Review Film Terbaik: Ini Lho Rio 2 (2014)

Diluar franchise Ice Age yang akan memasuki seri kelimanya dua tahun lagi, Blue Sky Studios tidaklah mempunyai film animasi lain yang mendapat kesuksesan besar di Box Office. Disaat film-film Ice Age semakin meningkat pendapatannya bahkan film keempatnya berhasil meampaui $877 juta, film-film mereka lainnya tidak sanggup menembus angka $300 juta meski secara kualitas bersama-sama tidak mengecewakan bagus. Karena itulah disaat tiga tahun kemudian Rio sukses mengumpulkan lebih dari $480 juta yang mana itu mengungguli pendapatan film pertama Ice Age, Blue Sky segera ancang-ancang untuk meluncurkan franchise animasi mereka berikutnya. Film pertama Rio memang sukses besar berkat jalan dongeng sederhana yang dibalut petualangan seru serta animasi warna-warni cerah yang sukses menyegarkan mata penontonnya. Kesuksesan Rio pun meramah media lain termasuk game lewat Angry Bird Rio. Maka dari itu Blue Sky Studios yang berharap banyak pada franchise baru mereka ini rela menggelontorkan dana $103 juta untuk Rio 2, sebuah angka yang merupakan bujet tertinggi dari film animasi milik Blue Sky hingga ketika ini. Tugas dari sutradara Carlos Saldanha pun hanya satu, yakni menciptakan sebuah sekuel yang jauh lebih besar, lebih meriah dan tentunya lebih seru. Sebuah formula paling standar bagi sebuah sekuel yang agar bagaimanapun sering menjadi faktor kesuksesan sebuah sekuel meski terkadang malah menghancurkannya.

Dalam Rio 2, Blu dan Jewel sekarang sudah hidup senang di tengah gegap gempitanya kota Rio de Janeiro. Bahkan kebahagiaan mereka berdua semakin lengkap dengan hadirnya tiga orang anak, Carla, Bia dan Tiago. Blu sekarang harus berguru menjadi ayah yang baik. Berat memang, tapi ia senang dengan semua kehidupan berkeluarga ini. Sampai suatu hari mereka melihat gosip di televisi yang memperlihatkan Linda dan Tulio tengah berada di Amazon dan berhasil menemukan keberadaan burung macaw biru selain Blu dan Jewel. Mengetahui hal tersebut, Jewel yang selama ini mengira bahwa ia dan Blu merupakan sisa terakhir dari spesies mereka eksklusif mengajak keluarganya untuk terbang ke Amazon dengan impian bisa bertemu burung-burung lain yang sejenis dengan mereka. Bagi Blu yang selama ini sudah hidup nyaman, perjalanan jauh ke Amazon dan harus melintasi hutan liar terperinci bukan kasus mudah. Hal itu berbeda dengan Jewel yang justru ingin ketiga anaknya mencicipi bagaimana hidup di habitat orisinil mereka sebagai burung liar yang tidak hidup menyerupai manusia. Tapi gangguan ternyata banyak menunggu mereka dalam perjalanan itu. Yang pertama yakni Nigel, burung kakatua yang berniat membalas dendam pada Blu. Sedangkan gangguan kedua muncuul dari para penebang hutan liar yang tidak suka dengan perjuangan Linda dan Tulio untuk menjaga kelestarian hutan Amazon.

Sebuah film dengan judul Rio 2 yang mengambil secara umum dikuasai lokasinya di hutan Amazon memang terdengar begitu dipaksakan. Apalagi melihat posternya yang diengkapi tagline menggelikan "It's on in the Amazon" itu. Tapi biarlah, toh hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan buruk Hollywood yang sudah sepantasnya kita lupakan sejenak ketika menyaksikan sebuah film yang bertujuan hanya untuk hiburan ringan. Kaprikornus apakah sekuel ini menghibur? Saya bersama-sama tidak berekspektasi tinggi kepada film ini. Saya tahu filmnya akan lebih memberatkan hiburan bagi penonton anak-anak, dan alasannya bagi saya pribadi film pertama Rio tidak bagus-bagus amat. Harus diakui visualnya yang penuh warna itu bagus, tapi sisanya tidak ada yang spesial. Standar film animasi untuk anak-anak, hanya itu. Ekspektasi rendah saya eksklusif terbukti dari awal ketika fimnya dibuka dengan pesta tahun gres penuh tarian, nyanyian dan kembang api di Rio. Meriah memang, tapi hampa. Salah satu poin yang paling klise kalau tidak boleh dibilang busuk dalam film animasi. Sebelum menonton saya berani taruhan bahwa film ini niscaya diakhiri dengan nomor musikal, tapi membukanya dengan musikal juga sudah menciptakan saya yakin bahwa Rio 2 akan menjadi sebuah tontona yang bakal melempar hiburannya secara random tanpa kenal lelah.

Kelemahan terbesar Rio 2 terletak pada rangkaian adegan demi adegannya yang tidak terasa sebagai sebuah satu kesatuan utuh. Film ini khususnya pada bab awal hingga pertengahan lebih terasa menyerupai serpihan adegan komedi kekanakan serta musikal yang sesuungguhnya bukanlah satu kesatuan tapi dipaksa untuk menjadi satu. Hasilnya kacau. Paruh pertama film ini yakni kekacauan luar biasa yang memperlihatkan dengan terperinci bahwa naskah yang ditulis secara keroyokan oleh keempat penulis ini kehabisan wangsit untuk berbagi ceritanya. Fokus serta konflik utama dari film ini gres mulai disentuh sesudah filmnya berjalan hampir setengahnya. Sebelum itu, sama menyerupai yang saya katakan sebelunya dimana film ini terasa sebagai adonan adegan-adegan yang tidak koheren. Bayangkan saja beberapa episode serial Larva dipaksakan untuk digabung menjadi sebuah film panjang. Mungkin ada yang menghibur, tapi tentu saja tidak menjadi satu kesatuan yang utuh dan baik. Untung semua itu tidak berjalan hingga akhir, alasannya kalau iya maka Rio 2 sudah menjadi salah satu film animasi terburuk yang pernah saya lihat. Memasuki pertengahan disaat Blu telah datang di Amazon, film ini terasa jauh lebih baik. Tidak Istimewa tapi dibandingkan paruh awalnya yang buruk itu, paruh keduanya jauh lebih bagus, lebih rapih, dan tentunya sudah punya fokus permasalahan yang jelas.

Paruh keduanya yang banyak berfokus pada perjuangan Blu pertanda kemampuan dirinya meman menarik. Saya sendiri begitu bersimpati pada Blu dan sangat berharap bahwa ia berhasil pertanda kemampuannya. Ada beberapa adegan yang cukup berhasil menciptakan saya ikut mencicipi rasa sakit dan kecewa yang dirasakan oleh Blu. Saya juga menyukai fakta bahwa komedi dan momen musikal di paruh kedua film jauh lebih baik. Saya berhasil beberapa kali dibentuk tertawa oleh komedinya dengan humor kura-kura capoeira sebagai salah satu favorit saya. Adegan musikal di audisi bazar pun terasa cukup menarik dengan menggabungkan aspek musikal yang kreatif dengan beberapa humor yang lucu. Paruh keduanya memang jauh lebih menghibur dan lebih punya perasaan, tapi juga bukannya tanpa celah. Saya berharap pada klimaksnya akan ada agresi heroik dari Blu sebagai pembuktian kehebatan dirinya, tapi yang hadir hanyalah sebuah agresi biasa saja yang bukannya dilakukan dengan menonjolkan Blu tapi men-downgrade-kan karakter-karakter lain macam Roberto. Momen klimaksnya pun terasa datar dan tidak begitu seru. Sosok villain manusia yang hadir sama sekali tidak menarik, bahkan porsinya masih kalah dibandingkan Nigel yang lebih pantas disebut sebagai joke villain.

Rio 2 masih punya visual anggun menyerupai film pertaanya, tapi tidak ada peningkatn signifikan yang membuatnya tidak lagi terasa segar. Masih banyak huruf burung eksotis yang punya desain menarik tapi lagi-lagi saya sudah melihat itu di film pertamanya yang membuatnya tidak lagi fresh. Mayoritas huruf gres yakni dari Istimewa macaw biru, dan tentu saja itu bukan jenis burung gres alasannya sama dengan Blu meski banyak yang mendapat modifikasi pada jambulnya. Paruh pertamanya kacau, dan sangat buruk. Paruh keduanya cukup menolong dengan emosi yang terasa dan kesejukan humor yang lebih lucu. Saya juga cukup terkejut mendapati beberapa konten remaja yang berubungan dengan kekerasan dan sediki sadis ada disini (manusia ditelan anakonda?) Tapi toh itu tidak cukup untuk mengakibatkan film ini sebagai film yang memuaskan. Apalagi daya tariknya kembali menurun justru ketika memasuki klimaksnya yang terasa begitu datar, jauh dari kata seru. Saya raa franchise Rio seharusnya tidak boleh hingga disini alasannya bukan mustahil kualitasnya bakal semakin menurun kalau terus dilanjutkan (saya lebih menyukai film pertamanya daripada sekuelnya ini). Tapi dilihat dari kesuksesan di Box Office film ini yang hampir menyamai film pertamanya ($480 juta) rasa-rasanya Rio 3 akan rilis tidak lebih dari empat tahun lagi.