Monday, January 7, 2019

Ini Lho Assalamualaikum Beijing (2014)

Sesungguhnya saya sudah lelah dengan menu drama-romansa berbalut sentuhan religi, apalagi yang berembel-embel "diadaptasi dari novel fenomenal". Saya lelah alasannya kesan menggurui yang terlalu berpengaruh dan dramatisasi percintaan atau konflik agama yang berlebihan. Akhirnya dalam film-film tersebut, kata "agama" dan "cinta" jadi terasa begitu jauh dari jangkauan dan amat sulit untuk diamalkan. Saya mengibaratkan kalau insan ialah laki-laki dan agama/cinta dalam film religi ialah wanita, maka sang laki-laki berasal dari kalangan bawah sedangkan wanitanya ialah sosok yang cantik, kaya raya, baik hati, atau singkatnya high-profile. Sang laki-laki tahu perempuan itu ialah dambaan, tapi tentu saja terlalu tinggi untuk sekedar diidamkan. Menurut saya, alangkah lebih mengenanya kalau agama dan cinta digambarkan sebagai sesuatu yang low-profile namun bernilai tinggi, sehingga kedua hal itu tidaklah terasa jauh bagi insan (baca: penonton). Sehingga, pengalaman menonton film cinta berteakan religi tidak lagi terasa mirip menonton fairy tale dari Disney, alias dongeng/mimpi belaka. Kaprikornus alangkah senangnya dikala mendapati film garapan Guntur Soeharjanto ini tidak terlalu berlebihan mengemas drama dan religinya mirip yang saya khawatirkan.

Asmara (Revalina S. Temat) tiba-tiba saja membatalkan pernikahannya sehari sebelum dilangsungkan sehabis mengetahui bahwa sang calon suami, Dewa (Ibnu Jamil) menghamili perempuan lain. Beberapa waktu kemudian, Asmara mendapat pekerjaan di Beijing untuk mengisi sebuah rubrik di majalah ihwal kehidupan Islam di Cina yang notabene ialah kaum minoritas. Dengan proteksi Sekar (Laudya Cynthia Bella) sang sahabat, Asmara pun mulai menata kehidupan barunya tanpa berpikir banyak ihwal jodoh. Tapi takdir justru mempertemukannya dengan seorang laki-laki lokal yang menjadi tour guide bernama Zhongwen (Morgan Oey). Berawal dari pertemuan secara tidak sengaja dalam sebuah bus, keduanya pun semakin rutin menghabiskan waktu bersama di Beijing. Tentu saja cinta perlahan tumbuh diantara mereka, meski harus terhalang oleh perbedaan agama. Rintangan semakin berat dikala Asmara tiba-tiba menderita sebuah sindrom pengentalan darah yang berpotensi membuatnya stroke, buta, bahkan sanggup menimbulkan kematian. 
Dengan unsur penyakit kronis yang menghalangi relasi cinta memang film ini terasa mirip sebuah drama Korea. Sesuatu yang disengaja tentunya, bahkan sering diungkapkan oleh abjad Sekar yang begitu terobsesi pada K-Drama. Untungnya dengan formula mirip itu film ini tidak terlalu memaksakan diri untuk menjadi tearjerker. Ada air mata, tapi tidak dieksploitasi secara berlebihan. Ada kesedihan, tapi tidak ada kesan tragedi. Filmnya memanfaatkan unsur religi yang ada untuk membuatnya terasa lebih konkret dan tidak cengeng. Kesan itu didukung juga oleh ending yang punya aura positif. Tentu masih ada obrolan bertemakan pemikiran Islam dan banyak sekali kalimat romansa penuh rayuan disini, tapi lagi-lagi tidak dalam takaran berlebihan. Dialog "ajaran agama" yang ada tidak menciptakan saya jengah alasannya perasaan didikte. Begitu pula obrolan percintaannya yang tidak menciptakan saya ingin muntah. Kalimat demi kalimatnya masih sanggup diterima dan masuk logika kalau diucapkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. 
Pendekatan yang masih sadar akan kesederhanaan itu justru menciptakan dramanya lebih menarik, lebih hangat, dan lebih menciptakan saya betah untuk menonton. Mungkin tidak semuanya terasa kuat, tidak semuanya tersaji secara mendalam. Tapi setidaknya film ini tidak menciptakan saya ingin segera melangkah keluar dari bioskop. Malah ada satu momen yang menciptakan saya cukup tersentuh. Air mata tidak hingga mengalir, tapi ada sedikit getaran rasa dikala meihat ketulusan Zhongwen pada Asmara. Kekecewaan terbesar saya pada film ini justru terletak pada kurangnya penggalian terhadap motivasi Zhongwen untuk menjadi mualaf. Pendekatan dalam naskah garapan Alim Sudio terasa memberatkan cinta sebagai faktor utama Zhongwen memeluk Islam. Disinilah Assalamualaikum Beijing jadi terjebak dalam sebuah "penggampangan" yang telah familiar dalam genre drama-religi Indonesia. Padahal dari membaca sinopsis novelnya, ada perenungan dan banyak pelajaran berharga yang didapat Zhongwen sebelum risikonya menjadi mualaf. Sayang, adaptasinya jadi mengurangi kedalaman motivasi karakter.

Drama sederhananya jadi lebih berpengaruh juga berkat performa dua pemeran utamanya. Revalina S. Temat tentu sudah familiar dengan peran-peran mirip ini. Sosok muslimah tegar berhasil ia hidupkan, dan berkat karakterisasi yang baik juga sosok Asmara tetap manusiawi. Kejutan besar muncul melihat akting Morgan Oey. Tanpa harus sok cool yang justru berujung kekakuan, Morgan berhasil menimbulkan Zhongwen sebagai laki-laki charming yang kalem dan memikat. Sama mirip Reva, Morgan juga menimbulkan karakternya tetap membumi. Pria yang hangat dan menyenangkan diajak berinteraksi. Hampir tidak ada kesan gestur dipaksakan atau pengucapan obrolan penuh kekakuan dalam performanya. Santai, yummy dilihat. Tapi mungkin akan lain ceritanya kalau naskah film ini penuh obrolan sok puitis. Untung kalimat demi kalimatnya sederhana dan mendukung kualitas akting Morgan sendiri. Mungkin penampilan mengganggu hadir dari Desta yang seolah tampak tersiksa menahan diri untuk tidak melucu. Film ini terang jauh dari kata sempurna, tapi dengan kesederhanaannya, Assalamualaikum Beijing jadi salah satu drama-romansa religi terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

Artikel Terkait

Ini Lho Assalamualaikum Beijing (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email