Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Blue Is The Warmest Color (2013)

Diadaptasi dari novel grafis berjudul sama karangan Julie Maroh, Blue is the Warmest Color ialah film yang tidak hanya berhasil meraih Palme d'Or pada ajang Cannes Film Festival tahun kemudian namun juga berhasil mengguncang dengan kontroversi yang muncul alasannya ialah konten seksualnya yang sangat vulgar. Selain alasannya ialah kemenangannya di Cannes film ini memang banyak dibicarakan alasannya ialah adegan seks lesbian yang dilakoni oleh dua aktrisnya dimana adegan tersebut disajikan dengan vulgar dan berlangsung selama lebih dari tujuh menit. Beberapa dongeng miring wacana perlakuan tidak mengenakkan sutradara Abdellatif Kechiche kepada para kru dan pemainnya juga turut mengiringi perilisan film ini. Namun diluar segala kontroversi tersebut, Blue is the Warmest Color memang sebuah film yang begitu berpengaruh dalam bertutur selama durasinya yang mendekati tiga jam. Menggabungkan kisah coming-of-age wacana pencarian jati diri dengan kisah romansa erotis sesama jenis, film ini menandakan bahwa segala momen vulgar dan ketelanjangan yang hadir bukan sekedar cari sensasi belaka namun merupakan sebuah aspek substansial yang tidak bisa dipisahkan sebagai salah satu pondasi emosi filmnya. Jika dalam novel grafisnya ada sosok Clementine, maka versi filmnya mempunyai Adele (Adele Exarchopoulos), seorang dewasa Sekolah Menengan Atas berusia 17 tahun.

Bersama teman-temannya Adele sering bergosip wacana para laki-laki di lingkungan sekolah mereka. Adele sendiri tengah memulai sebuah korelasi dengan Thomas (Jérémie Laheurte), namun anehnya Adele tidak mencicipi adanya gejolak ibarat cinta dan hasrat dalam korelasi tersebut. Suatu hari ia dan sahabatnya yang gay, Valentin (Sandor Funtek) pergi ke sebuah gay bar. Disanalah Adele bertemu dengan Emma (Lea Seydoux), seorang gadis tomboy berambut biru yang dulu pernah berpapasan dengannya di jalan. Keduanya pun mulai saling mengobrol dan rutin bertemu sekedar untuk menghabiskan waktu bersama mengobrol di taman. Perlahan keduanya pun mulai berpacaran dan tinggal bersama. Hari-hari mereka diisi dengan kebahagiaan dan hasrat memuncak yang selalu tersalurkan lewat korelasi seks yang penuh gairah. Namun memasuki paruh kedua dalam kisah kehidupan Adele semuanya perlahan mulai berubah dimana segala kebahagiaan dan cinta mereka mulai menerima cobaan. Termasuk dilema yang terjadi berkaitan dengan pencarian jati diri dan orientasi seksual dari Adele.

Jika dalam novel grafisnya warna biru terasa mencolok alasannya ialah selain rambut Emma gambar lainnya diberi warna hitam putih. Dalam versi filmnya, sutradara Abdellatif Kechiche melaksanakan hal yang ibarat dengan apa yang dilakukan oleh Krzysztof Kieślowski dalam trilogi tiga warna miliknya, yakni sebanyak dan sedetail mungkin memasukkan sebuah warna dalam hal ini biru pada tiap-tiap set dan properti dalam film. Mulai dari hal besar yang nampak terang ibarat layar LCD, kostum pemain, air maritim bahkan hingga hal-hal terkecil ibarat ornamen yang terdapat pada piring dan gelas didominasi oleh warna biru. Tentunya yang paling mencolok ialah warna biru dari rambut Emma. Tapi ini bukan hanya style tanpa substansi, alasannya ialah tanpa sadar dengan mendominasinya warna biru penonton pun dibentuk selalu teringat pada sosok Emma dan secara tidak sadar pula mulai terikat dan tertarik pada sosoknya. Bagaikan sebuah subliminal message film ini bisa menciptakan bawah sadar penontonnya terikat dengan sosok Emma si gadis berambut biru. Kita sebagai penonton seolah diajak mencicipi adiksi dan ketertarikan yang sama ibarat yang dirasakan oleh Adele terhadap Emma. Karena itu pada paruh kedua disaat Adele tidak lagi berambut biru, kita juga mencicipi rasa kehilangan yang sama ibarat Adele. Kita merasa bahwa Emma sudah berubah dan kita pun rindu akan sosoknya yang lama. Inilah kenapa filmnya berjudul Blue is the Warmest Color alasannya ialah selama menonton kita akan mengasosiasikan warna biru dengan segala kehangatan, romantisme dan kebahagiaan.
Durasinya mendekati tiga jam. Alurnya berjalan dengan tempo medium namun beberapa kali muncul adegan berulang. Pergerakan dari satu momen ke momen lain pun memakan waktu yang tidak sebentar. Berbagai hal tersebut memang berpotensi menciptakan filmnya terasa melelahkan. Tapi semua itu dilakukan dengan tujuan untuk menghadirkan segala aspek dalam kehidupan Adele dengan sejelas dan sedetail mungkin. Paruh pertamanya bertutur wacana Adele yang tengah kebingungan mencari jati diri berkaitan dengan orintasi seksual miliknya. Kita diperlihatkan bahwa Adele benar-benar melaksanakan pencarian dan bukan hanya dirundung kebingungan belaka. Dia mencoba berafiliasi dengan laki-laki tapi pada karenanya segala hasrat yang ia cari lebih bisa terpuaskan dengan wanita. Kemudian bagaikan takdir akan jodoh kita diperlihatkan bahwa Adele secara tidak sadar melaksanakan pencarian terhadap Emma dan mereka pun karenanya dipertemukan. Paruh keduanya pun berjalan dengan serupa, bagaimana korelasi Emma dan Adele mulai bermasalah dan perlahan tergerus semuanya dihadirkan setahap demi setahap dimana tiap tahap dipaparkan dengan begitu mendetail hingga penonton bisa benar-benar memahami isi hati dan pikiran karakternya. Film ini tidak pernah terburu-buru berjalan, bahkan dialog pertama Adele dan Emma gres terjadi ketika filmnya sudah berjalan lebih dari 40 menit.

Kemudian kita hingga pada adegan seksnya yang kontroversial itu. Berjalan lebih dari tujuh menit (kabarnya versi yang diputar di Cannes berjalan lebih dari 10 menit), adegan tersebut benar-benar disajikan dengan vulgar, gamblang dan begitu liar. Adegan seksual yang terasa begitu faktual bahkan disaat saya sudah tahu bahwa kedua aktrisnya menggunakan vagina buatan yang ditempelkan diatas yang orisinil saya tetap "terbuai" akan begitu nyatanya adegan tersebut. Tanpa ada iringan musik sedikitpun, hanya erangan dan rintihan dua aktrisnya yang menemani tujuh menit penuh gairah ini dan itu menciptakan adegannya terasa begitu jujur. Segala hasrat, gairah dan cinta yang ada pada kedua karakternya terpancar begitu berpengaruh dari seks yang terjadi. Tentu saja totalitas serta chemistry yang terjalin antara Adele Exarchopoulos dan Lea Seydoux turut berperan besar pada keberhasilan itu. Namun apakah adegan seks yang panjang dan vulgar ini hanya sekedar penambah bumbu erotisme? Tentu saja tidak, alasannya ialah berkat momen inilah saya dibentuk mencicipi bagaiaman besarnya hasrat dan rasa cinta yang terjalin diantara Adele dan Emma. Pada karenanya adegan seks tersebut tidak hanya menjadi sekedar tempelan dan perhiasan belaka ibarat yang banyak terjadi dalam film-film mainstream kebanyakan dimana pemain yang berafiliasi seks pun nampak tidak menikmati adegan seksnya.

Blue is the Warmest Color tidak hanya sebuah film LGBT saja alasannya ialah secara keseluruhan kontennya bisa terasa universal. Ini ialah kisah coming-of-age wacana pencarian jati diri, kisah cinta berbalut seksual yang tentu saja dibumbui kecemburuan sebagai konfliknya. Krisis identitas yang dialami Adele terasa begitu berpengaruh mengiringi film ini, bahkan hingga filmnya berakhir pun konflik wacana krisis identitas tersebut masih terus menghantuinya. Namun kalau bicara wacana LGBT, film ini juga memperlihatkan bahwa tidak semua LGBT berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Lihatlah Adele dan Emma yang berasal dari keluarga hangat, ramah dan penuh tawa. Bahkan kedua orang bau tanah Emma menegtahui bahwa sang puteri ialah lesbian dan tidak mempermasalahkan itu. Karena pada karenanya mereka tahu bahwa Emma menjalani hidupnya sebagai lesbian dengan tetap berlandaskan rasa cinta. Blue is the Warmest Color ialah film yang begitu berpengaruh baik dari dongeng maupun dari sisi akting dan chemistry dua aktrisnya. Lihat bagaimana keduanya terasa ebgitu jatuh cinta ketika dialog diawal korelasi mereka,lihat bagaimana adegan seks yang penuh gairah itu, lihat juga bagaimana momen putus yang berisikan pertengkaran yang mengaduk-aduk emosi itu. Bukan hal gampang menciptakan adegan seks lesbian yang penuh gairah dan erotisme menjadi sebuah adegan penuh kedalaman emosional, dan Blue is the Warmest Color berhasil melakukannya.

Artikel Terkait

Ini Lho Blue Is The Warmest Color (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email