Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho Jogja Asian Film Ekspo - The Sun, The Moon & The Hurricane (2014)

Hidup kita selalu penuh dengan banyak sekali macam pencarian. Pencarian akan kebahagiaan, pencarian akan cinta, hingga pencarian akan makna hidup kita sendiri. Seiring dengan terus berjalannya pencarian tersebut, tanpa disadari waktu berlalu, banyak hal di sekitar kita yang mulai berubah, bahkan diri kita sendiri juga pada jadinya berubah. Hal itu jugalah yang dialami oleh Rain (William Tjokro), dimana film ini akan menuturkan kisah perjaka ini sedari masa ia SMA. Pada ketika itu Rain mulai menjalin persahabatan dengan Kris (Natalius Chendana). Dilihat sekilas mereka berdua amat berbeda dimana Rain ialah remaja baik yang murah senyum, sedangkan Kris ialah remaja yang gampang untuk diidentikkan dengan sebutan "nakal" dan selalu memasang wajah ketus. Tapi nyatanya persahabatan mereka berdua berjalan mulus, bahkan setiap malam ahad Rain selalu menginap dirumah Kris meski sang sobat selalu pergi berpacaran. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka berdua mulai berkembang dan tumbuh rasa cinta terpendam diantara mereka. Rain merasa kondusif dan membutuhkan Kris, begitu juga sebaliknya. Begitulah bab indah dari fase pertama kehidupan Rain yang hadir disini.

Setelah itu kita bakal diajak untuk beranjak dari fase remaja Rain, menuju fase berikutnya ketika ia berusia 20-an tahun hingga ditutup pada ketika ia memasuki fase usia 30-an tahun. Seiring dengan bertambahnya usia dan perjalanan yang ia lakukan, Rain bertemu dengan orang-orang gres hingga kenalan usang yang kembali lagi kedalam hidupnya, dan lewat situlah ia mulai menemukan balasan atas pencariannya perihal makna kebahagiaan, cinta dan hidup. The Sun, The Moon & The Hurricane memang terdengar ibarat sebuah film dengan dongeng mendalam alasannya aspek pencarian yang diusungnya. Dengan itu saja ekspektasi saya melambung tinggi, apalagi konsep perihal judul sebagai representasi fase hidup seorang laki-laki mengingatkan saya pada Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring milik Kim Ki-duk yang indah luar dalam itu. Tapi pada jadinya film yang juga diputar di Vancouver International Film Festival (Kanada) pada bulan September kemudian ini gagal memenuhi ekspektasi saya yang memang cukup tinggi tersebut. 
Salah satu permasalahan utama film ini ialah kurang berimbangnya porsi antar tiap-tiap fase kehidupan Rain. Fase pertama ialah yang paling besar lengan berkuasa dan mampu menciptakan saya tertarik lewat kisah percintaan Rain dan Kris dimana ketika itu Rain masih ragu/malu untuk memperlihatkan bahwa ia ialah seorang homosekual. Fase kedua yang menampilkan abjad Will (Cornelio Sunny) di Bangkok bekerjsama cukup menarik, khususnya berkat abjad Will yang mengagungkan kebebasan. Tapi momen itu terlalu sebentar dan tidak disinggung lagi hingga film selesai. Memang pertemuan dengan Will menawarkan efek pada Rain, tapi efek itu kurang terasa pada akhirnya. Kemudian fase ketiga seharusnya berpotensi menghadirkan momen emosional dengan kembali hadirnya Kris, tapi masalahnya jarak antara fase pertama dengan ketiga terlalu pendek, sehingga ketika Kris kembali saya sebagai penonton belum merasa itu sebagai sebuah "reuni sesudah sekian lama". Pertemuan kembali Kris dan Rain pun kurang besar lengan berkuasa dihadirkan sehingga berlalu begitu saja. Kalau saja ditambah satu lagi fase atau fase dengan Will lebih diperbanyak saya yakin emosi yang coba dibangun lebih terasa.
Saya juga merasa aplikasi judul The Sun, The Moon & The Hurricane terhadap ceritanya kurang terasa. Jika tidak membaca sinopsis dan mendengarkan penuturan dari sutradara Andri Cung, saya tidak akan menangkap bahwa "Hurricane" ialah fase remaja yang penuh "keributan" dan "kekacauan", kemudian "Sun" ialah fae 20-an yang mengejar kebahagiaan nan cerah, dan "Moon" ialah fae 30-an yang dipenuhi pendewasaan serta ketenangan diri. Memang ada penggambaran perihal kekerabatan antara judul dan kisahnya, tapi masih kurang kuat. Jangan hingga gamblang memang, tapi ketersiratan yang coba dihadirkan masih benar-benar tipis. Film ini juga bermasalah pada bab final menjelang konklusi. Setelah paruh awal yang menarik dan pertengahan yang bertenaga tapi terlalu singkat, bab jadinya justru loyo. Bahkan momen konklusinya terasa terlalu diseret, terlalu usang dan membosankan. Dialog-dialog menarik goresan pena Andri Cung yang menghiasi awal hingga tengah tiba-tiba berubah cheesy pada bab ini. Untung saja ada akting yang cukup baik dari Gesata Stella pada bab ini. Sayang sekali, sesudah banyak sekali kisah menarik, film ini justru ditutup layaknya ordinary love story yang tidak spesial.

Departemen akting jadi salah satu faktor paling besar lengan berkuasa dalam film ini, dengan duo William Tjokro-Natalius Chendana sebagai bintang utama. Mereka punya chemistry cukup kuat, dan tampak sama-sama menyimpan pertanyaan dan kebimbangan dalam diri masing-masing abjad yang diperankan. Pada jadinya The Sun, The Moon & The Hurricane memang tidak memenuhi ekspektasi tinggi saya, tapi ini jeas merupakan salah satu drama yang menyegarkan. Apalagi melihat begitu minimnya film Indonesia yang mengangkat tema LGBT, terang film ini merupakan sebuah presentasi yang berbeda perihal sebuah kisah cinta dan pencarian makna hidup, meski jikalau kita tilik secara menyeluruh, tema LGBT yang ditawarkan tidaklah menyuguhkan kisah baru. Tapi toh intinya The Sun, The Moon & The Hurricane bukan 100% berfokus pada hal itu, melainkan lebih universal, yakni perihal insan dan perjalanan hidup mereka.

Artikel Terkait

Ini Lho Jogja Asian Film Ekspo - The Sun, The Moon & The Hurricane (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email