Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho Mood Indigo (2013)

Michel Gondry ialah sutradara yang populer dengan gaya visualnya yang unik hingga menciptakan narasi filmnya menjadi terasa imajinatif, surreal dan penuh dengan fantasi dimana-mana. Karya terbaiknya dan juga salah satu film favorit aku sepanjang masa tentu saja ialah Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Film itu juga merupakan kerja sama keduanya dengan penulis naskah Charlie Kaufman yang juga punya style sureal dalam penulisan naskahnya. Karir Gondry benar-benar melambung sesudah kesuksesan tersebut sebelum alhasil menciptakan The Green Hornet yang dicela kritikus dan tidak terlalu sukses di pasaran meski punya bujet besar. Saya sendiri membenci film itu lantaran Seth Rogen yang menyebalkan dan bakat serta style Gondry disia-siakan demi sebuah komedi superhero yang sama sekali tidak lucu. Maka dari itu Mood Indigo yang menandai kembalinya Gondry ke style aslinya juga menjadi pertaruhan untuk mengembalikan nama baiknya. Turut dibintangi oleh si lovable Audrey Tautou (Amelie), film yang naskahnya ditulis oleh Luc Bossi dan Gondy ini diangkat dari novel karya Boris Vian yang berjudul Froth on the Daydream.

Kisahnya ialah ihwal Colin (Romain Duris), seorang perjaka yang kaya raya tanpa harus bekerja. Hidupnya diisi dengan fasilitas dan kebahagiaan bersama sang juru masak Nicolas (Omar Sy). Suatu hari ketika tengah makan siang bersama salah seorang sahabatnya, Chick (Gad Elmaleh), Colin yang selama ini merasa hidupnya lengkap alhasil menyadari bahwa ada yang kurang. Kekurangan itu ialah ketidak adanya cinta dalam hidupnya. Semenjak itu Colin pun bertekad untuk dapat jatuh cinta dan menemukan pendamping hidupnya. Akhirnya pada sebuah pesta Colin bertemu dengan Chloe (Audrey Tautou) dan tidak butuh waktu usang bagi mereka berdua untuk saling mencintai. Singkat kisah mereka berdua alhasil menikah dan melaksanakan bulan madu. Tapi disanalah babak gres kehidupan Colin dimulai ketika Chloe menderita sebuah penyakit parah akhir sebuah bunga water lily yang masuk ke dalam paru-parunya. 
Jika sebuah penyakit yang disebabkan sebuah water lily di dalam paru-paru terdengar aneh, tunggu hingga anda melihat bagaimana Gondry mengemas sinopsis yang nampak cukup normal diatas menjadi sebuah perjalanan penuh sajian visual unik dan penuh warna. Disini Gondry mengemas hampir semua aspeknya hingga yang terkecil sekalipun dengan kemasan yang abstrak menyerupai masakan yang bergerak dengan stop motion, sepatu yang dapat bergerak sendiri, bel pintu rumah yang menyerupai serangga, dan masih banyak lagi. Berbagai propert yan hadir disini hampir semuanya menghadirkan kesan sureal, begitu pula dengan beberapa momen yang penuh simbolisme dan hiperbola. Pengemasannya mengingatkan aku pada video klip Knives Out-nya Radiohead yang juga dibentuk oleh Gondry. Penyakit yang diderita Chloe sendiri jikalau di kehidupan faktual ialah tuberkulosis. Sedangkan penggunaan water lily sendiri lantaran bunga tersebut sering dipakai dalam literatur dan pusi Tamil sebagai perlambang dari murung yang muncul lantaran sebuah perpisahan (masuk nalar bukan?). Visual dari Gondry memang luar biasa liar disini dengan kecacatan yang mencapai tingkat maksimal, tapi jikalau diamati lagi tidak terlalu memusingkan. Banyak simbolisme yang abstrak tapi tidaklah sulit memaknai apa yang coba dihadirkan oleh Gondry setidaknya secara keseluruhan. Beberapa tataran kecil memang tetap uniexplainable bagi aku tapi itu tidak mempengaruhi keseluruhan cerita.
Mood Indigo terasa sebagai proyek balas dendam yang egois dari Gondry. Seolah ia ingin menumpahkan kekesalannya akhir The Green Hornet dengan menciptakan film yang semau ia tanpa mempedulikan orang lain termasuk penonton. Memang gaya Gondry disini terasa sedikit kebablasan dan terlalu abnormal bahkan jikalau dibandingkan Eternal Sunshine of the Spotless Mind sekalipun. Saya tidak akan heran jikalau ada penonton yang merasa muak lantaran itu, meski bagi aku sendiri kecacatan berlebihan itu termaafkan berkat gaya visualnya yang amat menarik. Film ini berhasil menciptakan aku tidak berpaling sedikitpun lantaran tidak ingin melewatkan sedetik saja festival visual gila yang dihadirkan Gondry, dan bagi aku itu sudah merupakan nilai positif. Tapi begitu filmnya mendekati simpulan dimana tone ceria itu mulai bermetamorfosis kelam dan visual penuh warnanya tanpa aku sadari telah beralih menjadi hitam putih, aku alhasil paham alasan Gondry mengemas filmnya sedemikian rupa. Semua ini bukan sekedar kegilaan tak terkontrol tapi untuk menawarkan kesan kontras dalam dua belahan filmnya. Keceriaan dan warna-warni diawal begitu terasa sehingga ketika semuanya bermetamorfosis bencana yang dibungkus dalam monochrome efeknya jadi lebih kuat. Seperti judunya, segala hiperbola dalam visual Mood Indigo terasa abnormal lantaran memang semua itu menggambarkan mood, menggambarkan sebuah rasa. Film ini lebih kepada penggambaran "rasa" daripada sebuah narasi biasa.

Hal tersebut memang amat berhasil membangun keterikatan aku pada perasaan filmnya, lantaran jikalau Gondry menanggalkan semua visualnya, maka karakter-karakter yang ada termasuk kedua aksara utama tolong-menolong kurang tergali. Tentu saja Audrey Tautou sebagai Chloe ialah aksara yang amat sangat gampang untuk dicintai, tapi tidak begitu dengan korelasi yang ia jalin bersama Colin. Jika hanya bermodalkan Tautou saja mungkin penonton hanya akan bersimpati pada Chloe, tidak pada hubungannya dengan Colin. Tapi berkat keceriaan yang hadir dalam visualnya, simpati akan korelasi itupun hadir. Mood Indigo pada alhasil memang amat memuaskan. Semua ini bukan hanya sajian visual belaka tapi juga berhasil menghadirkan romansa yang menyentuh. Saya berhasil terbawa oleh pengemasan Gondry sehingga tidak sadar disaat secara perlahan tone filmnya mulai berubah, dan disaat filmnya berakhir dan melamun sesaat, barulah aku ikut mencicipi kesedihan dan sesak yang cukup mengena. Ternyata dibalik semua momen abstrak visualnya,  Mood Indigo merupakan sebuah bencana yang menyedihkan dan "jahat". Andai saja durasinya yang sedikit diatas dua jam itu dipangkas, mungkin film ini bakal menjadi yang terbaik bagi aku tahun ini.

Artikel Terkait

Ini Lho Mood Indigo (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email