Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho V For Vendetta (2005)

Perseteruan antara pemerintah dengan rakyatnya mungkin yaitu kisah yang sudah berlangsung semenjak jaman dahulu kala dan nampaknya tidak akan pernah berujung. Momen disaat pemegang tahta kekuasaan menyalahgunakan kekuasaan tersebut dan hanya ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi dibandingkan berkuasa untuk mensejahterakan rakyat dan negerinya memang sudah jadi dongeng lama. Hal itulah yang pada karenanya membuat sistem totalitarian dimana suatu pemerintahan mengontrol segala hal dalama negara. Kontrol disini tidak hanya pada hal-hal menyerupai aturan ataupun kekayaan tapi juga hingga kepada hal-hal menyerupai norma dan mereka berusaha mengontrol bagaimana masyarakat berperilaku sesuai dengan harapan mereka. Setelah itu semuanya tergantung kepada rakyatnya akan bersikap bagaimana, apakah hanya akan mendapatkan hal tersebut? Atau malah melaksanakan perlawanan alasannya yaitu adanya perasaan terkekang? Hal itulah yang menjadi poin penting dalam kisah V for Vendetta yang disesuaikan dari komik yang ditulis oleh Alan Moore pada 1982 hingga 1989. Versi filmnya sendiri disutradarai oleh James McTeigue (Ninja Assassin) dan naskahnya ditulis oleh Duo Wachowski (The Matrix Trilogy).

Pada tahun 2020, Inggris dipimpin oleh Chancellor Adam Sutler dari partai Norsefire yang beraliran fasis. Sang Chancellor memimpin dengan teladan totalitarian dan benar-benar membatasi kebebasan rakyatnya. Hal yang benar dan salah diatur oleh pemerintah. Bahkan orang-orang dari kaum yang tidak disukai menyerupai para tahanan politik, homoseksual hingga muslim dimasukkan kedalam camp konsentrasi. Tidak ada satupun orang yang berani menentang rezim ini meskipun banyak yang membencinya. Semuanya takut kepada pemerintah yang akan menangkap bahkan membunuh pihak yang melawan mereka. Tapi ternyata ada seorang misterius yang menggunakan topeng Guy Fawkes (Hugo Weaving) berani turun ke jalan dan melaksanakan agresi menentang bahkan melawan pemerintah. Pria bertopeng misterius tersebut menamakan dirinya V. Pada tanggal 5 November sesudah ia menyelamatkan Evey Hammond (Natalie Portman) dari para polisi belakang layar pemerintah, V melaksanakan agresi publik perdananya dengan meledakkan gedung Old Bailey yang merupakan pusat pengadilan. V bahkan kemudian mengumumkan lewat televisi wacana planning yang akan ia lakukan. Ia mengajak para rakyat yang tidak menyukai rezim totalitarian tersebut untuk turun ke jalan sempurna setahun kemudian pada tanggal 5 November untuk secara bersama menggulingkan pemerintahan, bahkan V berencana meledakkan gedung parlemen.

Sekedar info, topeng yang digunakan V berasal dari sosok nyata. Guy Fawkes memang bukan tokoh fiksi. Guy Fawkes termasuk satu dari beberapa tokoh yang berperan dalam planning pembunuhan terhadap King James I pada 1605 namun gagal dan pada karenanya ia dihukum pada tahun 1606. Rencana tersebut dinamakan Gunpowder Plot, dan memang berlangsung pada 5 November 1605. Rencananya juga tidak jauh beda dengan planning V, yakni meledakkan House of Lords pada tanggal 5 November. V for Vendetta memang yaitu kisah wacana bagaimana kekuatan yang muncul dari persatuan rakyat sanggup menggulingkan sebuah kekuasaan menyerupai apapun. Jika rakyat sudah bersatu memang tidak ada yang tidak mungkin, dan hal tersebut sudah sering dibuktikan di dunia nyata. Permasalahannya yaitu tidak semua orang berani menjadi penggagas wangsit perlawanan tersebut dan menjalankannya. Untuk itulah terkadang perlu cara ekstrim untuk bisa memantik keberanian dan menampar kesadaran rakyat terhadap penindasan yang menimpa mereka. Dari situlah pertanyaan muncul mengenai apakah kekerasan bahkan hingga pembunuhan yang dilakukan oleh V memang perlu dan bisa dibenarkan? Tapi toh ambiguitas moral tersebut sudah sering dibuktikan dalam banyak sekali kejadian dimana rakyat akan bersatu jikalau muncul sebuah momen heroik atau disaat pemerintah melaksanakan hal yang jauh kelewat batas dan biasanya berkaitan dengan hilangnya nyawa satu atau banyak orang.
Kritikan bagi sistem totalitarian juga amat terasa disini. Bahkan dalam V for Vendetta sistem ini digambarkan tidak punya sisi positif sedikitpun. Sebenarnya hal ini sedikit disayangkan, mengingat tindakan yang dilakukan oleh V sudah terasa abu-abu dan ambigu, mengapa tidak sekalian saja buat para pemerintah totalitarian ini sebagai pihak abu-abu juga? Hal ini sebetulnya bisa dilakukan dengan sedikit menawarkan alasan mengenai pemakaian sistem ini pada ketika itu, jadi yang muncul bukanlah penggambaran abu-abu melawan hitam menyerupai yang nampak pada film (saya belum membaca komiknya), namun menjadi abu-abu melawan abu-abu. Ah saya rasa itu akan membuat film ini makin menarik dan makin terasa mendalam. Saya juga kurang baiklah dengan pendapat V bahwa "Seharusnya bukan rakyat yang takut pada pemerintah, namun pemerintah yang takut pada rakyat" Tentu anda pernah mendengar kisah wacana raja yang menerima ramalan bahwa anaknya nanti akan menggulingkan dirinya jikalau sudah dewasa. Sang raja menjadi takut pada anaknya dan berusaha membununya. Tapi pada karenanya justru rasa takut itu yang membuat sang raja jatuh. Hal itulah yang juga akan terjadi jikalau pemerintah takut pada rakyat. Pemerintah bisa jadi bertindak sama jauhnya dengan yang terjadi pada film ini, dan tetap akan menjadikan efek negatif yang besar.

Walaupun begitu film ini sudah bisa memberikan banyak sekali pesannya dengan baik dan mengena. Konsep wacana topeng yang digunakan V sedikit mengingatkan saya pada alasan Bruce Wayne versi Nolan mengenakan kostum Batman. Ide dasarnya bukanlah topeng atau siapa di balik topeng tersebut, namun ideologi yang dibawa. Topeng hanyalah menjadi simbol saja. Begitu pula dengan sosok V yang tidak pernah terlihat mukanya. Topeng Guy Fawkes yang ia pakai hanyalah simbol perlawanan. Tidak penting siapa sosok dibalik topeng tersebut, yang penting yaitu wangsit yang ia miliki. Bicara wacana sosok V terang sosok Hugo Weaving patut diberi pujian. Wajah dan ekspresinya memang tak pernah terlihat, tapi ia bisa menawarkan sebuah penampilan yang ikonik hanya lewat bunyi yang khas dan gestur yang begitu luwes dan terkadang unik. Meski tidak pernah melihat wajahnya, penonton bisa memahami apa yang ia maksud. Dasarnya sama saja dengan konsep wangsit tadi, orang tidak tahu siapa sosok dibalik topeng, tapi mereka bisa mengerti wangsit yang ia bawa dari segala perbuatannya. Kemudian ada juga sosok Natalie Portman yang juga bagus. Tapi yang paling menonjol yaitu totalitasnya dimana Portman tidak segan menggunduli kepalanya secara nyata.

Namun V for Vendetta tidak hanya melulu soal pamer ideologi dan politik. Salah satu faktor utama keberhasilan film ini yaitu bisa menyeimbangkan faktor politik tersebut dengan suguhan adegan agresi yang sangat menarik. Mungkin special effect yang ada tidak terlalu mewah, namun penanganannya yang pas plus dibalut iringan musik epik buatan Dario Marianelli, V for Vendetta bisa tampil dengan begitu keren. Dua agresi peledakan yang ada di film ini bisa tampil begitu megah namun punya porsi yang tidak berlebihan. Semua itu masih ditambah agresi keren dari sosok V yang beraksi hanya bermodalkan beberapa pisau saja. Seringkali memang penggunaan pisau bakal jauh terlihat lebih keren dari senjata api menyerupai apapun. Pada karenanya mungkin tidak semua orang sepaham dengan ide-ide yang disampaikan dalam V for Vendetta, namun terang film ini bisa menggabungkan banyak sekali sindiran yang cukup tajam dan mengenai dengan banyak sekali adegan agresi yang menghibur. Saat sebuah film bisa menggabungkan dua hal itu dengan baik, maka itulah bukti bahwa film itu spesial. Saya yakin V for Vendetta akan terus diingat, menyerupai tanggal 5 November. Remember remember, the 5th of November.

Artikel Terkait

Ini Lho V For Vendetta (2005)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email