Satu lagi film dari Coen Brothers yang mengangkat tema crime sebagai fokus utamanya. Sekedar informasi, dalam The Man Who Wasn't There Joel Coen masih menerima kredit penyutradaraan sendirian karen gres pada tahun 2003 Directors Guild of America memperbolehkan sebuah film memberi kredit penyutradaraan pada dua orang atau duet. Sehingga dari debut mereka di tahun 1984 dalam Blood Simple hingga Intolerable Cruelty yang rilis di 2003 nama Ethan Coen masih belum menerima kredit penyutradaraan. Barulah pada film The Ladykillers di tahun 2004 Joel dan Ethan banyak sekali kredit penyutradaraan. Kembali ke filmnya, The Man Who Wasn't There yang menyebabkan Billy Bob Thornton sebagai pemeran utamanya dikenal sebagai satu-satunya film Coen Brothers yang disajikan dalam format hitam-putih. Dengan tunjangan sinematografer handal Roger Deakins yang juga menjadi langganan film-film Coen, The Man Who Wasn't There bagaikan sebuah tribute kepada genre film noir yang kental dengan suasana gelap, penuh bayangan dan siluet serta tentunya asap rokok yang mendominasi filmnya. Seperti film-film Coen Brothers lainnya disini kita masih akan menjumpai aktivitas kriminal yang tidak berjalan lancar, dilakukan oleh amatiran dan tidak pernah lepas dari hal-hal ganjil nan mengejutkan yang berbau kebetulan.
Ed Crane (Billy Bob Thornton) yaitu seorang laki-laki pendiam yang bekerja di daerah potong rambut milik abang iparnya, Frank (Michael Badalucco). Ed tidak mencicipi kebahagiaan atau hasrat dalam hidupnya yang selalu ia jalani dengan keheningan. Di daerah kerja ia selalu dibentuk tidak nyaman oleh Frank yang selalu berbicara, sedangkan di rumah ia sudah usang tidak menjalin kemesraan dengan sang istri, Doris (Frances McDormand) hingga segala ungkapan cinta yang keluar dari verbal masing-masing terasa hampa. Bahkan Ed mewaspadai Doris berselingkuh dengan Big Dave (James Gandolfini), bos dari sentra perbelanjaan daerah Doris bekerja. Suatu hari di daerah potong rambutnya Ed bertemu dengan pelanggan berjulukan Creighton Tolliver (John Polito) yang bercerita perihal sebuah investasi untuk sebuah produk berteknologi gres yang mengatakan dry cleaning. Merasa tertarik, Ed pun mengatakan diri untuk berinvestasi $10 ribu dengan uang yang rencananya akan ia sanggup lewat memeras Big Dave. Ed mengirimkan sebuah surat tanpa nama yang mengancam kalau Big Dave tidak membayar sejumlah itu, perselingkuhannya dengan Doris akan diketahui publik termasuk Ed. Awalnya semua nampak akan berjalan lancar disaat Big Dave justru mewaspadai orang lain yang mengancamnya, bukan Ed. Uang pun akibatnya berhasil ia dapat, namun banyak sekali insiden tidak terduga sudah menanti di depan Ed.
Tidak perlu diragukan lagi The Man Who Wasn't There punya gaya yang sangat menarik dalam merangkum filmnya khususnya untuk penghantaran atmosfernya. Pemilihan warna hitam-putih mendukung suasana kelam yang dimiliki oleh filmnya baik itu dari alur dongeng maupun dari abjad Ed Crane yang memang gloomy. Disinilah kehebatan Roger Deakins dalam menyajikan sebuah sinematografi terlihat jelas. Berbagai adegan terlihat begitu indah, mulai dari beberapa siluet, cahaya yang masuk lewat kisi-kisi dan secara samar menyinari gelapnya ruang, wajah yang tidak nampak secara utuh sebab tertutup bayangan, semuanya nampak begitu indah. Tapi gambarnya tidak hanya indah tapi juga mendukung atmosfernya. Suasana kelam tergambar dari warna hitam-putih itu. Berbagai bayangan dan siluet seolah menguatkan bahwa ada misteri yang tertutupi dalam kisahnya serta kegelapan yang terselubung dalam diri Ed Crane. Tidak hanya visualnya yang membangun, iringan musik gubahan Ludwig Van Beethoven yang lebih banyak didominasi diisi alunan piano yang sendu turut menggambarkan rasa kelam pada kisahnya. Adegan close-up wajah Billy Bob Thornton lengkap dengan warna kelam plus piano yang sendu berulang kali muncul dan sangat menggambarkan atsmofer kelamnya.
Dari gaya visualnya dan dasar ceritanya, The Man Who Wasn't There boleh saja terasa bagaikan sebuah penghormatan terhadap genre noir dimana banya terdapat gaya khas dari genre tersebut disana-sini. Namun film ini tetaplah tidak kehilangan ciri khasnya sebagai karya dari Coen Brothers. Fokus ceritanya masih akan melebar jauh dan bergerak kearah yang tidak terduga dalam timing yang tidak terduga pula di pertengahan filmnya. Akan ada momen abstrak disaat fokus ataupun warna ceritanya berubah drastis dimana lagi-lagi semua terjadi sebab aspek "kebetulan" yang mengiringi ceritanya. Keliaran dan kegilaan dalam bertutur itulah yang menjadi favorit saya dalam film-film Coen Brothers dimana terdapat banyak twist tidak terduga. Namun khusus untuk The Man Who Wasn't There, ceritanya yang bergerak liar itu gagal menyebabkan film ini lebih menarik. Cerita utama perihal Ed yang berusaha menghadapi dan memperbaiki kekacauan di sekitarnya berjalan kurang greget dan seolah Joel dan Ethan melupakan fokus utama itu untuk sanggup menebarkan twist demi twist yang mereka miliki. Saya akui twist yang muncul memang mengejutkan namun sebelum kejutan itu hadir, kisahnya berjalan tidak terlalu menarik dan mengurangi aspek emosional kisahnya.
Padahal kalau bicara soal sisi emosional, filmnya punya potensi untuk menjadi sangat emosional. Dengan atmosfer kelam, abjad yang gloomy, serta nasib kurang beruntung cenderung tragis yang ia alami filmnya sanggup terasa begitu emosional. Namun Coen nampak terlalu "bernafsu" menghadirkan jalan yang lebih gila, memutar serta berliku untuk hingga ke tujuan. Ya, jalan berliku dan memutar tersebut memang penuh kejutan menarik, dan saya lagi-lagi harus mengakui segala twist berbau kebetulan dan kesalah pahaman dalam film ini cukup cerdas nan tidak terduga. Tapi semua hal itu justru menjauhkan The Man Who Wasn't There dari potensi serta esensi utamanya mengenai seorang laki-laki dengan hidup kurang beruntung, dirundung sepi bahkan eksistensinya terasa tidak ada. Tapi untungnya masih ada performa memikat Billy Bob Thornton yang menyebabkan film ini tidak benar-benar kosong secara emosional dan rasa. Selalu ditemani rokoknya dan memasang ekspresi datar yang hampir selalu sama, karakternya mengajak kita untuk melihat bagaimana sepi dan busuknya hidup yang ia jalani. Wajah datarnya menggambarkan hidupnya yang berjalan datar, dan sekalinya muncul konflik, hal itu malah menciptakan hidupnya "membusuk". Toh pada akibatnya ia tidak meratapi perbuatannya. Yang ia sesali yaitu kenapa ia "hanya" menjadi seorang tukang potong rambut. Saya tidak oke kalau film ini disebut style over substance sebab terperinci style yang digunakan substansial membangun atmosfer dan karakternya, namun kedalaman emosional yang kurang tergali menciptakan The Man Who Wasn't There bukanlah karya yang Istimewa dari Coen Brothers.
Ini Lho The Man Who Wasn't There (2001)
4/
5
Oleh
news flash