Akui saja, alasan utama kau menonton film ini hanya untuk melihat si seksi Salma Hayek menjadi action heroine. Tentu saja kegilaan dan gore yang selalu jadi andalan sutradara Joe Lynch merupakan daya tarik, tapi tetap saja kehadiran sang aktris yaitu pemikat utama. Salma Hayek berperan sebagai Everly, seorang perempuan yang sudah empat tahun dipaksa menjadi pelacur oleh bos kriminal berjulukan Taiko (Hiroyuki Watanabe). Selama itulah Everly dikurung dalam sebuah apartemen glamor untuk bekerja bagi Taiko. Kesempatan untuk kabur tiba dikala seorang dekektif memperlihatkan pinjaman dimana Everly juga harus membantunya untuk menghancurkan organisasi kriminal Taiko. Tapi rencana itu terbongkar, dan sekarang Everly terkurung di apartemennya. Berhasil membunuh beberapa anak buah Taiko, Everly sekarang menjadi incaran banyak pihak, mulai dari sesama pelacur yang menginginkan uangnya, anak buah Taiko, hingga para polisi korup. Ini yaitu film one woman army dimana Everly akan membantai musuh-musuhnya sendirian.
Memang benar ada sedikit rasa Kill Bill disini melihat seorang jagoan perempuan membantai musuh-musuhnya sendiri. Belum lagi ditambah adanya sisipan dongeng balas dendam yang melatar belakangi tindakan Everly. Tapi hanya itu. Jangan harapkan dongeng solid layaknya film Tarantino tersebut. Everly adalah b-movie yang mengorbankan semua kebijaksanaan serta kepintaran para pembuatnya guna menyajikan hiburan asing tanpa henti. Tentu saja untuk dapat terhibur penonton juga harus turut berpartisipasi mengesampingkan kepintaran serta logika. Jangan tanya bagaimana Everly yang empat tahun dikurung di apartemen dan aktivitas sehari-harinya hanya bekerjasama seks (dan bukan pembunuh terlatih macam Beatrix) dapat sebegitu hebatnya menggunakan aneka macam macam senjata. Tidak hanya mendadak jago, ia juga dapat mengalahkan puluhan pembunuh terlatih, bahkan tim kepolisian...sendiri. Film ini sudah berusaha membuat penonton memaklumi itu dengan cara mengatakan aneka macam kebetulan yang membantu Everly bertahan hidup.
Tapi meski terasa bodoh, aku amat dapat memaafkan semua itu. Kenapa? Karena Joe Lynch sendiri sadar bahwa filmnya ini bodoh. Filmnya tidak berusaha sok serius apalagi sok pintar. Ada dua jeinis film bodoh. Pertama yaitu film terbelakang yang mencoba sok pandai dan berharap penonton tidak menyadari kebodohan itu, sedangkan yang kedua yaitu film terbelakang yang sadar bahwa dirinya terbelakang dan secara sengaja melipat gandakan kadarnya. Everly jelas masuk kategori kedua. Yang coba diperlihatkan hanya kegilaan dari adegan agresi brutal yang tidak pernah berhenti, sama menyerupai para pembunuh yang silih berganti menyerang Everly. Tentu saja jangan berharap selipan drama yang muncul dapat efektif. Meski membawa kisah ibu dan anak, hal itu hanya tempelan belaka untuk mengatakan sedikit motivasi pada karakternya, agar film ini dapat berjalan. Semua itu hanya jalan agar Joe Lynch dapat membuat tontonan eksploitasi penuh darah yang menyenangkan. Ya, selain sadar diri film ini juga menyenangkan, dan itulah yang membuat aku dapat menikmatinya.
Sebuah sajian eksploitasi, begitulah Everly. Eksploitasi action, eksploitasi kekerasan, eksploitasi sensualitas. Tingkat gore masih belum hingga pada level paling ekstrim, tapi sudah cukup untuk mengatakan kesenangan bagi penikmat aspek tersebut. Banyak darah, banyak adegan yang cukup disturbing. Eksploitasi adegan agresi pun hadir dengan cara menyebar ledakan dimana-mana, desingan peluru yang nyaris tidak berhenti, hingga kematian seketika dalam jumlah banyak. Tapi yang paling tersirat yaitu eksploitasi sensualitas. Mengganti Kate Hudson dengan Salma Hayek yaitu keputusan tepat. Hayek yaitu aktris yang dapat menghadirkan kesan seksi hanya dengan bangkit diam. Apakah anda merasa saran dari Dead Man (Akie Kotabe) agar Everly menggunakan baju yang lebih "practical" tanpa maksud? Dengan situasi yang dialami Everly, ini yaitu eksploitasi terhadap huruf wanita. Mengeksploitasi sisi badass-nya hingga penderitaannya yang pada balasannya berujung pada satu maksud, yakni menyajikan keseksian (dan itu berhasil).
Everly juga berhasil membedakan diri dengan film-film aksi-eksploitasi lainnya dengan beberapa hal. Pertama yaitu kehadiran beberapa huruf minor yang meski tidak terlalu berpengaruh tapi cukup unik. Sebagai teladan yaitu Sadist (Togo Igawa) dan anak buahnya. Mulai dari Masochist (Masashi Fujimoto) yang gila, hingga empat pengawal dengan kostum dan topeng khas Jepang. Karakter-karakter ini hanya bab kecil dari film tapi momen kehadiran mereka mengatakan kesegaran. Karakter menarik lainnya yaitu Dead Man, anak buah Taiko yang pada balasannya justru membantu Everly alasannya didorong simpati dan kebencian terhadap sang bos. Yang membuatnya menarik yaitu alasannya huruf tanpa nama ini sama sekali tidak bergerak sepanjang kehadirannya. Dia hanya duduk dalam kondisi sekarat. Tapi kehadirannya mampu dimanfaatkan untuk membuat interaksi menarik dengan Everly, sehingga dikala adegan agresi tengah berhenti, filmnya tidak membosankan. Terbukti sehabis huruf ini "hilang", tensi film menurun dikala sesekali masuk fase "cooling down".
Film ini juga cukup sukses mempertahankan intensitas berkat penggunaan single location. Hanya ber-setting dalam sebuah apartemen berhasil mendukung pergerakan action yang tanpa henti. Aspek ini mencegah dongeng filmnya untuk tidak melebar terlalu jauh. Fokus tetap terjaga untuk menyajikan aksi, tanpa perlu dongeng berskala luas yang berbelit-belit. Keputusan sempurna mengingat kualitas naskahnya yang tidak spesial. Dengan lokasi tunggal dan one-woman-army, daripada Kill Bill film ini justru lebih bersahabat dengan Die Hard. Everly sebagai perempuan biasa yang harus menggila alasannya terjebak situasi pun lebih mengingatkan aku pada John McClane daripada Beatrix Kiddo-nya Uma Thurman. Everly adalah sajian brainless yang bombastis, brutal dan paling penting sadar diri. Ditambah pesona Salma Hayek, semua hal itu berhasil membuat film ini jadi tontonan menyenangkan asal anda bersedia "mematikan" otak beberapa dikala selama menonton.
Ini Lho Everly (2014)
4/
5
Oleh
news flash