Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho Of Horses And Men (2013)

Seekor binatang dengan pemiliknya, dapat jadi punya ikatan yang besar lengan berkuasa bahkan tidak jarang sang binatang merepresentasikan sosok majikannya. Film asal Islandia yang menjadi debut penyutradaraan dari Benedikt Erlingsson ini akan membawa penontonnya melihat kehidupan orang-orang di sebuah pedesaan di Islandia dengan kuda-kuda mereka. Saya tidak perlu tahu sinopsis film ini atau fakta bahwa Of Horses and Men merupakan perwakilan Islandia di ajang Oscar 2014 untuk tertarik menontonnya. Cukup dengan melihat poster filmnya itu dan saya pun antusias. Sebuah poster yang cukup gila, tapi ternyata belum segila apa yang dihadirkan oleh keseluruhan filmnya. Berlatar di sebuah desa, film ini berisikan beberapa kisah ihwal beberapa warga desa dimana masing-masing kisah dibuka dengan adegan mata yang menatap sesuatu (bisa mata kuda, dapat juga mata manusia). Karena lebih banyak didominasi warga desa tersebut hobi atau beternak kuda, maka jadilah setiap dongeng selalu melibatkan kuda di dalamnya. Tentu saja menyerupai yang sudah saya bilang masing-masing dongeng punya kegilaan di dalamnya. Sebuah kegilaan yang hadir di tengah kesan realisme, alur agak lambat, kesan hambar pedesaan Islandia, dan pada momen tidak terduga. 

Dengan pengemasan dan atmosfer menyerupai itu, tidak ada yang mengira Of Horses and Men akan dihiasi banyak komedi gelap yang brutal, dan pada alhasil semakin menguatkan kesan shocking pada penonton. Beberapa kegilaan yang dihadirkan Benedikt Erlingsson pada filmnya ini antara lain kuda yang bekerjasama seks (seperti pada poster film), banyak kekejaman, kekerasan, kematian, hingga salah satu yang paling gila ialah yang menampilkan tornado salju dan menciptakan sang pemilik kuda harus mencari cara untuk berlindung dari udara dingin. Film ini pun jadi semakin terasa asing berkat kesintingan tersebut, tapi pada alhasil memang rasa kaget dan umpatan-umpatan yang keluar dari lisan saya ketika menonton ialah bukti betapa menghiburnya kegilaan komedi hitam film ini. Tapi yang menarik bukan hanya komedi hitamnya saja, tapi juga observasi terhadap masing-masing karakter. Masing-masing dari mereka ada yang terasa menggelikan, menyedihkan, ternoda harga dirinya, kehilangan kepercayaan diri, terbakar cemburu, dan pada alhasil semua itu banyak berujung pada kekejaman yang mereka lakukan. 
Tapi sayangnya observasi yang menarik pada tiap-tiap abjad tidak juga diimbangi oleh pembangunan kekerabatan antara masing-masing dari mereka. Secara keseluruhan ada beberapa interaksi/hubungan yang coba dibangun, tapi tidak ada satupun yang berhasil terasa maksimal. Banyaknya kisah yang coba dihadirkan dan fokus utama lebih pada pendalaman secara inividu menciptakan kekerabatan inter personal mereka jadi kurang tergali. Patut disayangkan, alasannya konklusi dari film ini cenderung mengarah pada kekerabatan mereka, sehingga film ini pun ditutup dengan sebuah konklusi yang kurang memuaskan. Segmen-segmen yang ada pun tidak semuanya tampil maksimal. Mayoritas dongeng memang amat menarik, bahkan ada sebuah kisah yang amat pendek tapi terkesan menggigit dengan menampilkan pemotongan penis kuda, tapi ada satu kisah yang terasa kurang menarik, amat jauh kalau dibandingkan dengan yang lain. Kisah tersebut ialah yang menampilkan Joanna, seorang perempuan yang begitu andal mengendalikan kuda. Dibandingkan yang lain, dongeng Joanna terlalu ringan, terlalu cerah, dan amat minim komedi hitam, seperti berasal dari dunia yang berbeda. Mungkin Erlingsson tidak ingin penonton bosan dengan segmen yang sama, tapi pada alhasil langkah itu malah menciptakan kisah Joanna menjadi titik terendah film ini.
Of Horses and Men seolah terlihat begitu kejam pada kuda-kudanya, tapi yang saya rasakan justru sebaliknya, alasannya film ini memperlakukan kuda bukan hanya sebagai seekor binatang dan pelengkap, tapi merupakan abjad penting yang turut membantu jalannya cerita. Saya rasa itu jugalah alasan kenapa Erlingsson banyak menampilkan adegan mata kuda, untuk menunjukkan bagaimana mereka juga bahwasanya ialah makhluk hidup dengan perasaan, ekspresi dan cara pandang terhadap dunia yang terkadang kurang diperhatikan oleh manusia. Banyak insan tidak bermasalah menyiksa atau menyakiti kuda (bahkan sekedar untuk menciptakan mereka patuh ketika ditunggangi) alasannya insan merasa kuda itu tidak kana menangis, tidak akan berteriak, dan tidak berpersaan. Namun Of Horses and Men secara tersirat menunjukkan kuda yang jauh lebih dalam dari itu. Dengan binatang yang terasa berperasaan, kisah-kisah asing yang ber-setting hanya di sebuah pedesaan, film ini pun jadi terasa menyerupai sebuah dongeng. 

Pedesaan Islandia yang dikelilingi gunung, sering bersalju dan menawarkan kesan hambar yang luar biasa pun berhasil menjadi sebuah panggung yang tepat bagi film ini. Dengan lokasi menyerupai itu, atmosfer kelam, hambar dan rasa kekejaman pun berhasil semakin diperkuat. Sinematografi garapan Bergsteinn Bjorgulfsson menangkap dengan begitu baik suasana alam tersebut. Hal itu juga semakin mendukung keputusan dari Benedikt Erlingsson untuk lebih banyak bercerita lewat gambar daripada dialog. Ekspresi lebih banyak berbicara daripada kata-kata. Tatapan mata lebih banyak bertutur daripada ungkapan dari mulut. Semuanya pun menjadi terasa lebih dalam, lebih nyata, lebih natural, tidak ada lagi kesan "dibuat-buat" atau kebohongan yang seringkali hadir dalam sebuah kata-kata. Pada bab pertengahan film selama beberapa puluh menit subtitle yang saya gunakan untuk menonton film in tidak bekerja, tapi itu tidak menciptakan saya gagal memahami apa yang dimaksud oleh tiap-tiap adegan. Of Horses and Men sukses menyuguhkan keindahan yang asing dengan berbasis pada visual. Bukankah "diam" kadang kala berbicara lebih jujur daripada kata-kata?

Artikel Terkait

Ini Lho Of Horses And Men (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email