Ini ialah film pertama Darren Aronofsky sehabis enam tahun dimana sebelumnya terakhir Aronofsky merilis film ialah di tahun 2000 lewat Requiem for a Dream. Jarak yang usang ini disebabkan lantaran sempat tertundanya proyek The Fountain ini. Pada awalnya Brad Pitt dan Cate Banchett ialah dua orang yang akan bermain disini, namun mundurnya Brad Pitt dan pengurangan bujet yang dilakukan pihak studio membuat proyek ini sempat terbengkalai bahkan dihentikan. Namun sehabis Aronofsky menulis ulang naskahnya dan merevisi kebutuhan bujet, The Fountain pun hasilnya bisa terlaksana dengan Hugh Jackman dan Rachel Weisz sebagai pemain film utama. Satu hal lagi yang membuat proses film ini tidak cepat ialah lantaran dalam proses penulisan ceritanya bersama Ari Handel, Aronofsky butuh melakuan begitu banyak riset mulai perihal suku maya, perjalanan luar angkasa hingga sejarah dan kisah yang tertulis dalam Alkitab. Pada hasilnya The Fountain memang menjadi film paling ambisius dari seorang Darren Aronofsky meski bukan jadi filmnya yang terbaik. Fim ini punya tiga kisah berbeda yang terpisah rentang waktu hingga ratusan tahun namun tetap mempunyai benang merah yang menghubungkan ketiga kisah tersebut.
Kisah pertama terjadi di kurun ke-16 disaat Tomas Verde (Hugh Jackman) seorang conquistador (penakluk) menerima misi dari Ratu Isabella (Rachel Weisz) untuk mencari pohon kehidupan (tree of life) yang selama ini hanya dianggap sebagai dongeng di Alkitab. Pohon tersebut dipercaya bisa membawa keabadian bagi siapa saja yang meminum getahnya. Menurut Ratu Isabella, inovasi pohon tersebut bisa mengakhiri konflik perebutan kekuasaan yang sedang terjadi dimana pihak Pendeta sedang berusaha melaksanakan kudeta. Maka berangkatlah Tomas mencari pohon tersebut yang kabarnya terletak di piramida yang hilang milik suku maya. Kisah kedua terjadi pada tahun 2005 perihal Tom Creo (Hugh Jackman) seorang doktor yang tengah melaksanakan penelitian untuk menemukan obat untuk tumor otak yang diderita oleh istrinya, Izzi (Rachel Weisz). Tom menggunakan sampel dari pohon kehidupan yang gres saja ditemukan di Amerika Tengah untuk membuat obat tersebut. Disisi lain Izzi yang sekarat sebetulnya ingin semoga Tom lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya di hari-hari terakhir hidupnya. Sedangkan kisah ketiga ber-setting tahun 2500 perihal Tommy (Hugh Jackman), seorang space traveler yang melaksanakan perjalanan ke luar angkasa di dalam sebuah gelembung yang mengangkut dirinya dan sebuah pohon kehidupan. Tujuan mereka ialah nebula, sebuah bintang ajal yang dipercaya sebagai sumber kehidupan.
Film-film macam The Fountain ini terperinci akan membagi respon penontonnya menjadi dua pihak, ada yang membenci film ini dan ada yang menyukainya. Pada press screening film ini dicemooh habis-habisan, namun malam berikutnya dalam public screening, film ini justru menerima 10 menit standing ovation. Saya sendiri sulit menyampaikan apakah saya mengasihi atau membenci film ini. Jelas hal yang paling menonjol dan paling saya sukai dari film ini ialah visualnya. Yang paling banyak menggunakan CGI tentunya dongeng ketiga perihal Tommy sang space traveler. Biasanya imbas CGI hanyalah sebagai embel-embel atau istilah kerennya style over substance tapi dalam film ini imbas tersebut memang begitu tepat dalam mendukung atmosfer kisahnya. Dunia dalam gelembung kawasan Tommy melaksanakan perjalanan terasa sebagai sebuah "dunia lain" yang misterius. Salah satu momen terbaiknya ialah dikala ia mulai keluar dari gelembung dan melayang di angkasa. Apa yang terlihat di layar mungkin bukan sebuah penggambaran terhadap alam alam abadi atau surga dan semacamnya, tapi apa yang terlihat bagi saya merupakan citra terdekat dari pencapaian nirwana. Begitu indah, abnormal dan terasa diluar jangkauan. Pada hasilnya aspek visual dari The Fountain memang merupakan hal terbaik yang dimiliki oleh film ini. Lalu bagaimana dengan ceritanya?
Sesungguhnya The Fountain punya dongeng yang sederhana, yakni sebuah kisah cinta antara laki-laki dan perempuan itu saja. Tapi Aronofsky menggabungkan kisah cinta tersebut dengan aneka macam hal mulai dari kisah Alkitab, kepercayaan suku maya hingga konsep perihal kehidupan dan kematian. Sering film ini membahas relasi antara kehidupan dan ajal yang sekilas merupakan dua hal yang bertentangan. Namun muncul ajaran dan hal-hal ironis bahwa sebetulnya hidup dan mati itu saling berafiliasi bahkan saling "menciptakan". Salah satu misalnya ialah kepercayaan suku maya akan Nebula, sebuah bintang mati tapi dianggap sebagai sumber kehidupan. The Fountain banyak bicara perihal ketakutan dan kekhawatiran insan pada ajal entah itu ajal dirinya atau ajal orang yang dicintai. Maka dari itu ada kisah perihal Ratu yang menyuruh diadakannya pencarian pohon kehidupan, seorang doktor yang mencoba menyelamatkan nyawa sang istri bahkan hasilnya ingin membuat obat penyembuh kematian, hingga seorang space traveler yang coba membawa pohon kehidupan yang sekarat ke Nebula supaya bisa terlahir kembali. Sederhananya ini semua ialah perpaduan antara kisah cinta, kehidupan dan ajal yang diangga sebagai awal dari kehidupan yang baru.
Kenapa Aronofsky membagi kisahnya kedalam tiga fase? Bagi saya fase pertama ialah proses kelahiran, yang pada hasilnya beranjut menjadi sebuah kehidupan. Disinilah kisah perihal Adam dan Hawa diselipkan. The tree of life membawa kehidupan di dunia. Kemudian fase kedua ialah fase tamat kehidupan dikala ajal telah siap menjemput dan insan harus menghadapi datangnya maut. Sedangkan fase ketiga mungkin yang paling banyak mengakibatkan muli-interpretasi. Dengan segala visi perihal Izzi yang didapatkan oleh Tommy, saya meyakini bahwa space traveler ini ialah Tom yang pada hasilnya berhasil membuat obat untuk hidup abadi. Saat itu Tom masih belum bisa mendapatkan ajal sang istri yang sekarang "hidup" dalam pohon kehidupan yang ia bawa. Namun lewat perjalanan spiritual yang ia alami menuju Nebula hasilnya ia sadar bahwa kehidupan dan ajal sebetulnya saling berkaitan. Distulah hasilnya ia menemukan kembal cincin kawin miliknya, memakainya kembali sebagai mengambarkan ia akan "bersatu" kembali dengan Izzi. Sosok Tom yang botak dan meditasi dengan cara tai-chi membuat saya berinterpretasi bahwa ia pada hasilnya mencapai nirawana sebelum hasilnya terlahir kembali dan dikenal sebagai sosok first father oleh dukun dari suku maya. Struktur plot yang disusun Aronofsky bagi saya luar biasa, tapi sayangnya satu hal yang ia lupakan yakni kedalaman.
Strukturnya memang andal dimana ia bisa mengaitkan aneka macam konsep dan hasil riset yang ia miliki menjadi satu sajian besar yang make sense. Tapi masalahnya ini ialah kisah perihal kehidupan dan kematian, dua hal yang sangat fundamental tapi begitu mendalam pada diri manusia. Dan Aronofsky gagal menjadikan The Fountain sebagai sebuah tontonan spiritual yang terasa mendalam dan mengena. Sebagai sebuah presentasi konsep film ini sempurna, tapi konsep itu seolah berjalan tanpa jiwa yang kuat. Padahal dongeng kedua bisa menyadarkan saya perihal bagaimana seringkali seseorang salah memahami impian kerabat atau orang tercintanya yang akan segera meninggal. Tentu saja ia ingin sembuh, akan lebih baik kalau ia tetap hidup, tapi kalau perjuangan itu malah membuatnya merasa sendirian dan menjauhkan keduanya alangkah lebih baiknya kalau hari-hari terakhir yang tersisa dihabiskan semaksimal mungkin dengan orang yang ia cintai. Sosok Izzi memang menghargai perjuangan Tom yang ingin menyembuhkan tumornya, tapi ia lebih ingin Tom menghabiskan banyak waktu dengannya, lantaran kalau semua perjuangan itu gagal maka hari-hari terakhir itu akan terbuang sia-sia. Hal itulah yang hasilnya disadari oleh Tom dikala ia mengarungi angkasa. Banyak bencana serta ironi tapi ceritanya tidak sekuat itu hingga hasilnya semua terasa datar. Sayapun hanya dibentuk terpesona oleh struktur alur dan visuanya. Ibaratnya saya bahagia melihat seorang perempuan bagus tapi hanya sebatas itu, tidak ada ikatan perasaan berpengaruh yang saya rasakan pada perempuan tersebut.
Ini Lho The Fountain (2006)
4/
5
Oleh
news flash