Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho American Horror Story - Coven (2013)


 
Serial American Horror Story memasuki animo ketiganya sesudah animo keduanya yang merupakan peningkatan drastis dari animo pertamanya itu. (Review season 1 dan season 2). Makara sesudah rumah hantu dan rumah sakit jiwa yang penuh kegilaan itu, serial buatan Ryan Murphy dan Brad Falchuk ini akan membawa kita ke sebuah dunia penuh penyihir dan ilmu hitam. Seperti judulnya, Coven ialah kisah ihwal sebuah "perkumpulan" perempuan yang berkedok sebuah sekolah tapi di sesungguhnya merupakan daerah untuk membimbing para penyihir muda yang masih berusaha mengendalikan potensi kekuatan mereka. Sekolah yang terletak di New Orleans ini dikepalai oleh Cordelia Foxx (Sarah Paulson). Cordelia sendiri ialah perempuan yang baik dan begitu mencintai murid-muridnya yang masih belum bisa mengendalikan kekuatan dan belum mengetahui bagaimana menyikapi jati diri mereka sebagai seorang penyihir. Meski Cordelia ialah kepala dari "sekolah" tersebut, hingga kini ia masih hidup di bawah bayang-bayang sang ibu, Fiona Goode (Jessica Lange) yang merupakan "Supreme" alias pemimpin dari Coven tersebut. "Supreme" ialah penyihir yang dianggap terkuat, dan menguasai tujuh kekuatan berbeda, dimana sebelum dipilih ia akan melalui tes yang berjulukan "The Seven Wonders". Meski bertugas melindungi kaumnya, Fiona ialah supreme yang egois dan hanya memikirkan kenikmatan hidup serta kekuasaannya sendiri.
The coven
Disaat sang supreme terlihat tidak mempedulikan para kaumnya, coven tersebut tengah terancam alasannya ialah jumlah mereka semakin usang semakin berkurang. Selain Cordelia dan Fiona, di daerah itu hanya ada empat gadis lainnya. Para gadis yang tinggal disana mempunyai banyak sekali macam kekuatan yang berbeda-beda. Zoe Benson (Taissa Farmiga) sang murid gres bisa membunuh semua orang yang bekerjasama seks dengannya, termasuk pacarnya yang tewas mengenaskan dikala bekerjasama seks dengan Zoe. Ada juga Madison Montgomery (Emma Roberts), mantan aktris Hollywood yang kecanduan drugs punya kemampuan memindahkan benda dengan pikirannya. Queenie (Gabourey Sidibe) ialah human voodoo doll yang bisa memindahkan luka serta rasa sakit pada tubuhnya ke orang lain. Terakhir ada nan (Jamie Brewer), seorang gadis dengan down syndrome yang bisa mendengar isi pikiran orang lain. Mereka berempat seharusnya saling melindungi satu sama lain dalam kondisi coven yang tengah diterpa krisis ibarat kini ini, tapi ego masing-masing dari mereka menghambat itu. Madison dengan segala keegoisan dan tingkah ala superstarnya selalu menciptakan duduk kasus termasuk dikala ia membunuh para berakal balig cukup akal laki-laki sesudah ia diperkosa oleh mereka. Salah satu yang tewas ialah Kyle (Evan Peters), laki-laki yang memendam perasaan pada Zoe, begitu juga sebaliknya. Konflik lain pun mulai muncul satu demi satu, mulai dari bahaya para witch hunter, pertempuran kekal dengan pengguna voodoo pimpinan Marie Laveau (Angela Bassett), bahkan bahaya dari dalam akhir ambisi Fiona untuk terus berkuasa sebagai supreme.
Super-crazy-bitch-witch

Seperti Asylum, bekerjsama Coven tidaklah dimulai dengan begitu meyakinkan. Bitchcraft yang merupakan episode pertamanya tidak berhasil memperlihatkan "gedoran' horor ibarat seharusnya. Bahkan episode pertama dari animo keduanya masih punya sentuhan horor yang tidak mengecewakan dengan kemunculan Bloody Face. Sedangkan animo ketiga ini dibuka dengan biasa saja. Ada para penyihir dengan kemampuan yang unik tapi tidak ada cengkeraman horor ibarat yang biasa dilakukan oleh episode-episode pembuka AHS sebelumnya. Barulah pada episode kedua Coven tancap gas. Setelah inovasi Madame Laurie beserta kisah masa lalunya yang penuh kesadisan, animo ketiga ini terus berjalan cepat bahkan terus melaju dengan banyak sekali kegilaan horornya yang menyenangkan. Pendapat penonton akan Coven memang terpecah. Ada yang menyebutnya sebagai animo terbaik, ada pula yang mencelanya sebagai sajian terburuk dari rangkaian kegemilangan AHS. Saya pun mengerti alasan perbedaan pendapat tersebut. Tidak ibarat Asylum yang meski penuh dengan kegilaan serta darah dimana-mana namun tetap punya jalinan kisah yang kompleks dan bisa dibilang cerdas, Coven lebih berkonsentrasi menyajikan hiburan. Paruh pertama musimnya lebih terasa sebagai sebuah film eksploitasi yang campy dengan darah bermuncratan, badan yang dimutilasi dan banyak sekali momen gore lainnya. Bicara soal tingkat gore, animo ketiga AHS ini memang tidak tertandingi. Menonton Coven bagaikan adonan dari torture porn macam Hostel dengan b-horor ibarat Evil Dead dan Braindead-nya Peter Jackson.
New Orleans zombie chainsaw massacre!
Bahkan kalau bicara ihwal Evil Dead, episode kelima yang berjudul Burn, Witch. Burn! merupakan sebuah tribute yang menyenangkan lengkap dengan zombie dan gergaji mesin. Tentu saja bergalon-galon darah. Dari awal hingga akhir, Coven berjalan dengan begitu cepat, penuh ketegangan dan eksploitasi yang membuatnya tidak pernah terasa membosankan dan menjadi sebuah sajian horor yang luar biasa menghibur. Memang semua itu menciptakan animo ketiganya ini terasa mengorbankan keseramannya, tapi toh bukannya tidak ada horor sama sekali. Daripada horor yang menciptakan penontonnya ketakutan atau terhentak, Coven lebih mengarah kepada horor eksploitas yang disturbing, gory dan menyakitkan. Mungkin inilah yang menciptakan banyak orang menyebut animo ketiga sebagai yang terburuk. Tapi saya tidak masalah, alasannya ialah toh semuanya masih sangat menyenangkan. Tapi kalau ada hal negatif dari Coven bekerjsama itu ialah kekurangan dari AHS yang terus terulang dari animo pertama hingga ketiga ini, yaitu penyuguhan banyak sekali konflik yang begitu cepat muncul dan begitu cepat selesai. Banyak konflik yang terlihat sebagai sebuah bahaya major tiba-tiba saja terselesaikan dan kemudian pribadi dipaksakan berlanjut ke konflik berikutnya yang mendapat perlakuan sama. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya kisah dalam AHS, dan penyelesaiannya yang cepat terasa disengaja semoga tidak terasa bertele-tele dan menjaga temponya semoga tidak melambat. Maksud yang manis tapi sayangnya tidak berhasil dengan manis pula.
The immortal racist bitch
Jika Murder House punya kisah yang cukup kompleks tapi tidak terlalu "sesak", beda halnya dengan Asylum dan Coven. Kisahnya nampak begitu kompleks dan rumit, begitu pula dengan korelasi antar karakternya. Saya yakin kalau anda terlewat satu episode saja, anda akan kesulitan memahami apa yang terjadi serta korelasi yang terjalin antar karakternya. Menjaga tempo memang baik, tapi lebih penting lagi menciptakan penonton terikat dengan konfliknya. Sebenarnya Coven berhasil menciptakan saya terikat dengan tiap-tiap konfliknya, hanya saja konklusi yang mendadak dan terkesan menggampangkan membuatnya terasa mengecewakan. Saya suka konflik ihwal Fiona, seorang huruf yang kompleks dan ibarat dengan huruf yang dimainkan oleh Jessica Lange di musim-musim sebelumnya. Wanita yang bitchy, egois, simpel dibenci, tapi ada hal lain dalam dirinya yang bisa saja setiap dikala mengambil simpati penonton. Saya selalu menyukai huruf yang ia perankan termasuk Fiona alasannya ialah hal itu. Saya bisa membencinya, tapi juga bisa menyukainya. Kisah menarik lainnya ialah ihwal Madame LaLaurie yang dimainkan oleh Kathy Bates yang fenomenal itu. Ada kisah redemption yang menarik, menyentuh sebelum hasilnya di-twist dengan "kejam' mendekati final musim. Bicara soal karakter, saya tentunya masih menyukai Lily Rabe yang kini berperan sebagai penyihir eksentrik berjulukan Misty yang bisa membangkitkan orang mati. Seperti animo sebelumnya, Lily Rabe menghadirkan huruf yang menarik hati (I love her!)
The super-hot witch
Ya, tentu saja akan ada banyak twist gila yang tidak terduga disini. Kebanyakan twist-nya mengandung kesan tragis yang kelam, termasuk banyak konklusi pada finale-nya. Untuk finale-nya bagi saya pribadi ialah yang terbaik dibandingkan dua animo sebelumnya. Masih ada penyelesaian yang terburu-buru memang, tapi hadirnya banyak momen shocking membuatnya terasa lebih menggigit. Saya sebelumnya berharap akan ada pertempuran epic antara penyihir melawan voodoo atau pemburu penyihir sebelum hasilnya kedua konflik itu diselesaikan dengan...yah terburu-buru. Tapi ada kisah setimpal ihwal The Seven Wonders yang sanggup menciptakan saya bisa tersenyum lebar. 
The Seven Wonders
Untuk teknisnya sendiri, Coven masih dihiasi scoring indah mulai dari La La La milik James Levine hingga Sarabande milik Handel. Masih ada juga opening sequence yang semakin gila dan kali ini mengambil setting outdoor. Secara keseluruhan Coven masih melanjutkan perjalanan brilian dari serial American Horror Story. Penuh dengan kisah serta huruf yang sinting dan twisted, jalinan kisah kompleks, dan kali ini tersaji dengan lebih cepat dan lebih campy. Tapi siapa peduli AHS menjadi campy selama masih ada kegilaan dan hiburan mengerikan yang asyik. Lagipula hal ini membuatnya terasa fresh.  I prefer Asylum, but Coven is better than Murder House, also the funniest one. Tidak sabar rasanya menantikan animo keempatnya yang bertajuk Freak Show.

Artikel Terkait

Ini Lho American Horror Story - Coven (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email