Pada tahun 1929 era perfilman di Hollywood mulai mengalami perubahan drastis ketika film bunyi mulai ditemukan dan dengan cepat menjadi fenomena baru. Para sineas film bisu mulai beralih menciptakan film dengan suara. Tapi menyerupai sosok George Valentin dalam film The Artist, tetap ada beberapa pihak yang tetap kukuh menciptakan film bisu. Salah satu dari sosok tersebut ialah Charlie Chaplin. Terkenal sebagai The Tramp dengan gestur konyol dan kumis ala Hitler-nya, Chaplin tetap "ngotot" menciptakan film bisu pada 1931 yang berarti dua tahun sesudah dimulainya era film suara. Film berjudul City Lights ini masih menunjukkan sosok Chaplin sebagai The Tramp yang kali ini harus berjuang untuk membantu seorang gadis penjual bungan yang tidak bisa melihat. The Tramp jatuh cinta pada sang gadis dan pada jadinya ingin membantunya untuk melunasi segala hutang sekaligus membantu operasi mata gadis tersebut. Untuk itulah ia melaksanakan banyak sekali usaha mulai dari bekerja hingga meminta sumbangan orang kaya yang sempat ia selamatkan hidupnya ketika hendak bunuh diri. Tentunya semua itu masih dihiasi tingkah konyol dan komedi ala Charlie Chaplin.
Saya sendiri bukanlah seorang penggemar slapstick dan sangat jarang berhasil dibentuk tertawa oleh tipikal komedi tersebut. Tapi cara Chaplin dalam meramu film ini berbeda dan tidak asal mengumbar segala kekonyolan dan kesialan The Tramp. Dilihat sekilas mungkin City Lights ialah sebuah film dengan dongeng yang standar dan dibentuk untuk menunjukkan jalan bagi komedi slapstick-nya, namun dibalik itu semua, film yang ceritanya juga ditulis oleh Chaplin ini punya hati. Ceritanya yang sederhana justru menciptakan film ini akan abadi. Kisah perihal cinta, pengorbanan hingga duduk perkara harta memang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Justru dengan segala kesederhanaan tersebut penonton jenis apapun bisa dengan gampang mencerna dan menikmati filmnya. Bicara tema, kisah persahabatan tidak luput diulas dalam film ini. Bagaimana sebuah persahabatan antara The Tramp dan si orang kaya yang dibangun bukan atas dasar ketulusan persahabatan seolah menjadi cerminan yang tidak akan pernah hilang dari bentuk persahabatan pada zaman apapun. Lalu bagaimana dengan kisah cinta Tramp dengan gadis penjual bunga?
Sangat sederhana namun begitu klasik dan menyentuh. Sebuah kisah cinta manis nan nrimo yang dimulai dengan pertemuan yang lucu, berlanjut dengan kekerabatan yang bersama-sama klise dalam media film dimana sang laki-laki berusaha berkorban bagi sang wanita, namun semuanya ditampilkan dengan hangat dan manis, tidak ada kesan murahan yang terasa dalam kisah cintanya. Tentu saja membicarakan kisah cinta pada City Lights tidak akan pernah lepas dari pembahasan mengenai ending-nya. Entah sudah berapa usang semenjak terakhir kali sebuah film yang bisa dibilang punya genre komedi-romantis bisa menciptakan saya menangis. Sebelumnya mungkin hanya (500) Days of Summer yang berhasil melaksanakan hal itu, hingga saya menonton City Lights. Melihat adegan selesai filmnya saya yakin hampir semua penontonnya akan meneteskan air mata sesudah sebelumnya diajak mengikuti usaha The Tramp membahagiakan sang gadis. Hal itu masih ditambah dengan mulut wajah yang ditunjukkan oleh Chaplin dan menutup film ini. Sebuah mulut kebahagiaan, kesedihan dan keterkejutan yang benar-benar bercampur aduk, ah susah rasanya menjelaskan betapa indahnya ending film ini. Yang harus dilakukan ialah menontonnya.
Komedinya yang slapstick mungkin tidak hingga menciptakan saya tertawa terbahak-bahak. Butuh waktu beberapa menit bagi saya untuk bisa menikmatinya. Meski begitu adegan tinju yang klasik itu memang lucu, apalagi ditambah performa seorang Charlie Chaplin. Sosok Tramp yang ia ciptakan benar-benar sosok tepat bagi film bisu. Gesturnya yang luwes dan konyol namun tidak dalam konteks negatif bisa menunjukkan kesejukan tersendiri walaupun tidak semua komedinya berhasil bagi saya. Tidak hanya dalam momen komedik, tugas Chaplin yang memegang banyak posisi dalam film ini mulai dari sutradara, pemain, produser, penulis naskah, editor hingga penata musik ternyata memang bisa menunjukkan sentuhan yang spesial. Ini bukan pertama saya menonton film bisu, namun gres kali ini sebuah film yang murni bisu bisa tampil begitu menghibur. Disamoing dongeng dan komedinya, satu lagi kelebihan Citiy Lights ialah bagaimana Chaplin meramu efek suaranya, sehingga meski bisu film ini tetap terasa begitu hidup. Berbagai efek bunyi bisa menunjang nuansa filmnya sehingga tidak terasa hampa menyerupai kebanyakan film bisu yang ditonton pada zaman modern menyerupai kini ini.
Kesederhanaan dan tema yang universal memang menjadi salah satu kunci utama keberhasilan City Lights tetap menarik untuk ditonton meski sudah berusia lebih dari 80 tahun. Berbekal segala tema fundamental menyerupai cinta dan harta, maka City Lights akan tetap abadi sebagai salah satu film klasik yang paling dikenang bahkan mungkin salah satu film terbaik bagi beberapa pihak. Saya sendiri yang tidak terlalu menyukai slapstick masih bisa terhibur bahkan beberapa kali terpukau akan momen-momen yang ada didalamnya. Film ini juga menjadi bukti bahwa film bisu dan hitam putih juga punya keunggulan yang tidak akan pernah bisa ditandingi oleh segala teknologi yang dimiliki oleh film zaman sekarang, dimana banyak sekali hal termasuk perasaan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata bisa tersampaikan lewat film bisu. Coba saja buat City Lights menjadi film bersuara, maka saya yakin hasilnya tidak akan sebagus ini, bahkan mungkin Chaplin sekalipun tidak akan bisa menciptakan versi bersuara City Lights sebagus versi bisunya.
Ini Lho City Lights (1931)
4/
5
Oleh
news flash