Mengawali karir sebagai aktris yang angkat nama lewat film-film menyerupai Dawn of the Dead, eXistenZ hingga My Life Without Me, Sarah Polley sekarang mulai mematenkan namanya sebagai salah satu sutradara yang patut diperhitungkan. Dua film yang disutradarainya yakni Away from Her dan Take This Waltz berhasil menerima jawaban sangat baik dari para kritikus. Bahkan naskah pembiasaan yang ia tulis dalam Away from Her menerima nominasi Oscar. Setelah berhasil lewat dua drama tersebut, Polley menentukan untuk menyutradarai sebuah film dokumenter sebagai karya ketiganya. Yang menarik dari dokumenter ini yakni bahan yang diangkat merupakan rangkuman kehidupan pribadi Polley sendiri. Stories We Tell mengajak kita untuk menelusuri relasi yang terjadi antara kedua orang renta Sarah Polley termasuk perjuangan yang ia lakukan untuk mengungkap sebuah diam-diam besar mengenai jati diri ayah kandungnya. Yang menarik bahwasanya kisah tersebut sudah diketahui oleh beberapa jurnalis, namun mereka menentukan tidak mempublikasikan kisah tersebut untuk menghormati Polley hingga ia siap untuk menuturkan kisah itu lewat caranya sendiri.
Stories We Tell memulai kisahnya dikala kedua orang renta Polley yang sama-sama pelakon teater yakni Michael Polley dan Diane Elizabeth pertama kali bertemu dan saling jatuh cinta. Kemudian narasinya akan berjalan disaat satu per satu dari anggota keluarga Sarah Polley beserta kerabat-kerabat lain dari kedua orang tuanya mulai bercerita perihal sosok sang ibu yang telah meninggal dikala Sarah berusia 11 tahun. Dari situlah perlahan kita mulai mempelajari bagaimana sosok dan kepribadian kedua orang renta Sarah, bagaimana ijab kabul mereka berjalan, hingga pada karenanya kita hingga pada penelusuran mengenai misteri siapa bahwasanya ayah kandung dari Sarah Polley. Film ini mengajak kita untuk mendengarkan dongeng yang dituturkan oleh masing-masing narasumber sambil sesekali menyuguhkan rekonstruksi dari ceritanya yang dikemas dengan menarik. Adegan rekonstruksi tersebut terasa sangat menarik alasannya Sarah Polley menentukan mengambil gambarnya dengan kamera Super-8 yang membuatnya terasa menyerupai footage sungguhan. Pengemasan setting lokasi, kostum dan tata make-up untuk para bintang film dan aktrisnya makin membuat rekonstruksi tersebut serasa nyata. Saya seolah diajak untuk melihat secara eksklusif bencana yang diceritakan oleh narasumbernya.
Banyak aspek yang tergali oleh film ini. Sara Polley sendiri menyatakan bahwa salah satu tujuan filmnya yakni untuk mengeksplorasi memori dari masing-masing narasumber. Film ini memposisikan semua narasumbernya setara tanpa memihak dan condong kearah salah satunya tidak peduli siapa narasumber tersebut. Dari situlah kita diajak untuk mengamati bagaimana memori bahkan perspektif seseorang akan begitu besar lengan berkuasa pada dongeng yang mereka tuturkan. Hal ini membuat setiap narasumbernya mempunyai versi dongeng mereka masing-masing. Masing-masing dari mereka tiba dengan kisah yang bisa jadi sama atau bahkan sama sekali berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh memori yang tertanam dalam diri mereka dan perspektif mereka akan permasalahan yang tengah dibahas. Bisa jadi pandangan mereka terhadap suatu hal dibuat bukan hanya alasannya fakta yang mereka tahu namun juga dipengaruhi oleh bias mereka terhadap seseorang yang menjadi sentral permasalahan tersebut. Hal itu mampu membuat perbedan meski hanya sedikit dalam masing-masing dongeng yang muncul, dan hal itulah yang terus membuat film ini menarik meski ktia hanya diajak mendengarkan dongeng yang keluar dari verbal narasumber.
Dalam film ini juga kita diajak untuk melihat suatu ironi bahwa meskipun seseorang begitu bersahabat dengan orang lain, bahkan walaupun mereka tinggal bersama dan selalu bertemu setiap harinya, mereka bisa saja tidak mengenal secara mendalam antara satu sama lain. Mungkin mereka tahu kebiasaan yang nampak, mereka tahu makanan kesukaan satu dan yang lain, namun belum tentu mereka tahu apa yang ada di dalam benak lainnya. Hingga pada karenanya seseorang bisa salah menginterpretasikan sikap ataupun perasaan yang tengah dirasakan orang lain itu, padahal raga mereka begitu dekat. Penelusuran akan hal-hal tersebut jugalah yang membuat film ini menarik. Tapi salah satu daya tarik utama dari narasinya yakni keberadaan misteri yang diungkap faktanya secara perlahan disini. Fakta-fakta yang tersimpan begitu rapih tersebut bisa membuat saya terkejut dikala tiba waktunya hal tersebut diungkapkan. Kita diajak berada dalam posisi Sarah Polley dan narasumber lainnya dikala mereka juga begitu terkejut mendengar banyak sekali fakta tersembunyi yang mengiringi kisah kehidupan keluarga Polley.
Tapi sayangnya daya tarik dari film ini semakin menurun di paruh akhir, tepatnya disaat sudah tidak ada lagi misteri yang disembunyikan oleh kisahnya. Pada bab disaat tidak ada lagi misteri seharusnya penonton diajak untuk mulai memperlihatkan simpati dan merasa tersentuh dengan kisahnya, disaat orang-orang yang terlibat mulai mengetahui fakta yang sesungguhnya. Tapi yang terjadi yakni Stories We Tell semakin terasa sebagai sebuah tontonan personal bagi Sarah Polley dan keluarganya. Bukan sebuah hal jelek menyajikan karya yang begitu personal, malah itu bisa menjadi sebuah karya yang sangat baik alasannya sang sutradara paham benar akan bahan yang disajikan. Tapi yang terjadi dalam paruh simpulan Stories We Tell yakni sebuah film yang terlalu personal dan seolah Sarah Polley tidak lagi terlalu mempedulikan penonton selain mereka yang terlibat dalam kasus tersebut. Mungkin saja hal ini bisa berhasil andaikan Stories We Tell mampu mengikat saya pada orang-orang yang terlibat lebih kuat daripada film ini membuat saya terikat akan misterinya. Terasa begitu menarik diawal, terasa membosankan menjelang akhir, namun Stories We Tell tetap sebuah dokumenter yang memuaskan. Setidaknya meski paruh karenanya kurang menarik, sebuah adegan yang menjadi epilog film ini terasa berkesan dan membuat saya tertawa lepas.
Ini Lho Stories We Tell (2012)
4/
5
Oleh
news flash