Thursday, January 10, 2019

Ini Lho American Horror Story - Murder House (2011)

Nama Ryan Murphy dan Brad Falchuk paling dikenal sebagai kreator serial televisi Glee yang sempat menjadi fenomena tapi kini perlahan mulai dilupakan. Tapi apa jadinya kalau kedua orang ini menciptakan sebuah serial televisi yang jauh berbeda? Dalam serial yang satu ini, terang tidak ada nyanyian gembira, kisah cinta remaja, serta usaha bawah umur yang diremehkan untuk menjadi seseorang yang dipandang. Dalam American Horror Story yang ada hanya jeritan, tragedi, kematian, teror dan kesan sensual. AHS menyerupai yang terlihat pada judulnya mengambil konsep mengenai cerita-cerita horror yang terkenal di Amerika Serikat, dimana animo pertamanya berfokus pada teror di sebuah rumah berhantu. Kisah ruah hantu sudah sangat familiar diangkat dalam medium film, tapi sebagai sebuah serial televisi tentunya ini akan menjadi hal yang menarik. Musim pertamanya yang mempunyai subjudul Murder House ini ditayangkan pada tahun 2011 dan sukses menjadi serial tv kabel gres yang paling banyak ditonton pada tahun 2011 bersandingan dengan Falling Skies. Murder House akan mengajak kita melihat teror yang menanti di sebuah rumah renta yang terletak di Los Angeles dalam 12 episode-nya yang tidak hanya diisi kengerian tapi aneka macam misteri-misteri seputaran rumah berhantu tersebut. 
Pada awalnya kita akan diajak berkenalan dengan keluarga Harmon yang terdiri dari Ben (Dylan McDermott), Vivien (Connie Britton) dan Violet (Taissa Farmiga). Keluarga tersebut gres saja ditimpa permasalahan berat disaat Vivien yang gres saja mengalami keguguran memergoki suaminya sedang bekerjasama seks dengan Hayden (Kate Mara) yang tidak lain yakni murid dari Ben. Untuk memulai awal yang baru, mereka pindah dari Boston ke Los Angeles, tepatnya di sebuah rumah renta disana. Sejak awal mereka sudah mengetahui ada yang tidak beres dengan rumah tersebut alasannya yakni dijual dengan harga yang sangat murah. Mereka pun kesudahannya mengetahui bahwa pemilik sebelumnya meninggal di dalam rumah. Tapi alasannya yakni sudah terlanjur menyukai rumah tersebut dan dengan sedikit "paksaan" dari sang puteri, Violet, Ben dan Vivien pun memutuskan membelinya. Tapi tentu saja usaha mereka untuk memulai hidup gres disana tidak berjalan lancar alasannya yakni belum apa-apa sudah muncul beberapa peristiwa serta orang-orang absurd di sekitar mereka. Mulai dari Tate (Evan Peter) pasien dari Ben yang sering bermimpi melaksanakan pembantaian dan mulai menjalin kekerabatan dengan Violet, Constance (Jessica Lange) tetangga sebelah yang sekilas terlihat ramah tapi nampak menyembunyikan sesuatu dan mempunyai seorang puteri dengan down syndrome bernama Addie (Jamie Brewer) yang sering menerobos masuk ke dalam rumah, hingga seorang laki-laki dengan luka bakar berjulukan Larry (Denis O'Hare) yang selalu membuntuti Ben dan menceritakan banyak hal mengerikan perihal rumah tersebut.
American Horror Story adalah satu lagi bukti bahwa serial televisi kini telah menjadi ajang unjuk idealisme yang sebetulnya dibandingkan film-film Hollywood yang lebih mementingkan pundi-pundi uang daripada kualitas dan kisah yang bagus. Alih-alih memakai banyak  scare jump AHS animo pertama ini lebih banyak bermain-main dengan membangun konflik yang terjadi dalam diri karakternya dan memperlihatkan teror lewat aneka macam visual yang cukup disturbing. Disinilah yang saya suka dari AHS. Ada aneka macam macam momen yang menciptakan saya merinding atau bahkan mual menyerupai bayi yang dimutilasi untuk kemudian dijahit lagi untuk dihidupkan layaknya Frankenstein, adegan makan otak mentah-mentah, hingga korban-korban lain yang tewas dengan cara yang cukup mengenaskan. Tapi tidak semuanya dihadirkan secara gamblang. AHS sanggup memperlihatkan teror dengan cara mempermainkan imajinasi liar penontonnya. Selalu ada cara gres yang dipakai untuk membunuh korban dalam serial ini. Tentu saja hal ini menyegarkan daripada hanya berusaha mengageti penontonnya. Tapi harus diakui, tiap film sajian horror setidaknya membutuhkan satu atau dua scare jump. AHS melakukannya beberapa kali tapi sayangnya tidak banyak yang berhasil. Disaat serial ini anggun dalam menghantarkan teror utamanya lewat imajinasi penonton, scare jump yang pasaran itu malah gagal dihukum dengan baik. 
Salah satu misalnya yakni episode finale yang bertajuk Afterbirth. Episode tersebut punya rangkaian adegan dimana satu per satu hantu menampakkan wujudnya dan akan menjadi begitu menegangkan dan seru apabila dihukum dengan baik, tapi sayang scare jump yang muncul terasa datar entah alasannya yakni penempatan musik yang tidak tepat, pergerakan kamera yang kurang shocking, editing yang jelek atau alasannya yakni timing yang meleset. Memang kalau bicara teknis, animo pertama AHS ini banyak kekurangan khususnya epsiode-episode awal. Hanya adegan dikala Tate kecil dikejutkan oleh Thaddeus saja yang angker khususnya alasannya yakni sosok dari sang "bayi monster" ini memang mengerikan. Sedari Pilot, saya sudah dibentuk menyukai serial ini dan dalam dua hari terakhir menghabiskan waktu menuntaskan 12 epsiodenya. Meski tidaklah terlalu mengerikan atau menegangkan, AHS: Murder House punya kekuatan lain yakni pada misterinya. Sedari episode pertama selalu saja ada misteri yang begitu menarik untuk diikuti menyerupai perihal apa yang sebetulnya terjadi dalam rumah itu. Satu lagi misteri yang paling besar yakni mengenai identitas karakternya. Mudah pada paruh musim, selain keluarga Harmon abjad lainnya terasa misterius, yakni apakah mereka insan atau hantu? Tantangan utama dalam serial televisi yang menghadirkan misteri bukanlah pengenalan maupun penelusurannya, tapi proteksi jawabannya. Sebagai teladan yakni Lost. Sebesar apapun kecintaan saya akan serial tersebut, tetap saja ada beberapa misteri yang jawabannya mengecewakan bahkan tidak terjawab. AHS untungnya bisa memperlihatkan aneka macam balasan yang memuaskan lengkap dengan twist demi twist mengejutkan. Memang ada beberapa balasan yang mengecewakan menyerupai perihal "hukum" dan kemampuan para hantu yang terasa dipaksakan dan hal-hal ganjil menyerupai kenapa Moira bisa pergi menemui sang ibu kalau para hantu tidak bisa meninggalkan rumah tersebut, tapi overall semuanya tetap memuaskan.
Flashback juga jadi bab terpenting dalam AHS animo pertama ini. Tidak hanya diajak menikmati teror pada masa sekarang, kita juga diperlihatkan aneka macam peristiwa dan bencana yang selalu menimpa pemilik rumah sedari yang pertama kali menempatinya. Semua flashback-nya menarik, dengan konflik yang berbeda tapi tetap punya benang merah yaitu antara obsesi, cinta, luka, hingga bayi. Setiap kisahnya bisa memperlihatkan eksplorasi yang mendalam pada masing-masing abjad yang menciptakan hampir semua karakternya terasa berharga dan menarik. Bahkan bagi saya kisah masa lalunya lebih menarik daripada kisah di masa sekarang. Masing-masing karakternya dipenuhi dengan kegelapan bahkan kejahatan yang sekilas menciptakan mereka tidak jauh beda dengan monster. Tapi perlahan tapi niscaya kita diajak untuk mengerti bahwa semua itu mempunyai pangkal permasalahan yang menciptakan tiap-tiap karakternya terjatuh dalam lubang kegelapan. Bahkan abjad menyerupai Clarence, Ben hingga Tate sekalipun berhasil menarik saya untuk bersimpati pada mereka. Hampir tidak ada abjad yang annoying disini meski terkadang tokoh menyerupai Hayden dan Vivien terasa menyebalkan. Beberapa karakternya pun sukses menambahkan unsur sensual dalam serial ini, menyerupai kemunculan sosok rapist berpakaian lateks. hingga pembantu renta berjulukan Moira yang di hadapan laki-laki akan berubah wujud menjadi pembantu seksi berambut merah, berkulit putih yang wajah dan tingkah lakunya selalu bisa menciptakan libido laki-laki memuncak.
Sebuah serial yang twisted, misterius, penuh bencana dan sensual, begitulah kesan saya terhadap animo pertama American Horror Story ini. Mungkin banyak penonton yang tidak terlalu betah melihat beberapa kesadisan yang ada khususnya melihat fakta banyaknya anak kecil bahkan bayi yang mati mengenaskan disini. Saya juga menyayangkan kengerian yang begitu terasa kurang serta pemanfaatan scare jump yang buruk. Sekilse apapun scare jump, kisah horor dengan hantu tetap membutuhkan satu-dua momen kejut yang bagus, dan AHS animo pertama tidak mempunyai itu. Bahkan aneka macam teaser tiap episode dan opening-nya jauh lebih creepy dan menyeramkan. Ya, opening dengan foto-foto renta dan musik mengerikan garapan Kyle Cooper itu memang mengerikan dan sering saya skip bukan hanya untuk mempersingkat durasi tapi alasannya yakni ketidak beranian saya untuk melihatnya. Saya juga kurang suka dengan episode terakhirnya yang lebih extended epilogue daripada finale yang seharusnya memperlihatkan puncak dan konklusi memuaskan. Saya juga merasa episode itu bagaikan setup untuk animo selanjutnya. Hal yang masuk akal untuk sebuah serial televisi, tapi AHS yakni serial dengan kisah yang berbeda tiap musim, jadi hal menyerupai itu tidak perlu dilakukan. Tapi toh adegan terakhir yang memunculkan sang "antichrist" cukup memuaskan. Mungkin animo pertama ini tidak sebagus ekspektasi saya sehabis melihat rangkuman teaser-nya, tapi American Horror Story: Murder House masih sebuah tontonan yang menyenangkan dengan kedua belas epsiode yang selalu tampil konsisten. Dengan bahagia hati saya akan melanjutkan ke animo keduanya, Asylum.

Artikel Terkait

Ini Lho American Horror Story - Murder House (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email