Review Film Terbaik: Ini Lho The Abcs Of Death (2012)

Pertama mendengar kabar pembuatan film ini saya luar biasa antusias. Bagaimana tidak, inspirasi menggabungkan 26 sutradara horror tergila di seluruh dunia dalam satu film memang terdengar sebagai sebuah inspirasi yang jenius. Saya bertambah antusias lagi ketika mendengar bahwa salah satu sutradara Indonesia, yaitu Timo Tjahjanto (Mo Brothers) termasuk salah satu dari 26 sutradara tersebut dimana beliau menerima pecahan menggarap abjad L. Ya, disini kita akan melihat 26 film pendek yang masing-masing filmnya mewakili tiap abjad alfabet secara urut mulai dari A-Z. Semua filmnya akan membawa kita pada dongeng wacana kematian! Bisa dibilang ini ialah sebuah tontonan mengenai "26 ways to die". Meski pada alhasil The ABCs of Death tidak menawarkan keseraman menyerupai yang saya harapkan tetap saja ini ialah sebuah film yang cukup menyenangkan ditonton dan menyenangkan untuk dibicarakan, jadi dalam review ini saya akan sedikit mengulas satu per satu filmnya mulai dari A hingga Z. Perjalanan kita diawali oleh segmen A is for Apocalypse yang merupakan sebuah pembuka yang menjanjikan. Menampilkan sedikit gore dan punya suasana sedih nan kelam. Pembuka yang menciptakan saya tertarik mengikuti rangkaian parade kematian berikutnya.

Tapi saya justru dibentuk bosan dengan B is for Bigfoot yang ternyata tidak punya Bigfoot yang menakutkan dan C is for Cycle yang terperinci tidak cocok sebagai sebuah film pendek dan berakhir dengan begitu hampa. Baru pada segmen D is for Dogfight yang dikemas lewat dampak slo-mo indah, punya tensi menegangkan dan mempunyai twist yang anggun saya dibentuk kembali tertarik. E is for Exterminate sayangnya kembali terasa datar dan tidak menyeramkan dengan konsep dongeng yang juga terasa malas untuk ditulis secara lebih kreatif dan gila. Untungnya ada Noboru Iguchi lewat F is for Fart yang menyerupai biasa menjadi film gila, konyol dan kocak dari sutradara asal Jepang ini. Saya dibentuk tertawa terbahak-bahak dan bersumpah serapah disini. G is for Gravity juga memperlihatkan betapa malasnya sang sutradara mengemas kisah ini dan mengapilkasikan gravitiy sebagai penyebab kematian. Dikemas dengan format firs person camera memang jadi nilai plus tapi kematian yang ada terperinci biasa saja. H is for Hyrdo-Electric Diffusion adalah sebuah konsep kegilaan yang unik, asing nan menyenangkan untuk ditonton meski lebih kental unsur slapstick comedy daripada horor. I is for Ingrown bisa jadi sebuah film panjang yang anggun menyerupai Martyrs. Namun sebagai film pendek, segmen ini tidak terlalu Istimewa meski juga tidak buruk.

J is for Jidai-geki membuktikan bahwa sineas horor Jepang selalu punya inspirasi gila dalam menggabungkan horor penuh darah dengan komedi yang bisa menciptakan saya sakit perut jawaban tertawa. Kematian disajikan lewat ironi yang konyol disini. K is for Klutz dalam balutan animasinya cukup menarik secara visual, meski lagi-lagi lebih terasa unsur komedi daripada horornya tapi masih cukup menghibur. L is for Libido membuat saya begitu gembira menjadi penikmat film dari Indonesia. Timo Tjahjanto menghadirkan sebuah kegilaan dengan konsep dongeng yang edan, penuh darah, dengan unsur pedofilia di dalamnya. Salah satu segmen yang digarap paling serius dan ironisnya berlajut kepada M is for Miscarriage yang digarap paling malas-malasan dan menjadi segmen paling buruk. Ada apa dengan Ti West yang notabene paling punya nama besar disini? N is for Nuptials adalah sebuah segmen dari sutradara Banjong Pisanthanakun (Shutter, 4Bia, Hello Stranger) yang lucu dan punya konsep yang kreatif. Hati-hati pada burung beo yang cerewet! O is for Orgasm punya sinematografi paling indah nan artistik. Pendekatan konsepnya juga kreatif.dimana tidak ada kematian secara nyata, alasannya ialah orang Prancis sering menyebut orgasme sebagai little death. Segmen yang seksi sekaligus indah. P is for Pressure juga menawarkan konsep pressure dalam dua artian. Satu tekanan dari perasaan, dan satu lagi ialah tekanan dalam artian yang sebenarnya. Tapi sayang tidak terasa mengerikan ataupun menyentuh.

Q is for Quack terasa bagaikan Adaptation versi horor. Konsep menyerupai ini sudah tidak lagi se-kreatif 10 tahun yang kemudian dan menciptakan segmen ini berlalu biasa saja bahkan mengecewakan. R is for Removed adalah sebuah body horror ala David Cronenberg yang cukup menjijikkan dan bisa menciptakan saya ngeri. Srdjan Spasojevic yang menciptakan A Serbian Film mampu mengemas horor penuh kegilaan ini dengan dongeng wacana penggunaan 35mm film dalam sinema. S is for Speed punya perempuan seksi dan sebuah twist yang tidak mengecewakan di dalamnya dengan pernak-pernik setting dan karakter yang menarik. T is for Toilet karya Lee Hardcastle yang memenangkan kontes untuk memenangkan slot film "T" ini terperinci sebuah segmen dengan gore yang sangat menghibur. Segmen gila dan sangat bagus. U is for Unearthed mengambil sudut pandang orang pertama menyerupai G is for Gravitiy, hanya saja segmen "U" ini lebih baik. Tapi mengambil sudut pandang sebagai sosok vampir dan bukannya sang korban justru mengurangi keseraman dan ketegangan segmen ini. V is for Vagitus punya konsep menarik wacana prophecy dan dikemas dengan dampak yang tidak main-main. Tapi segmen ini lebih pantas dan akan jauh lebih anggun kalau dikemas sebagai film panjang. W is for WTF mengambil pendekatan menyerupai Q is for Quack dan memang WTF tapi dalam hal negatif. Bisa jadi sebuah konsep yang menarik dan gila, sayang punya kemasan editing yang terlalu amburadul alasannya ialah ingin menawarkan kesan WTF. X is for XXL jadi salah satu segmen terbaik wacana obesitas. Punya banyak darah dan adegan gore yang sanggup menciptakan ngilu dan ending yang penuh ironi.

Y is for Youngbuck adalah salah satu segmen yang pas sebagai film pendek dan bisa menarik sebagai film panjang. Horor dari seorang pedofilia. Sebagai epilog ada Z is for Zetsumetsu dari Nishimura yang selalu populer lewat filmnya yang penuh kegilaan tanpa logika, dongeng ngawur dan sinting, juga darah serta potongan badan yang berhamburan. Semua itu ada di segmen ini yang juga sebagai satir wacana dunia Barat dan Timur. Segmen ini juga memparodikan Dr. Strangelove karya Kubrick. Penutup yang begitu "mewah" dan sangat memuaskan bagi saya. Secara keseluruhan The ABCs of Death tidak se-horror yang saya bayangkan. Banyak segmen yang lebih mementingkan kata "kematian" daripada kata "horor" dan itu sangat disayangkan dimana keduanya tidak selalu berhasil dipadukan. Kelemahan film omnibus juga kembali terasa disini, dimana filmnya menjadi tidak konsisten secara kualitas. Ada yang digarap maksimal, ada yang malas, ada yang pas untuk film pendek, ada juga yang lebih cocok sebagai film panjang. Ironisnya, sineas-sineas Asia yang ikut ambil pecahan disini justru begitu maksimal mulai dari tiga segmen Jepang yang sinting dan keren, Thailand yang lucu, dan Indonesia lewat Timo Tjahjanto yang begitu luar biasa mneghadirkan teror lewat film pendek. Bukti perfilman horor Asia masih bertaji. Lima segmen favorit saya ialah D, F, O, X dan tentunya L karya Timo yang luar biasa. Secara keseluruhan saya masih bisa menikmati The ABCs of Death, meski tidak sebaik yang saya harapkan.