Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho Real Fiction (2000)

Pada film keempatnya ini, Kim Ki-duk melaksanakan sebuah eksperimen dalam proses pembuatannya. Real Fiction memang dikenal alasannya yakni dongeng unik yang terjadi dikala proses syuting dimana film ini dibentuk tanpa adanya retake dan secara real time. Proses tersebut dilakukan sehabis berjam-jam melaksanakan rehearsal. Pada jadinya Ki-duk menempatkan beberapa kamera termasuk kamera yang statis di beberapa lokasi sehingga film ini terlihat seolah sedang menangkap insiden faktual yang tengah terjadi. Format real time dan tidak adanya pengambilan gambar ulang terperinci menjadi sebuah tantangan tersendiri khususnya bagi para bintang film dan aktrisnya yang benar-benar harus hidup dalam jalan dongeng film ini dan lebih ibarat mirip sedang mementaskan drama teater dibandingkan melaksanakan syuting film. Dengan dibantu beberapa sutradara dan kru, Ki-duk pada jadinya berhasil menciptakan sebuah karya eksperimental ini. Tapi masalahnya setiap karya eksperimental belum tentu berhasil dengan baik. Pertanyaannya apakah Real Fiction masuk dalam daftar eksperimen yang gagal atau berhasil?

Film ini berkisah wacana seorang pelukis foto wajah jalanan yang harus bersusah payah untuk bisa bertahan hidup sebagai seorang seniman. Karyanya tidak pernah dihargai baik itu oleh para konsumen ataupun oleh pihak agensi. Bahkan di daerah biasa bekerja, diapun masih harus menerima gangguan dari para preman tukang palak yang selalu menagih uang darinya dan para pedagang lain. Sampai kemudian ia bertemu dengan seorang perempuan yang terus-terusan merekam aktifitasnya dari dekat. Sang pelukis ini jadinya mengikuti kemana sang perempuan pergi, dimana mereka menuju sebuah daerah ibarat panggung teater. Disana sang pelukis bertemu laki-laki misterius yang menjadi citra sisi lain atau bisa dibilang kata hati dirinya. Disana ia disadarkan wacana orang-orang yang pernah dan sedang menyakiti perasaannya. Dari pertemuannya dengan kata hatinya itulah sang pelukis pada jadinya melaksanakan sebuah "penghukuman" bagi mereka yang telah menyakiti dan merusak hidupnya selama ini.

Bicara soal segi teknis berkaitan dengan proses syutingnya yang eksperimental tersebut, Kim Ki-duk patut menerima apresiasi tinggi. Jika sebelum menonton film ini saya tidak tahu kisah dibalik pembuatannya atau kalau saya tidak jeli dikala menonton mungkin saya tidak akan sadar bahwa film ini dibentuk tanpa retake. Tapi kalau anda jeli mengamati akan terlihat beberapa orang yang tidak sadar bahwa sedang ada syuting film kemudian menutupi pandangan kamera, kemudian kemudian muncul satu orang yang kemungkinan yakni kru mencoba menarik beberapa orang itu menyingkir dari sana. Sebuah pemandangan menarik alasannya yakni proses tersebut berjalan dengan lancar. Dengan teknik ibarat ini untungnya para pemainnya bisa tampil maksimal dan menunjukkan lisan serta emosi yang bisa membangun suasana film, khususnya dari Ju Jin-mo yang memerankan abjad pelukis. Kita pada jadinya akan melihat sebuah akting yang lebih akrab dengan pementasan teater daripada akting dalam film dikarenakan teknik pengambilan gambar tersebut. Penggunaan teknik tanpa retake ini sebetulnya juga cukup besar lengan berkuasa pada beberapa adegan semisal adegan pembunuhan yang tidak kesemuanya bisa diperlihatkan secara gamblang alasannya yakni keterbtasan teknik tersebut.
Tapi bagaimana dengan sisi dongeng yang biasanya jadi andalan Kim Ki-duk? Ironisnya disaat teknik pembuatan filmnya eksperimental, kisah yang ditampilkan dalam Real Fiction jauh dari kesan unik ibarat yang biasa dijumpai dalam film-film Ki-duk. Bahkan untuk ukuran film-film biasa, alur yang ditampilkan dalam film ini termasuk standar meski masih menempatkan beberapa porsi sureal didalamnya. Tidak ada yang Istimewa dari ceritanya, dimana kita hanya akan diajak melihat si tokoh utama membunuh satu demi satu orang yang menjadi "musuhnya". Semua itu ditampilkan secara biasa saja tanpa ada inovasi. Plotnya hanya menunjukkan sang tokoh membunuh satu orang, kemudian berpindah ke daerah lain untuk membunuh orang berikutnya dan seterusnya hanya ibarat itu. Untuk ukuran sebuah film bertema vengeance film ini punya jalan dongeng yang jauh dari kesan spesial, bahkan yang lebih terasa justru aroma slasher. Seperti biasa masih ada konten seksual dan kekerasan dalam film Ki-duk yang satu ini, dan itu juga salah satu poin yang menciptakan saya tetap tertarik mengikuti agresi balas dendam yang sebetulnya kurang menarik ini.

Metafora yang dimasukkan Ki-duk dalam Real Fiction juga bukanlah suatu hal yang akan menciptakan penonton berpikir terlalu keras alasannya yakni semuanya biasa saja. Bahkan sebuah twist ending yang ditampilkan juga sudah termasuk bau kalau dilihat dari beling mata penonton sekarang. Ya, ibarat judulnya ini yakni sebuah kisah yang dalam universe filmnya sendiri berupa fiksi namun juga berupa kenyataan wacana bagaimana seseorang berhasrat membalas dendam atas segala rasa sakit yang ia terima dari orang lain. Mungkin orang itu tidak berani membalas dendam tersebut, tapi jauh didalam hatinya niscaya ada dorongan untuk membalasnya dengan cara terekstrim sekalipun yaitu membunuh. Lalu muncul pertanyaan mengenai siapakah sosok perempuan yang terus menerus merekam gerak sang pelukis? Pertanyaan itu memunculkan interpretasi bahwa film ini juga menjadi citra sosok Kim Ki-duk sendiri. Ki-duk bisa disamakan dengan sosok sang pelukis, yakni seorang seniman yang bekerja dengan gayanya namun sering menerima reaksi negatif baik dari kritikus, media hingga penonton sekalipun tidak jarang yang mencelanya. Berbagai jawaban miring wacana karyanya seringkali terdengar. Berkaitan dengan interpretasi itu bisa saja sang perempuan yakni citra dari pihak media masa yang selalu merekam dan mengikuti gerak-gerik Ki-duk apapun yang ia lakukan untuk mengetahui baik jelek dari dirinya, yang mana itu menciptakan Ki-duk gerah.

Pada jadinya Real Fiction memang yakni salah satu karya paling eksperimental dari Kim Ki-duk hingga dikala ini, bahkan mungkin salah satu karya eksperimental dari dunia perfilman. Meski punya hasil simpulan yang tidak bisa dibilang luar biasa salah satunya terkait dengan jalan ceritanya yang terlalu sederhana dan tidak punya bobot ibarat film-film sang sutradara lainnya, saya masih tetap bisa menikmati filmnya, toh saya juga bisa menikmati film-film slasher yang juga hanya asal bunuh. Overall bukan salah satu karya Ki-duk favorit saya tapi masih sebuah film yang memuaskan.


Artikel Terkait

Ini Lho Real Fiction (2000)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email