Apakah kita masih belum cukup diberikan suguhan film-film wacana Yip Man atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ip Man? Semenjak tahun 2008 yang diawali oleh film Ip Man yang dibintangi oleh Donnie Yen, sudah ada sekitar lima film termasuk The Grandmaster versi Wong Kar-wai ini. Selain dua film yang dibintangi Donnie Yen mudah film-film lainnya tidak saling berafiliasi sehingga seperti para filmmaker sedang berlomba untuk menciptakan film Ip Man versi mereka masing-masing. Saya menyukai dua film yang dibintangi Donnie Yen dimana keduanya sukses menggabungkan unsur drama dengan segala adegan agresi berbalut martial arts yang luar biasa. Kemudian tiba Wong Kar-wai, sutradara yang selama ini lebih dikenal lewat film-film drama arthouse. Saya sendiri gres menyaksikan satu filmnya, yakni In the Mood For Love, dan dari situ saya cukup kaget bahwa Wong akan menciptakan film bertemakan martial arts. Satu hal yang menciptakan saya tertarik pada The Grandmaster tentu saja ialah rasa ingin tau saya akan visi seorang Wong Kar-wai jikalau diaplikasikan pada sebuah film kung-fu. Apakah ada balutan sinematografi indah menyerupai dalam film-filmnya yang lain?
Berperan sebagai sosok Yip Man ada Tony Leung yang juga termasuk pemain drama langganan Wong Kar-wai (bermain juga di In the Mood for Love dan memenangkan Best Actor di ajang Cannes Film Festival). Selain itu ada nama Zhang Ziyi serta Song Hye-kyo melengkapi nama tenar di jajaran cast-nya. The Grandmaster membuka kisahnya pada tahun 1930-an ketika Yip Man bertempat tinggal di Foshan, sebuah tempat di Selatan Cina. Yip Man beserta keluarganya hidup senang dengan harta berlimpah dan statusnya sebagai seorang master kung-fu Wing-chun. Suatu hari datanglah Gong Yutian (Wang Qingxiang) seorang master kung-fu dari Utara yang menantang para hebat kung-fu dari Selatan untuk bertarung dengan anak didiknya, Ma San (Zhang Jin). Berhasil memenangkan tantangan tersebut, Yip Man ternyata masih harus berurusan dengan Gong Er (Zhang Ziyi) dimana tantangan tersebut berakhir dengan sebuah pertarungan yang pada hasilnya justru menyatukan mereka sebagai sobat baik. Waktu berlalu dan pasukan Jepang mulai menjajah Cina. Yip Man dan keluarganya terkena dampak, dan tidak hanya itu alasannya ialah masih ada begitu banyak konflik lain dalam film ini...begitu banyak, bahkan terlampau banyak sekaligus acak.
The Grandmaster terperinci sebuah sajian yang jauh berbeda dari Ip Man khususnya jikalau dilihat dari fokus utama film ini. Daripada mengutamakan wacana kisah hidup Yip Man sebagai sorotan utama dengan adegan agresi sebagai senjata andalan, The Grandmaster lebih menitik beratkan pada hal-hal berbau filosofis menyerupai kaitan antara kung-fu dengan kehidupan hingga banyak sekali konflik dalam hidup insan mulai dari cinta, persahabatan, keluarga hingga pengkhianatan. Hal-hal filosofis tersebut ditunjukkan oleh Wong mulai dari sinematografi dan pengambilan gambar hingga dialog-dialog puitis. Bicara sinematografinya, aspek tersebut ialah salah satu keunggulan utama dari The Grandmaster. Berbagai macam momen bisa dirangkum dengan begitu indah mulai dari adegan pertarungannya yang artistik hingga banyak sekali gambar-gambar penuh makna metafora. Seperti yang sudah saya duga juga ada begitu banyak momen slow motion yang digunakan oleh Wong Kar-wai disini. Namun bagi saya penggunaan slo-mo disini terasa berlebihan dan seringkali tidak sempurna momennya. Seharusnya sebuah slow motion digunakan untuk menangkap momen-momen tertentu yang dirasa perlu, sama menyerupai yang dilakukan oleh Wong dalam In the Mood for Love yang seksi tersebut. Sedangkan dalam The Grandmaster penggunaan teknik slo-mo yang ada terkesan dipaksakan dan terlampau banyak.
Yang berharap film ini akan menyerupai Ip Man milik Donnie Yen siap-siap saja kecewa alasannya ialah adegan pertarungan kung-fu di film ini memang bisa dihitung dengan jari. Tapi toh saya memaklumi pemilihan tersebut alasannya ialah memang begitulah konsep yang coba ditekankan oleh Wong Kar-wai, dan tentunya hal ini tidak akan memenuhi ekspektasi banyak penonton. Sayangnya bagaimana plot kisah yang harusnya jadi pondasi utama di film ini terkesan cukup berantakan. Pertama saya terganggu dengan bagaimana plot yang ada seolah tidak diedit dengan rapih dan melompat kesana kemari tanpa penghubung yang terperinci hingga terasa membingungkan. Bahkan ada beberapa kemunculan abjad yang tidak terperinci maksudnya, semisal sosok The Razor (Chang Chen) yang mendadak muncul tanpa memberi efek yang terperinci bagi ceritanya. Padahal bekerjsama sosok The Razor ialah abjad yang cukup menarik. Banyak yang mengkritisi bahwa film ini kurang berfokus pada Yip Man, namun saya kurang sependapat dengan hal tersebut. Yip Man sekali lagi memang jadi sosok protagonis utama disini, tapi bagi saya The Grandmaster memang bukan mengenai hal tersebut. The Grandmaster ialah kisah wacana bagaimana para master kung-fu yang ada mendalami intisari dalam aliran mereka masing-masing dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan mereka.
Tapi entah mengapa saya mengira bahwa bekerjsama diawal produksi Wong Kar-wai lebih memfokuskan filmnya pada kisah hidup Yip Man dan berfokus pada penggarapan cerita. Namun pada ketika memasuki proses editing ia berubah pikiran untuk mengubah haluan filmnya menjadi lebih filosofis dan luas cakupannya serta lebih berfokus pada menangkap mood menyerupai yang kerap dilakukan Terrence Malick dalam film-filmnya. Namun pada hasilnya The Grandmaster jatuh menjadi film tanggung yang kurang terperinci arahnya mau dibawa kemana. Tapi semua itu hanya dugaan saya, apakah memang Wong melaksanakan perubahan pilihan pada proses editing atau ia memang sudah sedari awal merencanakan akan menciptakan film ini menyerupai ini saya kurang tahu. Namun jikalau pilihan kedua yang tepat, maka Wong bisa dibilang kurang berhasil dalam memilih arah karyanya ini. Pada hasilnya dengan plot yang kurang rapih, beberapa momen terasa kehilangan greget. Padahal ada beberapa momen yang berpotensi terasa menyentuh dengan segala bumbu filosofinya, namun sekali lagi kisah yang tidak mengalir dengan rapih menciptakan momen tersebut kehilangan gregetnya.
Secara keseluruhan The Grandmaster terperinci tidak memenuhi ekspektasi saya. Sebuah film yang jauh dari kata jelek mengingat saya cukup menyukai makna yang coba disajikan oleh Wong dalam ceritanya, hanya saya tidak suka bagaimana plotnya mengalir dengan acak dan tidak rapih. Koreografi adegan aksinya sendiri cukup memuaskan, apalagi dibalut dengan sinematografi yang begitu indah. Lewat adegan pertarungannya saya bisa cukup memahami bagaimana kekerabatan antara sosok-sosok yang saling bertarung entah itu kawan, sahabat, musuh hingga sepasang insan yang menyimpan rasa cinta sekalipun. Sayang pada hasilnya film ini juga harus diakhiri tanpa greget dan terburu-buru seolah kembali kehilangan arahnya.
Ini Lho The Grandmaster (2013)
4/
5
Oleh
news flash