Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho Poultrygeist: Night Of The Chicken Dead (2006)

Troma Entertainment ialah sebuah agen film yang didirikan oleh Lloyd Kaufman dan Michael Herz pada tahun 1974. Tapi film-film rilisan Troma bukanlah film biasa, alasannya banyak dari film-film tersebut yang mendapat status cult. Film yang dirilis oleh Troma biasanya ialah sebuah b-movie yang mengumbar berliter-liter darah dan penuh dengan hal-hal menjijikkan. Meski film-film tersebut sering dikategorikan sebagai film bodoh, tapi selalu ada orang-orang yang mengasihi film semacam itu. Oleh karenanya film-film rilisan Troma sering mendapat status cult. Beberapa judul yang populer antara lain Tromeo and Juliet, Mother's Day dan tentunya seri The Toxic Avengers yang sudah mencapai empat film dan rencananya akan dibentuk film kelimanya. Tapi diantara film-film rilisan Troma, salah satu yang paling mendapat respon positif baik secara pendapatan ataupun review dari para kritikus ialah film yang judulnya terlihat terperinci sebagai sebuah parodi dari Poltergeist dan Night of the Living Dead ini. Tapi ternyata tidak hanya judulnya saja, alasannya jalan ceritanya mempunyai beberapa kemiripan dengan kedua judul diatas, yang membedakan ialah pengemasannya. Tentu saja pengemasannya gila, alasannya ini ialah film rilisan Troma.

Film ini sudah dibuka dengan adegan absurd dikala dua tokoh utamanya, Arbie dan Wendy bekerjasama seks ditengah pemakaman Indian yang populer angker. Mereka bekerjasama seks dalam rangka perpisahan sesudah keduanya lulus Sekolah Menengan Atas dan Wendy akan pergi berkuliah sedangkan Arbie tetap dirumah untuk merawat ibunya yang idiot dan ayahnyayang buta. Tanpa mereka ketahui sesudah mereka meninggalkan kawasan tersebut terjadi sebuah insiden horror yang juga menjijikkan. Satu semester kemudian, keduanya bertemu lagi dalam sebuah momen yang tidak disangka. Saat itu tanah pemakaman tersebut telah diratakan dan dibangun menjadi sebuah restoran siap saji berjulukan American Chicken Bunker. Saat itu Arbie yang berada di tengah demonstrasi yang memprotes pembangunan restoran tersebut secara mengejutkan mendapati Wendy berada diantara demonstran dan menjadi salah satu penggagas lesbian. Mendapati cintanya menjadi lesbian, Arbie yang patah hati menentukan melamar pekerjaan di restoran tersebut. Tanpa mereka ketahui, roh Indian yang marah telah bersiap melaksanakan terornya dengan cara "merasuki" materi baku masakan restoran tersebut.

Awalnya saya mencoba berpikir kandungan kisah yang coba disampaikan oleh Poultrygeist: Night of the Chicken Dead. Apakah itu ihwal kapitalisme? Atau sindiran ihwal apa? Tapi alhasil saya merasa ndeso sendiri melaksanakan hal itu. Memikirkan makna dari film rilisan Troma? Kecuali film itu ialah My Neighbor Totoro maka hal tersebut terasa percuma. Cukup nikmati saja aneka macam hidangan menjijikkan dan menggelikan dari film ini. Film ini terperinci ialah sebuah film "sakit". Penonton dengan perut lemah atau mereka yang selalu mengharapkan kisah berbobot ala film-film Oscar niscaya eksklusif mencaci maki film ini dan serasa ingin melempar layar dengan barang terdekat untuk segera menghentikan filmnya. Tapi bagi penonton yang sanggup menikmati hidangan tak berotak  macam film-filmnya Nishimura atau tentunya film-filmnya Troma, maka Poultrygeist ialah hidangan yang menyenangkan. Penonton semacam itu niscaya bahagia melihat muntahan menjijikkan dimana-mana, kompilasi adegan diare paling "bombastis" dan menijikkan, serta tentunya bergalon-galon darah yang muncrat dengan begitu lebay. Untuk hidangan semacam itu, film ini tidak pernah mengecewakan saya dan mengumbar semua persedian muntahan, darah dan kotoran tersebut dengan maksimak. Disaat invasi roh Indian mencapai klimaksnya, maka aneka macam adegan menjijikkan sekaligus sadis juga mencapai tingkat tertinggi.
Poultrygeist: Night of the Chicken Dead jelas bukanlah film yang mempedulikan hal ibarat kisah ataupun akting. Cerita terperinci dangkal sedangkal-dangkalnya. Bahkan saya tidak tahu dari mana asal muasal teror roh Indian tersebut. Yang saya tahu tiba-tiba ada telur misterius dalam restoran entah darimana, kemudian ada ayam mentah yang membunuh salah satu karyawan dan membuatnya jadi hantu sandwich daging yang sanggup bicara, kemudian entah bagaimana caranya ada dua versi monster yang meneror yakni para korban yang berubah jadi zombie ayam dan monster ayam yang keluar dari telur yang ditetaskan oleh manusia. Bagaimana pula ada salah seorang tokoh yang telah mati kemudian hidup lagi kemudian mati lagi. Butuh penjelasan? Dengan gampang sang tokoh menyampaikan "Tidak ada waktu untuk menjelaskan" *jreeeeng! Segalanya dalam film ini kacau, tapi kacau yang menyenangkan. Jika anda menganggapnya terlalu serius maka yang muncul ialah aneka macam pertanyaan yang tidak akan mungkin terjawab alasannya saya yakin sang penulis naskah bukannya sengaja menyimpan misteri ambigu ibarat naskahnya Nolan, tapi memang ia tidak memikirkan jawabannya. Pokoknya terima saja segala bentuk kegilaan dan kekacauan dalam film ini maka anda akan bersenang-senang.

Tapi bukankah film semacam ini sudah banyak? Lalu selain kadar kegilaan dan menjijikkan yang super maksimal apa yang menciptakan ini hingga begitu spesial? Jawabannya ialah adanya unsur musikal dalam film ini *standing ovation* Mungkin Lloyd Kaufman dan rekan-rekannya sempat gundah bagaimana menciptakan perkenalan duduk masalah tanpa harus mengumbar banyak muntahan dan darah alasannya semuanya akan ditumpahkan eksklusif pada klimaks, tapi tetap terasa unik. Bukannya menambahkan unsur kisah yang menarik atau rumit, mereka eksklusif menambahkan momen musikal didalamnya. Jangan berharap sebuah adegan musikal megah dengan lirik puitis, koreografi keren dan bunyi merdu, alasannya yang ada dalam film ini ialah lagu dengan lirik to the point yang nyeleneh, koreografi yang asal yang penting bergerak, hingga bunyi dari tokoh Arbie yang bagi saya sangat tidak nyaman didengar. Tapi toh memadukan horror dan musikal bukan hal gres bagi Troma. Tepat 10 tahun sebelum film ini mereka pernah menciptakan Cannibal! The Musical. Tapi bagi saya sendiri pengemasan momen musikalnya terasa sedikit membosankan. Atau mungkin alasannya ada banyak lirik yang tidak saya mengerti jawaban tidak adanya subtitle dikala saya menonton film ini.

Menonton film ini tanpa subtitle ternyata juga menghipnotis momen komedinya yang seringkali terasa garing, padahal momen komedi andalan film ini tampaknya ialah dari dialog-dialog konyol yang penuh sindiran dan kalimat konyol. Film ini juga terasa terlalu berusaha untuk lucu dengan menciptakan adegan dan karakternya sebodoh mungkin. Padahal tanpa itu dilakukan semuanya sudah bodoh,, dan pada alhasil malah terasa berlebihan. Tapi toh meski momen komedi dan musikalnya tidak terlalu spesial, kembali lagi momen muntah-berak-darah yang ditampilkan selalu efektif menciptakan mata saya fokus pada layar. Tentunya aneka macam momen penuh "tonjolan" juga jadi hiburan tersendiri bagi penonton pria. Bicara soal komedinya lagi, saya sediki terganggu dengan penggambaran tokoh Hummus yang digambarkan sebagai perempuan muslim yang menggunakan cadar. Ada perbedaan antara menciptakan sesuatu sebagai materi lawakan dengan melecehkan sesuatu tersebut, dan apa yang saya lihat bukanlah sebatas menimbulkan seorang perempuan muslim bercadar sebagai materi lawakan tapi sudah masuk wilayah melecehkan. Apalagi dengan menampilkan adegan dikala ia solat dengan gerakan yang "dimodifikasi" saya rasa hal itu sudah melampaui batas. Patut dicatat saya bukan orang yang anti akan sebuah lawakan yang berbau rasis asalkan penyampaiannya cerdas layaknya film-film Baron Cohen. Tapi dalam film ini saya rasa sudah sedikit kelewatan dan hal tersebut mengurangi kelucuannya secara drastis. Tapi secara keseluruhan Poultrygeist: Night of the Chicken Dead tetaplah sebuah hidangan hiburan idiot yang lumayan dan bertabur kegilaan dari awal hingga akhir.


Artikel Terkait

Ini Lho Poultrygeist: Night Of The Chicken Dead (2006)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email