Sebagai sutradara yang dalam filmnya sering terdapat unsur mengenai alam, budaya hingga hal-hal religius, tidak mengherankan kalau seorang Kim Ki-duk menjadikan kisah wacana operasi plastik yang notabene telah marak dilakukan bahkan seolah menjadi kultur disana sebagai pecahan dari filmnya. Dalam Time atau yang memiliki judul lokal Shi gan, Kim Ki-duk kembali menyajikan sebuah perenungan yang dibalut dalam kisah cinta dan operasi plastik sebagai tema besarnya. Tapi apakah hanya itu yang coba ditampilkan Kim Ki-duk? Saya rasa tidak. Mengartikan Time sebagai hanya film wacana operasi plastik rasanya akan sama saja dengan mengartikan Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring sebagai sebuah kisah kehidupan seorang biksu biasa saja. Seperti biasa ekspektasi super tinggi saya letakkan sebelum menonton film dari sutradara favorit saya ini. Tapi gres pada Time inilah saya mencicipi sedikit kekecewaan pada karya Kim Ki-duk.
Ji-woo (Jung-woo Ha) dan See-hee (Hyeon-a Syeong) yakni sepasang kekasih yang sudah dua tahun berpacaran. Hubungan mereka mulai retak ketika See-hee merasa Ji-woo sudah bosan dengan penampilan khususnya mukanya yang selalu sama dan membosankan. Bahkan ketika sedang bekerjasama seks, See-hee meminta Ji-woo untuk membayangkan perempuan lain yang lebih anggun agar sanggup kembai bergairah. Perasaan cinta dan kecemasan See-hee yang makin bercampur mendorongnya untuk melaksanakan sebuah tindakan yang mengejutkan, yakni merombak wajahnya lewat operasi plastik dan kemudian pergi dari kehidupan Ji-woo, dengan keinginan enam bulan kemudian ketika wajahnya yang gres sudah tepat mereka sanggup me-refresh korelasi tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi lebih rumit dari itu. Dari sinopsis diatas memang masih terlihat beberapa ciri khas Kim Ki-duk, menyerupai karakternya yang melaksanakan hal yang sanggup dibilang mengejutkan atau mungkin ekstrim. Ki-duk juga masih menjadikan korelasi antara insan sebagai mediator kisah yang coba ia sampaikan.
Tapi kalau anda sudah sering menonton filmnya Kim Ki-duk niscaya menyadari ada yang berbeda dalam film ini. Film ini terasa lebih "bersahabat" dibandingkan film-filmnya yang lain. Jika film-film Kim Ki-duk lainnya punya kisah/hubungan antar aksara yang ajaib, disini hubungannya lebih sederhana yaitu antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai. Lalu meski ada tindakan ekstrim dari karakternya, tetap saja karakterisasi tokoh-tokoh dalam Time terasa lebih normal. Cara Ki-duk menyajikan filmnya juga terasa lebih ringan yaitu dengan menggunakan lebih banyak dialog. Film seorang Kim Ki-duk biasanya sepi, lambat, sangat minim dialog, bahkan kadang karakternya dibentuk tidak berbicara sama sekali. Film-filmnya lebih sering berbciara lewat visual. Sementara penyajian Time berbeda. Tokoh-tokohnya lebih normal, berinteraksi layaknya orang biasa, sehingga obrolan yang ada juga normal saja menyerupai drama lainnya, sehingga boleh dibilang bahwa Time yakni filmnya Ki-duk yang paling cerewet. Cukup aneh memang melihat film Kim Ki-duk dengan banyak obrolan meskipun masih menyajikan banyak sekali visual yang indah, walaupun kali ini dialognya yang lebih banyak bercerita.
Tapi saya tidak duduk perkara walaupun style-nya agak berubah asalkan menyerupai biasa filmnya tetap menghadirkan keindahan dan renungan mendalam yang menciptakan saya selalu jatuh cinta pada karyanya dan ingin segera menonton film-filmnya yang lain. Tapi sayangnya dalam Time saya justru mencicipi kekecewaan. Memang disini saya masih menemukan beberapa pemaknaan menyerupai biasa, dan tentu saja ada hal lain yang digali selain fenomena operasi plastik yang tengah marak belakangan ini. Untuk Time interpretasi saya cukup berkaitan dengan judul filmnya. Jika yang coba diangkat hanya sekedar operasi plastik, kenapa judulnya Time? Tentu saja ada hal lain menyerupai cinta, rasa cemas, hingga kesetiaan yang diangkat dalam film ini, Apakah cinta memang selalu sanggup diukur dari tampilan fisik? Mungkin itu pertanyaan yang paling gampang diangkat sehabis melihat film ini. Tapi melihat endingnya (yang sangat mengejutkan dan jadi salah satu keunggulan utama film ini) tentu saja ada lebih dari itu yang coba diangkat. Seperti judulnya, film ini yakni sebuah kisah wacana waktu, dimana waktu yakni hal yang terus berjalan dan terus berputar dan akan kembali keawal lagi apapun yang terjadi.
Hal itu sanggup terlihat dari banyaknya pengulangan dan perputaran yang terjadi dalam kisahnya. Mulai dari Ji-woo yang terus mengalami nasib yang menyerupai dalam hubungannya dengan beberapa wanita, kemudian kita juga akan melihat beberapa kali sebuah kejadian yang menyerupai terjadi dalam suasana yang menyerupai juga bahkan tempatnya juga sama. Pada risikonya disitulah kelemahan terbesar dari Time. Terlalu banyak momen yang menyerupai muncul berulang-ulang dan tentu saja hal itu menimbulkan kebosanan. Kim Ki-duk bukannya tidak pernah melaksanakan pengulangan adegan dalam filmnya, tapi biasanya selalu dilakukan dengan indah, aneh dan menghanyutkan. Keputusan untuk menciptakan Time lebih mainstream dengan menggunakan banyak obrolan justru menjadikan keajaiban yang biasanya muncul dalam film-film Kim Ki-duk jauh berkurang. Pada risikonya Time yakni karya Kim Ki-duk yang paling mengecewakan diantara karya-karyanya yang pernah saya tonton. Terasa cerewet, dan tidak seindah biasanya meski tetap ada beberapa adegan dengan visualisasi yang indah dan adegan aneh menyerupai ending-nya yang mindblowing tersebut. Yah atau mungkin saja ada yang terlewat dari pengamatan dan interpretasi saya. Semoga saja.
NOTE: Ada dua film Kim Ki-duk lain yang ikut muncul dalam Time, dapatkah anda menemukannya?
Ini Lho Time (2006)
4/
5
Oleh
news flash