semuanya seolah hanya menjadi tempelan belaka. Tapi semuanya terbayar lewat segala kegilaan yang diberikan Sion Sono. Komedinya menyerupai yang sudah saya sebutkan begitu ndeso tapi dalam artian positif. Saya berhasil dibentuk tertawa beberapa kali oleh kebodohan-kebodohan yang ada mulai dari situasi tidak masuk nalar hingga karakter-karakternya yang sangat gila. Lalu jikalau membicarakan soal gore-nya, Sion Sono sudah menumpahkan banyak darah sedari awal, tapi semua tidak ada apa-apanya jikalau dibandingkan klimaksnya yang menampilkan pertempuran dua geng Yakuza dalam sebuah rumah. Klimaks tersebut dihiasi bergalon-galon darah, kepingan badan yang terburai, terpotong, tertusuk dan masih banyak lagi. Yang lebih absurd yaitu adegan tersebut dijadikan proses syuting film lengkap dengan banyak sekali peralatan syuting di dalamnya serta sutradara yang mengarahkan semuanya. Sinting! Adegan ini juga mengingatkan saya pada pertarungan The Bride melawan Crazy 88 di Kill Bill baik dari setting, kebrutalan, hingga penggunaan pedang sebagai senjatanya. Secara keseluruhan Why Don't You Play in Hell yaitu film absurd yang amat sangat menyenangkan meski segala ketololan yang ada mungkin akan mengganggu beberapa kalangan penonton.

Artikel Terkait

Ini Lho Why Don't You Play In Hell? (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email